Senin, 10 Desember 2012

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Dalam Peraturan Daerah




Dalam tatanan teoritis ilmu perekonomian, terjadi ameliorasi peristilahan dari penyebutan perusahaan menjadi perseroan sebagaimana yang tersebut dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Istilah tersebut menjadi suatu bentuk pendelegasian kewenangan secara luas yang diberikan negara kepada badan hukum berbentuk perseroan untuk melakukan berbagai kegiatan usaha sesuai dengan tujuan awal berdirinya perseroan. Namun, kewenangan tersebut bukan tak terbatas,  tetap ada otorisasi perseroan yang sifatnya limitatif seperti kewajiban perusahaan untuk memenuhi tanggung jawab sosial sebagaimana yang diamanatkan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Tindak lanjut dari lahirnya Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas adalah munculnya pergeseran tujuan prinsipil berdirinya suatu perusahaan atau perseroan yang selama ini identik dengan kepentingan komersial atau semata-mata hanya untuk mencari laba, namun juga harus memperhatikan aspek aspek sosial dan lingkungan (Triple bottom line).
Pentingnya aspek sosial dan lingkungan juga tertuang dalam suatu nomenklatur ‘maksud dan tujuan’ (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007) yang secara eksplisit menghendaki adanya proses adaptasi antara tujuan perusahaan umum dengan ketertiban umum dan aspek kesusilaan. Hal tersebut berarti secara yuridis materiil pada dasarnya tanggung jawab sosial perseroan telah diatur dalam undang-undang.
Penempatan norma yang menghendaki adanya tanggung jawab sosial dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas pada muaranya menjadi pemicu munculnya polemik baru. Tanggung jawab sosial sebagaimana yang telah diatur ternyata jika dikaji secara sistemik hanya merupakan suatu norma tunggal yang tidak memberikan ruang pengaturan lain apabila norma tersebut dilanggar.  Belum ditemukan kemungkinan pemberian sanksi apabila suatu perseroan tidak melaksanakan kewajiban sosialnya di masyarakat dan terkait dengan fungsi pengawasan terhadap perseroan tersebut. Pertanyaan yang muncul adalah apakah perseroan di Indonesia dapat mengimplementasikan kehendak dari pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan atau perlukah pengaturan lebih lanjut oleh peraturan di bawahnya. Tentu untuk menjawab pertanyaan tersebut kita membutuhkan kajian yang lebih cermat, sistematis dan mandiri.
Perseroan dalam melaksanakan kegiatan usaha pada umumnya mendirikan basis kegiatan usahanya di berbagai wilayah di Indonesia sesuai dengan sumber dan jenis kegiatan usahanya. Perseroan juga memiliki klasifikasi jangkauan pasar yang bermacam-macam tergantung dari besaran modal dan aset yang dimiliki. Semakin besar jumlah modal yang dimiliki oleh suatu perseroan, maka kesempatan perseroan untuk menjadi lebih berkembang pesat akan menjadi semakin terbuka. Akibatnya perseroan dapat tumbuh menjadi besar dan memiliki jaringan organisasi di banyak wilayah. Beberapa dari perseroan tersebut bahkan ada yang ditarik di bawah kendali negara (Badan Usaha Milik negara) atau ada yang bersifat mendiri dan  nasional.
Perseroan yang bergerak di bidang perikanan, perternakan, perkebunan dan pertambangan di berbagai wilayah pada umumnya sangat membutuhkan modal tidak sedikit sehingga nyaris seluruh mesin penggerak suatu perseroan didayagunakan secara maksimal untuk meraih keuntungan yang maksimal pula.  Sebagai akibat dari kegiatan perseroan yang cenderung overexploration pada dasarnya dapat memunculkan polemik di masyarakat. Beberapa polemik tersebut secara konkrit timbul  dari berbagai faktor diantaranya :
  1. Basis pembuangan limbah dari hasil industri suatu perseroan yang masih belum memenuhi standar prosedural dan teknis seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Izin Dinas terkait seperti Badan Lingkungan Hidup (BLH), Kementerian Kesehatan, dan lain-lain; 
  2.  Permasalahan status kepemilikan lahan yang saling klaim antara suatu perseroan dengan warga setempat yang memicu konflik terbuka yang tentunya jika tidak segera diatasi dapat merugikan para pihak;
  3.  Kesenjangan sosial yang timbul sebagai akibat dari kekurang perhatian suatu perseroan terhadap masyarakat yang berada di sekitar wilayah produksi suatu perusahaan bahkan dalam perekrutan karyawan, tidak jarang perseroan tidak mengikutsertakan penduduk lokal. 

