Selasa, 22 April 2014

ARTI PENTING PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH



ARTI PENTING PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM
PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH


OLEH :
JISI NASISTIAWAN, SH., MH
PERANCANG MADYA
PADA KANWIL KEMENKUMHAM BENGKULU

A.           PENDAHULUAN
Dalam proses pembangunan, apapun yang dibuat oleh lembaga negara dalam menjalankan kekuasaannya haruslah bertumpu pada tujuan untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Kebijakan pembangunan yang dibuat oleh pemerintah tidak dapat dilepaskan dari sistem politik yang ada pada pemerintah tersebut. Sistem politik itu sendiri terdiri dari tiga hal yaitu input, proses, dan output. Proses-proses ini yang mengandung nilai-nilai demokrasi partisipatif  yang memberikan penghargaan kepada masyarakat untuk turut serta berpartisipasi dalam pembangunan negara dan bangsa, terutama dalam bidang hukum dan politik.
Partisipasi masyarakat dalam rangka pembangunan nasional merupakan bentuk pelaksanaan demokrasi yang secara terminologi diartikan sebagai suatu sistem pemerintahan dimana rakyat diikutsertakan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Dalam menuju kehidupan bernegara yang sempurna, rakyatlah yang harus banyak memegang peranan. Oleh karena itu rakyat harus mengendalikan pemerintahan. Ini berarti bahwa dalam negara demokrasi proses kegiatan negara harus juga merupakan suatu proses dimana semua warganya dapat mengambil bagian dan memberikan sumbangannya dengan leluasa[1]. Partisipasi masyarakat ini tidak hanya berada pada tataran kegiatan pembangunan fisik dan proyek-proyek fisik saja, namun meliputi pula pembangunan non fisik berupa kebijakan-kebijakan pemerintah dalam bentuk output yang dikeluarkan oleh pemerintah berupa perangkat aturan perundang-undangan atau perangkat hukum. 


Peraturan perundang-undangan yang diartikan sebagai peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan diperlukan sebagai alat untuk mengatur tata cara dan hubungan antara negara, penyelenggara negara, dan rakyat dalam melaksanakan kehidupan bernegara sehingga diharapkan menciptakan keteraturan, ketertiban, dan perlindungan bagi setiap unsur negara tersebu. Karena itulah, maka dalam penyusunan peraturan perundang-undangan diperlukan adanya ada partisipasi masyarakat sebagai wujud asas demokrasi dalam penyelenggaraan negara.
Peraturan Daerah sebagai bagian dari hierarki peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah (Gubernur atau Bupati/Walikota) adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk untuk mengatur suatu permasalahan yang bersifat lokal di suatu daerah. Peraturan Daerah sebagai suatu peraturan perundang-undangan dalam penyusunannya harus dilaksanakan dengan melibatkan partisipasi masyarakat.
Salah satu sisi penting dari penyusunan Peraturan Daerah yang berbasis aspirasi masyarakat adalah Peraturan Daerah tersebut akan mempunyai landasan sosiologis yang kuat dan mendapat legitimasi dari masyarakat. Landasan sosiologis yang dimaksudkan disini adalah bahwa tujuan pembentukan suatu Peraturan Daerah itu benar-benar dilatarbelakangi oleh kebutuhan masyarakat untuk memecahkan masalah secara rasional.


