ARTI
PENTING PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM
PEMBENTUKAN
PERATURAN DAERAH
OLEH :
JISI NASISTIAWAN, SH., MH
PERANCANG MADYA
PADA KANWIL KEMENKUMHAM BENGKULU
A.
PENDAHULUAN
Dalam proses pembangunan,
apapun yang dibuat oleh lembaga negara dalam menjalankan kekuasaannya haruslah
bertumpu pada tujuan untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Kebijakan
pembangunan yang dibuat oleh pemerintah tidak dapat dilepaskan dari sistem
politik yang ada pada pemerintah tersebut. Sistem politik itu sendiri terdiri
dari tiga hal yaitu input, proses, dan output. Proses-proses ini yang
mengandung nilai-nilai demokrasi partisipatif
yang memberikan penghargaan kepada masyarakat untuk turut serta berpartisipasi
dalam pembangunan negara dan bangsa, terutama dalam bidang hukum dan politik.
Partisipasi masyarakat dalam
rangka pembangunan nasional merupakan bentuk pelaksanaan demokrasi yang secara
terminologi diartikan sebagai suatu sistem pemerintahan dimana rakyat
diikutsertakan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Dalam menuju
kehidupan bernegara yang sempurna, rakyatlah yang harus banyak memegang
peranan. Oleh karena itu rakyat harus mengendalikan pemerintahan. Ini berarti
bahwa dalam negara demokrasi proses kegiatan negara harus juga merupakan suatu
proses dimana semua warganya dapat mengambil bagian dan memberikan sumbangannya
dengan leluasa[1]. Partisipasi masyarakat ini tidak
hanya berada pada tataran kegiatan pembangunan fisik dan proyek-proyek fisik
saja, namun meliputi pula pembangunan non fisik berupa kebijakan-kebijakan
pemerintah dalam bentuk output yang dikeluarkan oleh pemerintah berupa
perangkat aturan perundang-undangan atau perangkat hukum.
Peraturan perundang-undangan yang diartikan sebagai peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan diperlukan sebagai alat untuk mengatur tata cara dan hubungan antara negara, penyelenggara negara, dan rakyat dalam melaksanakan kehidupan bernegara sehingga diharapkan menciptakan keteraturan, ketertiban, dan perlindungan bagi setiap unsur negara tersebu. Karena itulah, maka dalam penyusunan peraturan perundang-undangan diperlukan adanya ada partisipasi masyarakat sebagai wujud asas demokrasi dalam penyelenggaraan negara.
Peraturan perundang-undangan yang diartikan sebagai peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan diperlukan sebagai alat untuk mengatur tata cara dan hubungan antara negara, penyelenggara negara, dan rakyat dalam melaksanakan kehidupan bernegara sehingga diharapkan menciptakan keteraturan, ketertiban, dan perlindungan bagi setiap unsur negara tersebu. Karena itulah, maka dalam penyusunan peraturan perundang-undangan diperlukan adanya ada partisipasi masyarakat sebagai wujud asas demokrasi dalam penyelenggaraan negara.
Peraturan Daerah
sebagai bagian dari hierarki peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah
(Gubernur atau Bupati/Walikota) adalah peraturan perundang-undangan yang
dibentuk untuk mengatur suatu permasalahan yang bersifat lokal di suatu daerah.
Peraturan Daerah sebagai suatu peraturan perundang-undangan dalam penyusunannya
harus dilaksanakan dengan melibatkan partisipasi masyarakat.
Salah satu sisi penting dari penyusunan Peraturan Daerah yang berbasis aspirasi
masyarakat adalah Peraturan
Daerah tersebut akan mempunyai landasan sosiologis yang kuat dan mendapat legitimasi dari
masyarakat. Landasan sosiologis yang dimaksudkan disini adalah bahwa tujuan
pembentukan suatu Peraturan Daerah itu benar-benar dilatarbelakangi oleh kebutuhan
masyarakat untuk memecahkan masalah secara rasional.
B.