Secara faktual, contoh konkrit dari adanya polemik (crash) antara perseroan dengan warga lokal terjadi di Provinsi Bengkulu. PTPN VII yang merupakan perusahaan nasional yang bergerak di sektor utama perkebunan kelapa sawit dan sektor tambahan lainnya di Bengkulu pada akhirnya tidak dapat menjalankan kegiatan perseroan dengan baik. Sistem drainase limbah yang dihasilkan dari produksi kelapa sawit ternyata diduga mencemarkan beberapa sungai utama di Bengkulu yang menjadi daerah sekitar pemukiman warga. Imbasnya, diduga beberapa warga psotif tercemar polusi limbah dan menderita berbagai penyakit kulit dan pernafasan. Tidak hanya itu saja, tidak transparasinya direksi perseroan membuat masyarakat setempat merasa bahwa kehidupan mereka sedikitpun tidak diperhatikan oleh pihak perseroan begitu juga dengan pemerintah daerah. Tentu permasalahan ini mengingatkan berbagai kalangan akan pentingnya tanggung jawab sosial perseroan.

Tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) pada hakikatnya adalah sebuah angin segar sebagai bentuk perlindungan hukum bagi perseroan dan masyarakat (sosio centris) itu sendiri. Case by case, selain tertuang secara normatif di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan, pada prakteknya ranah tanggung jawab sosial perusahaan juga mulai diatribusikan dalam peraturan daerah. Beberapa peraturan daerah yang sudah mengatur permasalahan tanggung jawab sosial perseroan adalah sebagai berikut :
1.    Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 02 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan;
2.    Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 04 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab sosil perusahaan; dan
3.    Peraturan Daerah Kabupaten Tanggerang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan.
Penuangan muatan materi mengenai tanggung jawab sosial perusahaan dalam peraturan daerah secara substansif telah memenuhi kriteria yang diamanatkan dalam Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas. Namun secara empiris diduga masih banyak diperlukan adanya perombakan. Adanya inisiatif pemerintah daerah untuk mengakomodir permasalahan mengenai tanggung jawab sosial pada dasarnya menunjukkan suatu langkah positif. Paling tidak, pemerintah daerah telah berusaha untuk menertibkan prilaku perseroan yang berada di dalam yuridiksi wilayahnya dan melindungi hak-hak warganya dari kekhawatiran dari timbulnya arogansi perseroan.
Namun patut diketahui juga bahwa pada prinsipnya peraturan daerah tidak dapat secara penuh dapat memberikan ruang pengaturan secara berlebihan mengenai bagaimana etika sosial perseroan. Peraturan daerah pada prinsipnya merupakan peraturan atributif yang limitatif, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (lex superior derogat legi inferiori). Suatu peraturan daerah juga tidak dapat memberikan sanksi kepada pelanggar diluar yang telah ditentukan oleh undang-undang. Suatu peraturan daerah hanya dapat memberikan sanksi administrasi dan sanksi pidana yang sifatnya dibatasi (Pasal 15 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Keadaan nonfakultatief tersebut dirasakan dapat menghambat ruang gerak pemerintah daerah untuk mengarahkan atau menekan perseroan agar dapat mematuhi suatu regulasi.
Penerapan tanggung jawab sosial perusahaan juga harus memperhatiikan tipe perseroan itu sendiri. Perseroan berskala nasional tentu dapat diduga akan menolak untuk mematuhi perintah peraturan daerah, mengingat perseroan berskala nasional memiliki anak cabang yang tersebar luas di beberapa wilayah dan proses pendirian perseroan yang melibatkan pemerintah pusat. Tentu terhadap konteks permasalahan tersebut, pemerintah daerah akan kesulitan untuk menerapkan regulasi mengenai tanggung jawab sosial perseroan.
Tidak banyak perusahaan atau perseroan yang memiliki itikad baik untuk menjalankan kewajiban menjalankan tanggung jawab sosial sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan. Untuk itu, regulasi yang lebih efektif dan efisien sangat diperlukan terutama untuk memberikan kedudukan hukum, yang tegas dan jelas bagi perusahaan, pemerintah dan masyarakat terkait. 
Harus ada klasifikasi yang jelas dan tegas yang harus diatur oleh Undang-Undang mengenai perseroan seperti apa yang dapat dikatagorikan sebagai perusahaan besar dan berindikasi dapat menimbulkan dampak yang luas bagi masyarakat. Perseroan-perseroan besar tersebut jelas tidak akan mematuhi peraturan daerah secara imperatif mengingat perseroan besar memiliki organ perseroan yang tersebar di berbagai wilayah administratif dan belum lagi jika dikaitkan dengan permasalahan politik ekonomi. Terlebih lagi jika di dalam undang-undang tentang perseroan tidak mencantumkan sanksi pidana bagi badan hukum perseroan yang tidak menjalankan secara penuh untuk menerapkan tanggung jawab sosial di masyarakat. 
Pada dasarnya, tanggung jawab sosial perusahaan haruslah dilihat secara secara subyektif, tidak seperti sebagaimana tertuang dalam beberapa peraturan daerah yang mengatur tentang tanggung jawab sosial perusahaan. Tanggung jawab sosial idealnya dapat diberikan berupa : 
  1. Santunan sosial yang dapat diaktualisasikan dalam bentuk pemberian beasiswa pendidikan bagi warga sekitar atau yang membutuhkan atau pemberian bantuan langsung terutama bagi warga yang diduga terkena dampak langsung berdirinya suatu perseroan;
  2. Pembangunan fisik sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh masyarakat yang berada disekitar area produksi perusahaan;
  3. Kompensasi atau ganti rugi yang harus dipersiapkan oleh pihak perseroan apabila dalam menjalankan aktivitas perseroan terbukti menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat;
  4. Transparansi yang jelas mengenai permasalahan perizinan perseroan terutama dalam setiap kegiatan perusahaan yang bersentuhan langsung dengan sendi kehidupan masyarakat; dan
  5. Pendayagunaan tenaga lokal untuk diikutsertakan dalam kegiatan penigkatan produksi perseroan.
  6.  
    (Hero Herlambang Bratayudha, SH, Perancang Pertama pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Bengkulu)