B.            ARTI PENTING PARTISIPASI MASYARAKAT
Dalam perspektif International IDEA, untuk membangun pemerintahan yang demokratis sangatlah penting adanya jaminan satu akses yang memungkinkan keterlibatan dan keikutsertaan masyarakat dalam proses-proses pembuatan keputusan. Suatu masyarakat sipil yang kuat merupakan suatu prasyarat bagi demokrasi yang kuat, meskipun diakui bahwa demokrasi mengijinkan atau memungkinkan timbulnya pengelompokan dan organisasi-organisasi yang memiliki ide dan sikap yang justru bertentangan dengan perdamaian, toleransi, dan prinsip-prinsip itu sendiri[2].
Partisipasi rakyat dalam pembangunan adalah suatu bentuk kerjasama yang erat antara perencana dan rakyat dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai. Ukuran tinggi rendah partisipasi rakyat dalam pembangunan tidak hanya diukur dengan kemauan rakyat untuk menanggung biaya, tetapi juga dengan ada tidaknya hak rakyat untuk ikut menentukan arah dan tujuan proyek yang akan dibangun di wilayahnya. Selain itu adalah ada tidaknya kemauan rakyat untuk secara mandiri melestarikan dan mengembangkan hasil proyek tersebut. Artinya menurut Sri Edi Swasono sebagaimana dikutip Oloan Sitorus, hak partisipasi masyarakat dalam pembangunan meliputi hak partisipasi-imajinatif dan partisipasi-korektif, dan dari situ bisa diperoleh partisipasi suportif dari masyarakat luas[3].
Ada tiga alasan mengapa peran serta atau partisipasi masyarakat mempunyai sifat sangat penting. Pertama, partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal. Kedua, masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau pogram pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaan, karena akan lebih mengetahui seluk beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek tersebut. Ketiga, sudah merupakan anggapan banyak negara bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan. Anggota masyarakat sudah merasakan adanya hak urun rembug (pemberi saran) dalam menentukan jenis pembangunan yang akan dilakukan di daerahnya. Hal ini selaras dengan konsep “man centered development” (suatu pembangunan yang dipusatkan pada kepentingan manusia) yaitu jenis pembangunan yang lebih diarahkan demi perbaikan nasib manusia dan tidak sekedar sebagai alat pembangunan itu sendiri[4].
Dalam kerangka penegakan hukum dan politik sebagai bagian dari pembangunan nasional, ada empat jenis partisipasi masyarakat yaitu[5] :
1.            Jika kesadaran dan pengetahuan hukum yang tinggi dan di imbangi dengan kepercayaan yang tinggi, maka jenis dan sifat partisipasi itu sehat. Model partisipasi ini sehat lantaran mereka loyal dan mendukung sistem tersebut. Jenis ini lahir dari kalangan terdidik yang relatif tinggi pengetahuan dan kesadaran hukumnya. Mereka juga patuh dan mendukung sistem hukum dan politik yang ada karena memang hukum berlaku objektif dan non diskriminasi. Sistem hukum yang rasional dan tidak memihak pada gilirannya bukan saja memungkinkan masyarakat dapat berpartisipasi secara aktif namun lebih jauh partisipasi itu sekaligus dapat dipertanggung jawabkan. Model ini hanya mungkin terjadi pada sistem yang demokratis.
2.            Jika pengetahuan dan kesadaran hukum masyarakat  yang tinggi namun tidak diimbangi dengan kepercayaan yang memadai terhadap sistem hukum itu. Dalam kondisi masyarakat yang kritis dan berani, namun tidak yakin obyektifitas sistem, tidak jarang muncul gugatan dan gerakan menentang sistem. Muncullah apa yang kemudian disebut sebagai radikalisme politik yang timbul akibat keengganan sebagian orang-orang yang berkuasa untuk melaksanakan cita-cita yang sudah ditentukan kontitusi.
3.            Jika pengetahuan atau kesadaran politik masyarakat yang rendah bertalian dengan kepercayaan yang tinggi terhadap sistem politik. Dalam iklim seperti ini, masyarakat mungkin terkesan tidak aktif berpolitik. Tetapi sebenarnya secara diam-diam mereka dapat menerima sistem politik yang berlaku. Partisipasi jenis ini biasanya umum terjadi dalam sistem politik yang tradisional atau dalam masyarakat yang relatif belum well informed.