ARTI
PENTING PARTISIPASI MASYARAKAT
Dalam perspektif International IDEA, untuk membangun
pemerintahan yang demokratis sangatlah penting adanya jaminan satu akses yang
memungkinkan keterlibatan dan keikutsertaan masyarakat dalam proses-proses
pembuatan keputusan. Suatu masyarakat sipil yang kuat merupakan suatu prasyarat
bagi demokrasi yang kuat, meskipun diakui bahwa demokrasi mengijinkan atau
memungkinkan timbulnya pengelompokan dan organisasi-organisasi yang memiliki
ide dan sikap yang justru bertentangan dengan perdamaian, toleransi, dan
prinsip-prinsip itu sendiri[2].
Partisipasi rakyat dalam pembangunan
adalah suatu bentuk kerjasama yang erat antara perencana dan rakyat dalam
merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan
yang telah dicapai. Ukuran tinggi rendah partisipasi rakyat dalam pembangunan
tidak hanya diukur dengan kemauan rakyat untuk menanggung biaya, tetapi juga
dengan ada tidaknya hak rakyat untuk ikut menentukan arah dan tujuan proyek
yang akan dibangun di wilayahnya. Selain itu adalah ada tidaknya kemauan rakyat
untuk secara mandiri melestarikan dan mengembangkan hasil proyek tersebut.
Artinya menurut Sri Edi Swasono
sebagaimana dikutip Oloan Sitorus, hak partisipasi masyarakat dalam pembangunan
meliputi hak partisipasi-imajinatif dan partisipasi-korektif, dan dari situ
bisa diperoleh partisipasi suportif dari masyarakat luas[3].
Ada tiga alasan mengapa peran
serta atau partisipasi masyarakat mempunyai sifat sangat penting. Pertama, partisipasi masyarakat
merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan
sikap masyarakat setempat yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta
proyek-proyek akan gagal. Kedua,
masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau pogram pembangunan jika merasa
dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaan, karena akan lebih mengetahui
seluk beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek
tersebut. Ketiga, sudah merupakan
anggapan banyak negara bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat
dilibatkan dalam pembangunan. Anggota masyarakat sudah merasakan adanya hak
urun rembug (pemberi saran) dalam menentukan jenis pembangunan yang akan
dilakukan di daerahnya. Hal ini selaras dengan konsep “man centered development” (suatu pembangunan yang dipusatkan pada
kepentingan manusia) yaitu jenis pembangunan yang lebih diarahkan demi
perbaikan nasib manusia dan tidak sekedar sebagai alat pembangunan itu sendiri[4].
Dalam
kerangka penegakan hukum dan politik sebagai bagian dari pembangunan nasional,
ada empat jenis partisipasi masyarakat yaitu[5]
:
1.
Jika kesadaran dan pengetahuan hukum
yang tinggi dan di imbangi dengan kepercayaan yang tinggi, maka jenis dan sifat
partisipasi itu sehat. Model partisipasi ini sehat lantaran mereka loyal dan
mendukung sistem tersebut. Jenis ini lahir dari kalangan terdidik yang relatif
tinggi pengetahuan dan kesadaran hukumnya. Mereka juga patuh dan mendukung
sistem hukum dan politik yang ada karena memang hukum berlaku objektif dan non
diskriminasi. Sistem hukum yang rasional dan tidak memihak pada gilirannya
bukan saja memungkinkan masyarakat dapat berpartisipasi secara aktif namun
lebih jauh partisipasi itu sekaligus dapat dipertanggung jawabkan. Model ini
hanya mungkin terjadi pada sistem yang demokratis.
2.
Jika pengetahuan dan kesadaran hukum
masyarakat yang tinggi namun tidak
diimbangi dengan kepercayaan yang memadai terhadap sistem hukum itu. Dalam
kondisi masyarakat yang kritis dan berani, namun tidak yakin obyektifitas
sistem, tidak jarang muncul gugatan dan gerakan menentang sistem. Muncullah apa
yang kemudian disebut sebagai radikalisme politik yang timbul akibat keengganan
sebagian orang-orang yang berkuasa untuk melaksanakan cita-cita yang sudah
ditentukan kontitusi.
3.