Kamis, 06 Desember 2012

Akhirnya Peninjauan Kembali (PK) Agusrin Gubernur Bengkulu Ditolak Mahkamah Agung

Rabu, 28 November 2011
Putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak permohonan PK (Peninjauan Kembali) yang diajukan Gubernur Bengkulu nonaktif Agusrin M Najamudin, seolah menjadi takdir bagi dua orang yakni Junaidi Hamsyah dan Agusrin sendiri.
 Takdir Agusrin adalah berhenti dari jabatan Gubernur Bengkulu di tengah jalan dan harus menjalani hukuman penjara 4 tahun sesuai putusan di tingkat kasasi MA. Sedangkan takdir bagi Junaidi Hamsyah adalah menjadi Gubernur Bengkulu defenitif yang sempat tertunda pada Mei 2012 lalu.
Lima hakim PK yang menolak permohonan PK Agusrin dalam sidang Selasa (27/11) kemarin adalah Djoko Sarwoko, bersama 4 hakim anggota lainnya masing-masing Komariah Emong Sapardjaja, Suhadi, Syamsul Rakan Chaniago dan Leopold Luhut Hutagalung. PK diputus sekitar pukul 16.00 WIB.
Sejak dieksekusi 10 April 2012 lalu, Agusrin sendiri saat ini telah menjalani 7 bulan hukuman di Lapas Sukamiskin, Bandung. Bila dihitung lazimnya narapidana hanya menjalani masa 2/3 saja hukuman di penjara, maka berarti Agusrin akan berada di penjara selama 32 bulan. Bila dikurangi 7 bulan, berarti Agusrin bakal menjalani masa hukuman di penjara tinggal 25 bulan lagi atau 1 tahun 1 bulan.
Putusan PK Nomor 126 PK/Pid.Sus/2012 yang menolak penolakan terdakwa Agusrin M Najamudin menguatkan putusan kasasi MA yang menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara. Implikasi hukumnya, Keppres Tentang Pemberhentian Tetap Agusrin M Najamudin yang sekarang digugat ke PTUN Jakarta, juga bisa dilaksanakan. Termasuk juga Keppres Tentang Pengangkatan Junaidi Hamsyah sebagai Gubernur Bengkulu defenitif. “Ya, baru diputus,” ujar Djoko Sarwoko yang juga Humas MA, kemarin sore.
Berdasarkan kajian hakim kata Djoko Sarwoko, novum atau bukti baru yang menjadi syarat pengajuan PK tidak terbukti. Salah satu yang menjadi novum yang pernah disodorkan Kuasa Hukum Agusrin, Yusril Ihza Mahendera yakni dugaan pemalsuan tanda tangan terhadap kliennya. Yusril mengklaim ada kekeliruan dan kekhilafan fatal dari hakim kasasi MA karena dianggap telah melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 55 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).   “Dia kan mengajukan empat jenis novum. P1 sampai P4, ternyata bukan bukti baru,” tutur Djoko Sarwoko.
Dikonfirmasi Kuasa Hukum Agusrin, Yusril Ihza Mahendera belum mau berkomentar banyak soal putusan penolakan PK oleh MA itu. Dia beralasan belum mendapat pemberitahuan resmi. “Saya memang mendapat informasi bahwa putusan hari ini (kemarin,red). Tapi saya belum mendapat kabar hasilnya. Tadi banyak juga wartawan yang menepon ke saya, tapi saya bilang belum tahu,” kata Yusril dengan suara khasnya serak-serak basah kemarin.