4.            Jika kesadaran atau pengetahuan politik masyarakat yang rendah paralel dengan kepercayaan yang rendah pula terhadap sistem hukum dan politik. Dalam hal ini walaupun kelihatan masyarakat bersifat a-politis dan pasif namun dalam kepasifan itu mereka menyimpan kegerahan dan perasaan tertekan, terutama oleh perlakuan penguasa yang mereka anggap sewenang-wenang. Bisa jadi mereka merasa asing, termarjinalisasi dan dimusuhi. Namun mereka tidak sanggup mengidentifikasi bahwa perilaku kekuasaan itu bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Keempat jenis partisipasi masyarakat ini sangat berkaitan erat dengan sistem politik yang dibangun oleh pemerintah, terutama dalam pemberian input, proses dan keluarnya output dari pemerintah. Ini akan menimbulkan suatu bentuk reaksi dari masyarakat. Jika dalam proses input aspirasi masyarakat dirangkum, maka output yang dihasilkan akan bersifat responsif dan dapat diterima dengan baik oleh masyarakat. Sedangkan jika sebaliknya aspirasi masyarakat diabaikan maka output yang dihasilkan akan bersifat represif dan akan menimbulkan perlawanan dari masyarakat.
Dalam konteks pelaksanaan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia telah membawa peluang terciptanya demokrasi di/dari bawah (grass roots democracy). Hal ini disebabkan karena :
a)            Pemerintahan dilakukan oleh Rakyat Daerah itu sendiri ; jadi dalam prinsipnya, yang menentukan politik Daerah itu adalah Rakyat Daerah itu. Maka dapatlah diharapkan bahwa politik itu akan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat daerah itu ;
b)            Dalam prakteknya, para penguasa pemerintahan Daerah adalah putra-putra Daerah itu sendiri, setidak-tidaknya orang-orang yang sudah cukup lama menjadi penduduk Daerah itu, yang sudah tentu dapat diharapkan lebih mengetahui keadaan daerah daripada “orang luar”. Akibatnya, para penguasa daerah diharapkan mengetahui pula cara pemerintahan yang lebih tepat bagi daerahnya[6].
Berdasarkan kedua hal tersebut di atas, tersirat suatu pengertian bahwa dalam pelaksanaan atau penyelenggaraan pemerintahan di daerah, partisipasi rakyat merupakan perwujudan demokrasi dan sangat penting untuk mencapai tujuan pembangunan daerah dan pembangunan nasional.
Pentingnya partisipasi masyarakat dalam menentukan keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan daerah dikarenakan hal-hal sebagai berikut :
Pertama, Ditinjau dari segi organisasi, pemerintahan daerah merupakan organisasi yang bersistem terbuka (open system). Organisasi ini menurut Katz dan Kahn sebagaimana dikutip oleh Josef Riwu Kaho[7], ditandai oleh adanya impor energi (importation of energy) dari lingkungannya agar dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya. Tanpa adanya impor energi, suatu organisasi dengan sistem terbuka tidak dapat menjalankan fungsinya dengan sebaik-baiknya. Penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia, mengandalkan pemerintah pusat dalam sumber energinya baik yang berupa dana ataupun berupa personil. Akibatnya adalah terjadinya ketergantungan yang kuat pada pemerintah pusat serta besarnya campur tangan pemerintah pusat pada daerah-daerah. Keadaan ini tidak sesuai dengan tujuan desentralisasi itu sendiri dan harus dihilangkan secara bertahap. Hal yang dapat dilakukan salah satunya adalah dengan melibatkan masyarakat untuk ikut serta bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan otonomi daerah. Dalam hal ini partisipasi masyarakat difungsikan sebagai substitusi energi pusat dan sebagai sumber energi aternatif bagi daerah, sehingga secara bertahap dapat melepaskan diri dari ketergantungan terhadap pusat.
Kedua, partisipasi masyarakat juga merupakan pemenuhan terhadap etika politik yang menempatkan rakyat sebagai sumber kekuasaan dan kedaulatan.
Ketiga, bahwa partisipasi masyarakat adalah didasarkan pada pertimbangan bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat yang melaksanakannya melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan serta masa depan masyarakat itu dan untuk menentukan orang-orang yang akan memegang tampuk pimpinan untuk masa mendatang.
Kemudian dalam konteks penyusunan Peraturan Daerah, pelibatan masyarakat tidak hanya membantu pemerintah daerah dengan pertimbangan awal dalam perancangan peraturan, tetapi juga berfungsi memasyarakatkan peraturan tersebut lebih dulu sebelum peraturan itu diberlakukan setelah disahkan. Jika suatu peraturan dikeluarkan setelah terlebih dahulu “berkonsultasi” dengan masyarakat, maka biasanya peraturan itu akan lebih mudah dan cepat diterima oleh masyarakat pada saat diberlakukan. Hal ini juga merupakan suatu metode untuk menyelaraskan sumber informasi di antara masyarakat selama penyusunan peraturan perundang-undangan.