Jika pengetahuan atau kesadaran politik
masyarakat yang rendah bertalian dengan kepercayaan yang tinggi terhadap sistem
politik. Dalam iklim seperti ini, masyarakat mungkin terkesan tidak aktif
berpolitik. Tetapi sebenarnya secara diam-diam mereka dapat menerima sistem
politik yang berlaku. Partisipasi jenis ini biasanya umum terjadi dalam sistem
politik yang tradisional atau dalam masyarakat yang relatif belum well informed.
4.
Jika kesadaran atau pengetahuan politik
masyarakat yang rendah paralel dengan kepercayaan yang rendah pula terhadap
sistem hukum dan politik. Dalam hal ini walaupun kelihatan masyarakat bersifat
a-politis dan pasif namun dalam kepasifan itu mereka menyimpan kegerahan dan
perasaan tertekan, terutama oleh perlakuan penguasa yang mereka anggap
sewenang-wenang. Bisa jadi mereka merasa asing, termarjinalisasi dan dimusuhi.
Namun mereka tidak sanggup mengidentifikasi bahwa perilaku kekuasaan itu
bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Keempat
jenis partisipasi masyarakat ini sangat berkaitan erat dengan sistem politik
yang dibangun oleh pemerintah, terutama dalam pemberian input, proses dan
keluarnya output dari pemerintah. Ini akan menimbulkan suatu bentuk reaksi dari
masyarakat. Jika dalam proses input aspirasi masyarakat dirangkum, maka output
yang dihasilkan akan bersifat responsif dan dapat diterima dengan baik oleh
masyarakat. Sedangkan jika sebaliknya aspirasi masyarakat diabaikan maka output
yang dihasilkan akan bersifat represif dan akan menimbulkan perlawanan dari
masyarakat.
Dalam
konteks pelaksanaan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia
telah membawa peluang terciptanya demokrasi di/dari bawah (grass roots democracy). Hal ini disebabkan karena :
a)
Pemerintahan dilakukan oleh Rakyat Daerah itu
sendiri ; jadi dalam prinsipnya, yang menentukan politik Daerah itu adalah
Rakyat Daerah itu. Maka dapatlah diharapkan bahwa politik itu akan sesuai
dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat daerah itu ;
b)
Dalam prakteknya, para penguasa pemerintahan Daerah
adalah putra-putra Daerah itu sendiri, setidak-tidaknya orang-orang yang sudah
cukup lama menjadi penduduk Daerah itu, yang sudah tentu dapat diharapkan lebih
mengetahui keadaan daerah daripada “orang luar”. Akibatnya, para penguasa
daerah diharapkan mengetahui pula cara pemerintahan yang lebih tepat bagi
daerahnya[6].
Berdasarkan kedua hal tersebut
di atas, tersirat suatu pengertian bahwa dalam pelaksanaan atau penyelenggaraan
pemerintahan di daerah, partisipasi rakyat merupakan perwujudan demokrasi dan
sangat penting untuk mencapai tujuan pembangunan daerah dan pembangunan
nasional.
Pentingnya partisipasi
masyarakat dalam menentukan keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan daerah
dikarenakan hal-hal sebagai berikut :
Pertama, Ditinjau dari segi organisasi, pemerintahan
daerah merupakan organisasi yang bersistem terbuka (open system). Organisasi ini menurut Katz dan Kahn sebagaimana
dikutip oleh Josef Riwu Kaho[7],
ditandai oleh adanya impor energi (importation
of energy) dari lingkungannya agar dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya.
Tanpa adanya impor energi, suatu organisasi dengan sistem terbuka tidak dapat
menjalankan fungsinya dengan sebaik-baiknya. Penyelenggaraan pemerintahan
daerah di Indonesia, mengandalkan pemerintah pusat dalam sumber energinya baik
yang berupa dana ataupun berupa personil. Akibatnya adalah terjadinya
ketergantungan yang kuat pada pemerintah pusat serta besarnya campur tangan
pemerintah pusat pada daerah-daerah. Keadaan ini tidak sesuai dengan tujuan
desentralisasi itu sendiri dan harus dihilangkan secara bertahap. Hal yang
dapat dilakukan salah satunya adalah dengan melibatkan masyarakat untuk ikut
serta bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan otonomi daerah. Dalam hal ini
partisipasi masyarakat difungsikan sebagai substitusi energi pusat dan sebagai
sumber energi aternatif bagi daerah, sehingga secara bertahap dapat melepaskan
diri dari ketergantungan terhadap pusat.