Junaidi Segera Dilantik.

Ditempat terpisah Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kementerian Dalam Negeri, Reydonnyzar Moenek mengatakan dengan keluarnya putusan PK tersebut, pihaknya akan segera mengusulkan pelantikan Plt Gubernur Bengkulu, H. Junaidi Hamsyah, S.Ag, M.Pd menjadi Gubernur Bengkulu definitif kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam waktu dekat. Setelah menerima salinan amar putusan PK dari MA.
“Segera mungkin untuk dilaksanakan pelantikan. Kami tidak ingin proses pemerintahan tersandera. Pelantikan itu juga untuk menjamin efektifitas pemerintahan daerah. Semakin cepat terima salinan amar putusannya, maka akan makin cepat proses pelantikannya,” kata Reydonnyzar Moenek.
Pengusulan pelantikan itu tidak mesti menunggu atau mempertimbangkan sidang gugatan Agusrin atas Keppres No 40/P Tahun 2012 dan Keppres No 48/P Tahun 2012 di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang rencananya akan diputus Kamis (29/11) besok.
“Tidak perlu ditunggu apapun dari PTUN. Karena sudah berkekuatan hukum tetap. Setelah PK tidak ada upaya hukum lagi yang dapat ditempuh. Lagian apakah putusan PTUN tidak bisa bertentangan dengan MA,” kata Reydonnyzar Moenek.