Sebagaimana dipahami, bahwa peraturan perundang-undangan yang merupakan aturan hukum harus dapat berfungsi sebagai sarana pemberdayaan masyarakat, dimana hukum berfungsi bukan saja sekedar social engineering dan social control, melainkan juga menyediakan ruang bagi partisipasi sebanyak mungkin entitas sosial atau masyarakat dalam memutuskan dan mengartikulasikan kepentingan yang pluralistik, dimana tanggungjawab dibebankan kepada satu sama lain sebagai anggota dari masyarakat global .
Ada beberapa faktor yang mendorong keterlibatan dan peran serta masyarakat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana dikutip dari pendapat Syaukani HR yaitu:[8]
1)            Nilai filosofis demokrasi
Demokrasi mengajarkan bahwa dalam pengambilan keputusan yang akan mengatur rakyat, maka rakyat perlu didengar aspirasinya. Dukungan dan keberatan perlu didengar dan dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Oleh sebab itu dalam proses penyusunan program legislasi daerah aspirasi, tuntutan dan keberadaan seluruh komponen masyarakat sebagai stakeholders perlu menjadi perhatian.
2)            Keterbatasan pengambil keputusan
Pemerintah daerah dan DPRD sebagai pembuat peraturan perundang-undangan tentu saja mempunyai keterbatasan untuk mengetahui secara komprehensif terhadap kondisi, kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Oleh sebab itu masyarakat perlu diikutsertakan dalam proses legislasi, dengan memberikan kesempatan kepada mereka menyampaikan aspirasi, keinginan dan pendapatnya.
3)            Dukungan masyarakat
Peraturan perundang-undangan yang tidak memperhatikan aspirasi dan kepentingan masyarakat cenderung akan menimbulkan penolakan dalam pelaksanaannya. Oleh sebab itu agar produk legislasi tersebut mendapat dukungan masyarakat maka peran serta masyarakat dalam proses legislasi perlu ditingkatkan. Tidak semua bagian masyarakat dapat dilibatkan dalam proses pembentukan legislasi daerah. Pelibatan masyarakat tersebut harus tetap disesuaikan dengan substansi dan kepentingan pembentukan peraturan daerah dimaksud. Untuk itu pelibatan  masyarakat dapat ditujukan pada kelompok-kelompok masyarakat atau perorangan yang dipandang memiliki otoritas atau dapat memberikan masukan dalam  proses penyusunan peraturan perundang-undangan melalui Program Legislasi Daerah. Misalnya kalangan universitas (akademik), kelompok profesi hukum, lembaga swadaya masyarakat, tokoh-tokoh masyarakat dari kelompok masyarakat tertentu, dan tokoh-tokoh masyarakat dari kelompok kepentingan atau kelompok profesi, misalnya tokoh masyarakat nelayan, kelompok petani, pengusaha dan lain sebagainya.
4)            Pertanggungjawaban
Anggota DPRD dipilih oleh rakyat secara langsung melalui pemilu. Demikian juga dengan kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat melalui PILKADA. Sebagai wujud pertanggungjawabannya kepada pemilih maka dalam pembentukan peraturan perundang-undangan peran serta masyarakat perlu ditingkatkan.
Mengingat begitu pentingnya arti partisipasi masyarakat dalam upaya pembangunan sebagaimana telah diuraikan di atas, serta sebagai bagian menumbuhkembangkan asas demokrasi di Indonesia pada proses pembangunan dan pengeluaran kebijakan pemerintah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka perlu diambil langkah-langkah yaitu :
1.            Pendidikan politik bagi masyarakat
Perlu dilakukan peningkatan proses pendidikan politik secara benar baik oleh pemerintah, DPR, partai politk maupun komponen masyarakat lainnya. Dengan pendidikan politik yang benar maka masyarakat akan dapat memahami hak dan kewajibannya dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
2.            Penumbuhan partisipasi masyarakat
Perlu dilakukan upaya penumbuhan partisipasi masyarakat, jika partisipasi masyarakat sangat rendah maka dapat dilakukan secara bertahap. Pada tahap awal mungkin partisipasi karena adanya paksaan, kemudian dikembangkan menjadi partisipasi karena adanya imbalan, dan akhirnya partisipasi yang tumbuh secara sukarela.
3.            Penerapan prinsip transparansi
Perlu adanya peningkatan penerapan prinsip transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam hal ini dapat dilakukan dengan upaya aktif pemerintah dan DPR mempublikasikan setiap rancangan peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk.
4.            Jaminan akses publik
Perlu adanya jaminan dari seluruh komponen masyarakat untuk bebas mengakses setiap rancangan peraturan perundang-undangan dan produk hukum yang sudah ditetapkan.