Kedua, partisipasi masyarakat juga merupakan pemenuhan
terhadap etika politik yang menempatkan rakyat sebagai sumber kekuasaan dan
kedaulatan.
Ketiga, bahwa partisipasi masyarakat adalah didasarkan pada
pertimbangan bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat yang melaksanakannya melalui
kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan serta masa depan masyarakat itu dan
untuk menentukan orang-orang yang akan memegang tampuk pimpinan untuk masa
mendatang.
Kemudian dalam
konteks penyusunan Peraturan Daerah, pelibatan masyarakat tidak hanya membantu
pemerintah daerah dengan pertimbangan awal dalam
perancangan peraturan, tetapi juga berfungsi memasyarakatkan peraturan tersebut
lebih dulu sebelum peraturan itu diberlakukan setelah disahkan. Jika suatu
peraturan dikeluarkan setelah terlebih dahulu “berkonsultasi” dengan
masyarakat, maka biasanya peraturan itu akan lebih mudah dan cepat diterima oleh
masyarakat pada saat diberlakukan. Hal ini juga merupakan suatu metode untuk
menyelaraskan sumber informasi di antara masyarakat selama penyusunan peraturan
perundang-undangan.
Sebagaimana dipahami,
bahwa peraturan perundang-undangan yang merupakan aturan hukum harus dapat
berfungsi sebagai sarana pemberdayaan masyarakat, dimana hukum berfungsi bukan
saja sekedar social engineering dan social control, melainkan juga
menyediakan ruang bagi partisipasi sebanyak mungkin entitas sosial atau
masyarakat dalam memutuskan dan mengartikulasikan kepentingan yang pluralistik,
dimana tanggungjawab dibebankan kepada satu sama lain sebagai anggota dari
masyarakat global .
Ada beberapa faktor yang
mendorong keterlibatan dan peran serta masyarakat dalam proses pembentukan
peraturan perundang-undangan sebagaimana dikutip dari pendapat Syaukani HR
yaitu:[8]
1)
Nilai
filosofis demokrasi
Demokrasi mengajarkan bahwa dalam pengambilan
keputusan yang akan mengatur rakyat, maka rakyat perlu didengar aspirasinya.
Dukungan dan keberatan perlu didengar dan dijadikan pertimbangan dalam
pengambilan keputusan. Oleh sebab itu dalam proses penyusunan program legislasi
daerah aspirasi, tuntutan dan keberadaan seluruh komponen masyarakat sebagai stakeholders perlu menjadi perhatian.
2)
Keterbatasan
pengambil keputusan
Pemerintah daerah dan DPRD sebagai pembuat peraturan
perundang-undangan tentu saja mempunyai keterbatasan untuk mengetahui secara
komprehensif terhadap kondisi, kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Oleh sebab
itu masyarakat perlu diikutsertakan dalam proses legislasi, dengan memberikan
kesempatan kepada mereka menyampaikan aspirasi, keinginan dan pendapatnya.
3)
Dukungan
masyarakat
Peraturan perundang-undangan yang tidak memperhatikan
aspirasi dan kepentingan masyarakat cenderung akan menimbulkan penolakan dalam
pelaksanaannya. Oleh sebab itu agar produk legislasi tersebut mendapat dukungan
masyarakat maka peran serta masyarakat dalam proses legislasi perlu
ditingkatkan. Tidak semua bagian masyarakat dapat dilibatkan dalam proses
pembentukan legislasi daerah. Pelibatan masyarakat tersebut harus tetap disesuaikan
dengan substansi dan kepentingan pembentukan peraturan daerah dimaksud. Untuk
itu pelibatan masyarakat dapat ditujukan
pada kelompok-kelompok
masyarakat atau perorangan yang dipandang memiliki otoritas atau dapat
memberikan masukan dalam proses penyusunan
peraturan perundang-undangan melalui Program Legislasi Daerah. Misalnya
kalangan universitas (akademik), kelompok profesi hukum, lembaga swadaya
masyarakat, tokoh-tokoh masyarakat dari kelompok masyarakat tertentu, dan
tokoh-tokoh masyarakat dari kelompok kepentingan atau kelompok profesi,
misalnya tokoh masyarakat nelayan, kelompok petani, pengusaha dan lain
sebagainya.