Sumber : http://harianrakyatbengkulu.com/

Demi Tertib Hukum, Mahfud Ingatkan DPR

Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD telah melayangkan surat pada Oktober lalu ke Ketua DPR memberitahukan masa tugasnya akan berakhir pada 1 April 2013 mendatang. Selain mengirimkan surat permberitahuan, Mahfud juga mendatangi Komisi III DPR kemarin.
Kepada wakil rakyat, Mahfud mengingatkan kembali DPR untuk memilih penggantinya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi. Sesuai aturan, seminggu sebelum Mahfud berhenti, ketua baru Mahkamah Konstitusi (MK) sudah harus terpilih.
Dengan kata lain, Ketua Mahkamah Konstitusi baru sudah harus terpilih pada sekitar 23 atau 24 Maret tahun depan. Warning Mahfud kepada anggota DPR bukan tanpa dasar. Jangan sampai keterlambatan seleksi seperti yang terjadi pada seleksi anggota Komnas HAM terulang. “Saya mohon agar sesuai ketentuan Undang-Undang diproses, sehingga tidak terjadi kekosongan,” harap Mahfud.
Anggota Komisi III DPR memuji langkah Mahfud. Syarifuddin Suding, politisi Partai Hanura, menyebut Mahfud sebagai orang yang tertib hukum. Undang-Undang Mahkamah Konstitusi mewajibkan hakim memberitahukan akan berhenti. Ia mengapresiasi karena Mahfud sudah mengingatkan Komisi III sehingga langkah antisipasi disiapkan. “Jangan sampai kasus seleksi anggota Komnas HAM terulang,” imbuh Suding.
Politisi PKS, Indra, juga mengatakan warning Mahfud membuat Komisi DPR untuk bekerja selama empat bulan ini memproses pemilihan hakim konstitusi pengganti Mahfud dan hakim konstitusi lain yang segera pensiun. Waktu empat bulan dinilai Indra cukup bagi Komisi III mempersiapkan dan menyelenggarakan seleksi.
Mahfud sudah menegaskan berkali-kali tidak akan mencalonkan diri menjadi hakim konstitusi. Anggota Komisi III DPR, Ahmad Yani, berusaha ‘membujuk’ Mahfud agar bersedia kembali menjadi hakim konstitusi karena masih punya kesempatan satu periode. “Masih ada peluang jadi hakim konstitusi. Atau Pak Mahfud tidak ada keinginan lagi karena ada tugas negara lain dalam rangka capres?”
Mahfud menampik mengundurkan diri. Surat yang dia sampaikan adalah menjalankan kewajiban hukum. Kalaupun ia tidak akan menggunakan hak satu periode lagi sebagai hakim konstitusi bukan karena ingin mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden pada 2014 mendatang. “Tidak ada kaitannya dengan Pilpres, karena saya tahu ukuran,” tegasnya.
Pengganti
Di depan anggota Komisi III DPR, Mahfud mengungkapkan kebanggaannya menjadi hakim konstitusi. Hingga saat ini, hakim konstitusi masih dianggap bersih. “Saya bangga sebagai hakim MK. Saya bangga dengan hakim yang ada dan saya pastikan hakim yang ada bersih, saya jamin,” tegasnya.
Karena itu pula, Mahfud dihinggapi kerisauan. Guru Besar Hukum Tata Negara UII Yogyakarta ini risau tentang penggantinya kelak. Ia berharap siapapun penggantinya bisa menjaga tradisi hakim MK bersih dari suap. Ia menyarankan agar DPR benar-benar melaksanakan seleksi demi kepentingan bangsa. Apalagi, latar belakang setiap anggota Komisi III berbeda-beda.
Jangan sampai perbedaan itu membuat pertimbangan politik lebih diandalkan. Untuk melakukan seleksi hakim konstitusi, ada ukuran-ukuran yang bisa digunakan. Terutama untuk melihat integritas dan kepribadian yang tidak tercela, sikap adil, dan karakter kenegarawanan.
Politisi PKS, Indra, juga punya harapan agar siapapun ketua MK terpilih kelak bisa menjaga tradisi transparansi dan manajemen perkara yang bagus di Mahkamah Konstitusi selama ini.

Sumber :  http://www.hukumonline.com/

Selasa, 27 November 2012

Perubahan Konstitusi Indonesia dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan Perundang-Undangan  merupakan suatu peraturan  tertulis yang bersifat abstrak, mengatur (regelling) dan mengikat secara umum yang dibentuk berdasarkan kehendak dari organ-organ penyelenggara negara untuk menjalankan aktivitas pemerintahan. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan disebutkan bahwa peraturan perundang-undangan merupakan peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Jika menilik dari definisi normatif tersebut maka jelas bahwa definisi peraturan perundang-undangan telah mengalami pembatasan definisi berdasarkan ruang lingkup suatu entitas bernama negara. 
Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia dalam historis perkembangannya telah mengalami beberapa perubahan baik dari segi asas pembentukan, aspek teknis pembentukan maupun aspek muatan materinya. Perubahan tersebut pada dasarnya disebabkan oleh beberapa faktor berikut, yaitu  :
  1. Dampak (impact) dari perubahan konstitusi yang terjadi di Indonesia. Sejak tahun 1945 hingga tahun 2012 Indonesia telah memiliki 5 (lima) konstitusi yaitu UUD1945, Konstitusi RIS, UUDS 1950, UUD 1945 setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan UUD NRI Tahun 1945 Pasca 4 (empat) kali perubahan;
  2. Ekskalasi politik penguasa  juga ikut mengambil peran penting terhadap eksistensi hukum termasuk pembentukan perundang-undangan; dan
  3. Perkembangan hukum positif yang selalu menuntut terjadinya dinamika hukum yang adaptif sesuai dengan perkembangan masyarakat (Social Culture).
Sebagai salah satu komponen dasar yang penting dalam usaha menciptakan tatanan hukum yang baik, untuk menjamin kepastian hukum dan dalam rangka memenuhi ius constitutum dan ius constituendum di suatu negara, maka pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sangat mutlak diperlukan. Sederhananya dapat disimpulkan bahwa tidak mungkin ada stabilitas hukum yang statis tanpa adanya produk hukum yang baik. Untuk itulah sekiranya wajar jika dalam setiap negara termasuk Indonesia berusaha untuk mereform sistem pembentukan peraturan perundang-undangan masing-masing. Van Aveldhroome, seorang ahli hukum berkebangsaan belanda juga berpendapat bahwa suatu negara hukum yang baik adalah negara hukum yang idealnya dapat memenuhi unsur-unsur berikut, yaitu :
  1. Strchture of law, adanya perangkat organisatoris  termasuk aparatur hukum yang menjalankan peraturan perundang-undangan dengan baik;
  2. Unsure of Law; materi muatan peraturan perundang-undangan yang baik yang dihasilkan oleh pembentuk peraturan peruundang-undangan yang baik; dan 
  3. Authority of law, adanya pejabat atau lembaga negara pembentuk peraturan perundang-undangan yang memiliki moral dan mental yang baik.
Menilik dari pendapat terebut, jelas dapat kita simpulkan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik merupakan suatu aspek yang sangat penting dalam menegakkan sistem penegakan hukum yang efektif. 

Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menunjukkan secara implisit bahwa pemerintah secara luas pada dasarnya menginginkan terwujudnya pembentukan peraturan perudang-undangan yang baik. Disamping hal tersebut memang secara ekslusif telah diamanatkan oleh UUD NRI Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) yang menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara hukum sehingga menuntut adanya kewajiban negara untuk melaksanakan pembangunan hukum yang bersifat nasional, Apabila dikaji berdasarkan domain kebutuhannya, secara umum dapat dikatakan bahwa Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 cukup memenuhi standar teknis pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang "menyempurnakan' sekaligus mencabut peraturan perundang-undangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 

Beberapa muatan materi yang direvisi dan diubah yang patut untuk diketahui dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dari peraraturan yang lama adalah sebagai berikut :
  1. Penormaan kaedah dan sistematika penulisan peraturan  tersusun lebih sistematis, terstruktur dan efisien terutama dalam mendeskriptifkan isi dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011;
  2. Diakui dan dimasukkannya  Produk Hukum Ketetapan MPR ke dalam Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-undangan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Noor 12 Tahun 2011;
  3. Diurai terangkan secara cukup jelas mengenai bagaimana tahapan pembentukan seluruh produk peraturan perundang-undangan. Seperti Undang-Undang yang harus melewati tahap awal yaitu melalui Program Legislasi Nasional hingga tahap akhir yaitu penyebarluasan peraturan; 
  4. Peran dan Keterlibatan Perancang Peraturan Perundang-Undangan dan Peneliti dalam tahapan pembentukan perundang-undangan;
  5. Klasifikasi tegas penerapan sanksi pidana dalam muatan materi Peraturan Daerah Provinsi, Kabupaten atau Kota (Pasal 15); dan
  6. Penambahan Lampiran 1 tentang teknik penyusunan naskah akademik rancangan peraturan perundang-undangan;
Pada dasarnya terdapat cukup banyak perubahan yang terkandung di dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan. perubahan tersebut dapat kita temui apabila undang-undang tersebut  dikomparasikan dengan peraturan-peraturan yang ada sebelumnya. Atau bisa saja beberapa kaedah hukum yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 diperlukan untuk mengisi adanya kekosongan hukum (rechtsvakuum) dalam ranah pembentukan peraturan perundang-undangan. Tentu suatu peraturan perundang-undangan tidaklah ada yang sempurna dan tidak mungkin dibuat dengan sempurna. Terlepas dari itu semua, kritikan dan sumbangsih pemikiran tentu amat diperlukan demi penyempurnaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 disamping untuk memperkaya khasanah literatur hukum para praktisi hukum. Menciptakan produk hukum yang baik, berkualitas dan dapat berlaku efektif di masyarakat tentu akan menjadi tantangan berat bagi kita. Wassalam ..

(Hero Herlambang B, SH, Perancang Peraturan Pertama pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Bengkulu).


Hero Herlambang Bratayudha, SH - Rayhan Yusuf Mirshab