 C.           PENGATURAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH.

Dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan di daerah, partisipasi masyarakat untuk turut serta dalam proses tersebut secara konstitusional berlandaskan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 yang berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.  Diatur pula dalam pasal 28E ayat (3) yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Ketentuan Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 selanjutnya diterjemahkan dalam ketentuan Pasal 139 ayat (1)  Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Peraturah Daerah.
Secara lebih khusus, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 kemudian memberikan peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Dalam ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 disebutkan bahwa salah satu asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan adalah asas keterbukaan. Dalam penjelasan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan asas keterbukaan adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, dinyatakan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang dapat dilakukan melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi, dan/atau seminar, lokakarya, dan/atau diskusi. partisipasi masyarakat tersebut dapat dilakukan oleh orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi rancangan peraturan perundang-undangan. selanjutnya untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis, setiap rancangan peraturan perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Proses pelibatan masyarakat dalam penyusunan peraturan perundang-undangan dilakukan dalam tiap tahapan, mulai dari proses perencanaan hingga hingga pada tahap akhir terbentuknya peraturan perundang-undangan. untuk itu perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat, yang dilanjutkan dengan penyerapan aspirasi masyarakat  terhadap materi dan substansi rancangan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah maupun DPRD harus memberikan kesempatan yang luas terhadap adanya partisipasi masyarakat. Bahkan partisipasi masyarakat adalah merupakan prasyarat dalam proses pembentukan peraturan daerah, karena sebagai pemilik kedaulatan setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban untuk mengambil bagian dalam proses bernegara, berpemerintahan dan bermasyarakat.

D.      PENUTUP
Tugas pembentukan peraturan daerah merupakan tugas yang berat karena banyaknya persoalan-persoalan yang dihadapi dan diselesaikan oleh pemerintah. Namun dengan tekad yang kuat serta kemauan yang keras, segala kesulitan dan hambatan yang dihadapi oleh pemerintah akan dapat diatasi. Usaha itu akan sia-sia apabila masyarakat tidak ikut aktif mengambil bagian. Oleh karena itu partisipasi rakyat secara positif dalam  pembangunan hukum sangat menentukan bagi berhasilnya tugas berat yang dihadapi.
Tindakan yang dapat dilakukan oleh masyarakat, sehingga dapat mewujudkan hukum sebagai instrumen pemberdayaan masyarakat adalah masyarakat mempunyai hak secara merdeka dalam memberikan masukan secara informal kepada lembaga-lembaga produk hukum. Pembentukan sebanyak mungkin lembaga yang mengawasi dan melindungi kepentingan rakyat banyak, dari kemungkinan adanya peraturan hukum yang tidak memihak kepada kepentingan rakyat dalam segala aspek.

SUMBER PUSTAKA
Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Cet Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 1994.

Satya Arinanto,  Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik Di Indonesia, Cetakan Kedua, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005.

Oloan Sitorus, Hukum Konsolidasi Tanah Perkotaan Sebagai Instrumen Kebijakan Pertanahan Partisiatif Dalam Penataan Ruang. Proposal Penelitian, Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, Tanpa Tahun.

Anas Urbaningrum, Mahasiswa, Reformasi, dan Transisi Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bengkulu bekerjasama dengan ISMAHI, 19 Oktober 1998.

Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik   Indonesia : Identifikasi Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya, Rajawali Pers, Jakarta, 2001.

Syaukani HR, Peran Serta Masyarakat Dalam Penyusunan Program Legislasi Daerah, Makalah disampaikan pada Temu Konsultasi Penyusunan Program Legislasi Daerah Pusat Perencanaan Hukum Nasional BPHN, Bali 13-15 September 2005.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan



[1]       Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Cet Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hlm. 59
[2]       Dikutip dari Satya Arinanto,  Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik Di Indonesia, Cetakan Kedua, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, hlm. 267
[3]       Oloan Sitorus, Hukum Konsolidasi Tanah Perkotaan Sebagai Instrumen Kebijakan Pertanahan Partisiatif Dalam Penataan Ruang. Proposal Penelitian, Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, Tanpa Tahun, hlm. 22
[4]       Ibid, hlm. 19.
[5]       Anas Urbaningrum, Mahasiswa, Reformasi, dan Transisi Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bengkulu bekerjasama dengan ISMAHI, 19 Oktober 1998.
[6]       Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik   Indonesia : Identifikasi Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya, Rajawali Pers, Jakarta, 2001, hlm. 12
[7]       Ibid, hlm. 110
[8]       Syaukani HR, Peran Serta Masyarakat Dalam Penyusunan Program Legislasi Daerah, Makalah disampaikan pada Temu Konsultasi Penyusunan Program Legislasi Daerah Pusat Perencanaan Hukum Nasional BPHN, Bali 13-15 September 2005,  hlm. 6-7

Tidak ada komentar:

Hero Herlambang Bratayudha, SH - Rayhan Yusuf Mirshab