4)
Pertanggungjawaban
Anggota DPRD dipilih oleh rakyat secara langsung
melalui pemilu. Demikian juga dengan kepala daerah yang dipilih langsung oleh
rakyat melalui PILKADA. Sebagai wujud pertanggungjawabannya kepada pemilih maka
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan peran serta masyarakat perlu
ditingkatkan.
Mengingat
begitu pentingnya arti partisipasi masyarakat dalam upaya pembangunan sebagaimana
telah diuraikan di atas, serta sebagai bagian menumbuhkembangkan asas demokrasi
di Indonesia pada proses pembangunan dan pengeluaran kebijakan pemerintah dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka perlu diambil langkah-langkah
yaitu :
1.
Pendidikan politik bagi masyarakat
Perlu
dilakukan peningkatan proses pendidikan politik secara benar baik oleh
pemerintah, DPR, partai politk maupun komponen masyarakat lainnya. Dengan
pendidikan politik yang benar maka masyarakat akan dapat memahami hak dan
kewajibannya dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
2.
Penumbuhan partisipasi masyarakat
Perlu
dilakukan upaya penumbuhan partisipasi masyarakat, jika partisipasi masyarakat
sangat rendah maka dapat dilakukan secara bertahap. Pada tahap awal mungkin
partisipasi karena adanya paksaan, kemudian dikembangkan menjadi partisipasi
karena adanya imbalan, dan akhirnya partisipasi yang tumbuh secara sukarela.
3.
Penerapan prinsip transparansi
Perlu
adanya peningkatan penerapan prinsip transparansi dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Dalam hal ini dapat dilakukan dengan upaya aktif
pemerintah dan DPR mempublikasikan setiap rancangan peraturan
perundang-undangan yang akan dibentuk.
4.
Jaminan akses publik
Perlu
adanya jaminan dari seluruh komponen masyarakat untuk bebas mengakses setiap
rancangan peraturan perundang-undangan dan produk hukum yang sudah ditetapkan.
C.
PENGATURAN PARTISIPASI
MASYARAKAT DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH.
Dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan di daerah, partisipasi
masyarakat untuk turut serta dalam proses tersebut secara konstitusional berlandaskan pada Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 yang berbunyi “Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.
Diatur pula dalam pasal 28E ayat (3) yang berbunyi “Setiap orang berhak
atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Ketentuan Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 selanjutnya diterjemahkan dalam ketentuan Pasal 139 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau
tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Peraturah Daerah.
Secara
lebih khusus, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 kemudian memberikan peluang
bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyusunan peraturan
perundang-undangan. Dalam ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
disebutkan bahwa salah satu asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
adalah asas keterbukaan. Dalam penjelasan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan asas keterbukaan adalah bahwa dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan
terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang
seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, dinyatakan bahwa masyarakat
berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan yang dapat dilakukan melalui rapat dengar pendapat
umum, kunjungan kerja, sosialisasi, dan/atau seminar, lokakarya, dan/atau
diskusi. partisipasi masyarakat tersebut dapat dilakukan oleh orang
perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi
rancangan peraturan perundang-undangan. selanjutnya untuk memudahkan masyarakat
dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis, setiap rancangan
peraturan perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Proses pelibatan masyarakat dalam penyusunan peraturan
perundang-undangan dilakukan
dalam tiap tahapan, mulai dari proses perencanaan hingga hingga pada tahap
akhir terbentuknya peraturan perundang-undangan. untuk itu perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat,
yang dilanjutkan dengan penyerapan aspirasi masyarakat terhadap materi dan substansi rancangan
peraturan perundang-undangan. Oleh
karena itu, Pemerintah Daerah
maupun DPRD harus memberikan
kesempatan yang luas terhadap adanya partisipasi masyarakat. Bahkan partisipasi
masyarakat adalah merupakan prasyarat dalam proses pembentukan peraturan
daerah, karena sebagai pemilik kedaulatan setiap warga negara mempunyai hak dan
kewajiban untuk mengambil bagian dalam proses bernegara, berpemerintahan dan
bermasyarakat.
D.
PENUTUP
Tugas pembentukan peraturan
daerah merupakan tugas yang berat karena banyaknya persoalan-persoalan yang
dihadapi dan diselesaikan oleh pemerintah. Namun dengan tekad yang kuat serta
kemauan yang keras, segala kesulitan dan hambatan yang dihadapi oleh pemerintah
akan dapat diatasi. Usaha itu akan sia-sia apabila masyarakat tidak ikut aktif
mengambil bagian. Oleh karena itu partisipasi rakyat secara positif dalam pembangunan hukum sangat menentukan bagi
berhasilnya tugas berat yang dihadapi.
Tindakan yang dapat dilakukan oleh masyarakat,
sehingga dapat mewujudkan hukum sebagai instrumen pemberdayaan masyarakat
adalah masyarakat mempunyai hak secara merdeka dalam memberikan masukan secara
informal kepada lembaga-lembaga produk hukum. Pembentukan sebanyak mungkin
lembaga yang mengawasi dan melindungi kepentingan rakyat banyak, dari
kemungkinan adanya peraturan hukum yang tidak memihak kepada kepentingan rakyat
dalam segala aspek.
SUMBER
PUSTAKA
Bambang
Sunggono, Hukum dan Kebijaksanaan Publik,
Cet Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 1994.
Satya
Arinanto, Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik Di Indonesia, Cetakan
Kedua, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Jakarta, 2005.
Oloan
Sitorus, Hukum Konsolidasi Tanah
Perkotaan Sebagai Instrumen Kebijakan Pertanahan Partisiatif Dalam Penataan
Ruang. Proposal Penelitian, Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara,
Medan, Tanpa Tahun.
Anas
Urbaningrum, Mahasiswa, Reformasi, dan
Transisi Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Makalah disampaikan pada
Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Bengkulu bekerjasama dengan ISMAHI, 19 Oktober 1998.
Josef
Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di
Negara Republik Indonesia : Identifikasi Beberapa Faktor yang
Mempengaruhi Penyelenggaraannya, Rajawali Pers, Jakarta, 2001.
Syaukani
HR, Peran Serta Masyarakat Dalam
Penyusunan Program Legislasi Daerah, Makalah disampaikan pada Temu
Konsultasi Penyusunan Program Legislasi Daerah Pusat Perencanaan Hukum Nasional
BPHN, Bali 13-15 September 2005.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
[1] Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Cet Pertama, Sinar Grafika,
Jakarta, 1994, hlm. 59
[2] Dikutip dari Satya Arinanto, Hak
Asasi Manusia Dalam Transisi Politik Di Indonesia, Cetakan Kedua, Pusat
Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005,
hlm. 267
[3] Oloan Sitorus, Hukum Konsolidasi Tanah Perkotaan Sebagai Instrumen Kebijakan
Pertanahan Partisiatif Dalam Penataan Ruang. Proposal Penelitian, Pasca
Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, Tanpa Tahun, hlm. 22
[5] Anas Urbaningrum, Mahasiswa, Reformasi, dan Transisi Menuju Negara Hukum Yang Demokratis,
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Senat
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bengkulu bekerjasama dengan ISMAHI, 19
Oktober 1998.
[6] Josef Riwu Kaho, Prospek
Otonomi Daerah di Negara Republik
Indonesia : Identifikasi
Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya, Rajawali Pers, Jakarta,
2001, hlm.
12
[7] Ibid,
hlm. 110
[8] Syaukani HR, Peran Serta Masyarakat Dalam Penyusunan Program Legislasi Daerah,
Makalah disampaikan pada Temu Konsultasi Penyusunan Program Legislasi Daerah
Pusat Perencanaan Hukum Nasional BPHN, Bali 13-15 September 2005, hlm.
6-7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar