Kamis, 28 Februari 2013

ANAS BERSEDIA UNGKAP KASUS HAMBALANG

ANAS BERSEDIA UNGKAP KASUS HAMBALANG
HENDRA A SETYAWAN
Anas Bersedia Ungkap Peran Ibas dalam Hambalang
JAKARTA, KOMPAS.com — Mantan Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum mengaku pernah ikut dalam pertemuan antara M Nazaruddin dan politisi senior Demokrat Amir Syamsuddin terkait kasus Hambalang. Saat itu, Amir meminta keterangan Nazar terkait aliran uang Hambalang. Pada rapat itu, Anas mengaku hanya mendengarkan penjelasan Nazar kepada Amir.
Apakah Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas turut menikmati aliran dana Hambalang? "Pak Amir-lah yang lebih pas (menjelaskannya)," kata Anas singkat pada wawancara dengan RCTI, Rabu (27/2/2013).

Ketika kali pertama kasus Hambalang mencuat, Anas pernah dikabarkan membawa Nazar ke kediaman Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. Pada pertemuan itu, Nazar dikatakan menyebut keterlibatan Ibas dalam kasus tersebut.

Anas menyebutkan, penjelasan Nazar terkait aliran uang Hambalang cukup mengejutkan. Anas mengatakan, beberapa orang memang turut menikmati uang Hambalang. Terkait nama-namanya, Anas tak menyebutkan.

Ketika dikejar dengan pertanyaan soal beredarnya tudingan bahwa Ibas turut menikmati uang yang diduga suap tersebut, Anas hanya menjawabnya secara singkat.
"Saya hanya ikut rapat dan mendengarkan. Jadi, kalau hadist, rawuh-nya Pak Amir. Kecuali Pak Amir pas ditanya tak mau menjelaskan, pemain penggantinya adalah saya," kata Anas.

Terkait penyelesaian kasus Hambalang, Anas meminta masyarakat menghormati proses hukum yang berjalan di KPK. Dia tak berada dalam posisi mendoakan dan mendorong orang lain untuk celaka.

Ketika ditanya apakah dirinya akan mengungkapkan orang-orang yang diyakininya menerima uang Hambalang, Anas kembali memberikan jawaban singkat.
"Ada tugas penting yang saya lakukan. Ukurannya adalah penting. Meski kecil, kita harus berpikir untuk hal-hal yang besar. Urusan-urusan, yang mungkin kurang penting, tidak akan saya lakukan. Tetapi, nanti tergantung pertimbangan-pertimbangan penting," kata Anas.

Menurutnya, segala pertimbangan masih terbuka. "Tidak ada yang titik. Yang ada adalah koma," katanya. Kendati demikian, Anas menegaskan, dirinya memiliki standar etik terkait hal-hal yang akan diungkapkannya. Hal-hal yang diungkap, sambungnya, dapat bermanfaat bagi Partai Demokrat dan Indonesia.

Sebelumnya, terkait dugaan keterlibatannya, Ibas telah menyangkalnya. "Janganlah membawa isu dengan mengaitkannya ke saya. Semua itu ngawur dan diada-adakan. Semoga hukum tegak lurus," kata Ibas.

Ibas menyebut tudingan Nazar—bahwa dirinya pernah menyaksikan penyerahan uang Hambalang sebesar Rp 10 miliar—sebagai skenario politik.

"Seribu persen, saya ulangi, seribu persen, berita itu tidak benar," katanya.
.

Konflik Agraria Warga Ketahun dengan PT SIL Terbaru

Ketahun Membara, Bangunan dan Mobil Dibakar
FOTO INZET
KETAHUN – Konflik agraria berujung aksi bakar terulang di Provinsi Bengkulu. Tiga ratusan massa sekitar pukul 14.00 WIB, Rabu (27/2) menumpahkan kemarahannya kepada PT. Sandabi Indah Lestari (SIL), perusahaan sawit di Kecamatan Ketahun Bengkulu Utara.

PT. SIL merupakan pemenang lelang HGU eks PT. Way Sebayur yang berlokasi di Seluma dan Bengkulu Utara. Sejak ditinggalkan PT. Way Sebayur yang pailit, lahan HGU tersebut terlantar sehingga digarap warga. PT. SIL yang ingin memanfaatkan lahan eks HGU tersebut terlibat konflik dengan ratusan warga penggarap. Sebelumnya, aset PT SIL di Seluma juga dibakar massa.
Akibat amuk massa di Ketahun tersebut, sebanyak 19 bangunan kantor dan camp serta 3 unit mobil dan 1 motor milik perusahaan dibakar. Aksi pembakaran ini terjadi di lokasi Desa Simpang Batu, Kecamatan Ketahun Bengkulu Utara. Lokasi ini berjarak sekitar 130 KM dari Kota Arga Makmur atau sekitar 2,5 jam perjalanan.
Dari total 19 bangunan yang terbakar, meliputi 1 bangunan kantor, 1 gudang, 16 bangunan bedeng camp karyawan dan 1 unit rumah berikut kantin milik karyawan. Sedangkan 3 mobil yang dibakar jenis masing-masing 2 unit Daihatsu Taft dan 1 unit truk Engkel merek Mitsubishi milik perusahaan yang digunakan untuk mengangkut Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit dari kebun.
Sedangkan motor yang dibakar adalah jenis Honda Supra milik salah satu karyawan PT SIL. Untungnya, tak ada seorang karyawanpun yang terluka dalam aksi massa tersebut.(qia).

Pengujian Terhadap Peraturan Daerah

Proses Pengujian Terhadap Peraturan Daerah by

Urgensi Peraturan Daerah Dalam Mengatasi Pengemis, Anak Jalanan dan Gelandangan

Urgensi Peraturan Daerah tentang Upaya mengatasi anak jalanan, pengemis dan anak jalanan by

Naskah Akademik Peraturan Daerah Pelayanan Kesehatan

Na Perda Pelayanan Kesehatan by

Contoh Naskah Akademik Pemberlakuan Kompilasi Hukum Adat


naskah akaedmik adat -

Contoh Naskah Akademik Lingkungan Hidup


naskah akademik -

Legal Opinion tentang Peraturan Kepala Badan Pertahanan Nasional Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2007,nion Pendapat Hukum tentang Peraturan Kepala Badan Pertahanan Nasional Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2007,

PENDAPAT HUKUM
(LEGAL OPINION)
tentang
PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03 TAHUN 2007


Masalah

Pendapat Hukum (legal Opinion) mengenai belum terbitnya Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional sebagaimana diatur di dalam Pasal 111 ayat (2) dan Pasal 124 Peraturan Presiden Nomor 71 tahun 2012 tentang  Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum.


Persoalan

Bagaimanakah konstruksi yuridis terkait dengan belum terbitnya Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional sebagaimana diatur di dalam Pasal 111 ayat (2) dan Pasal 124 Peraturan Presiden Nomor 71 tahun 2012 tentang  Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum dapat menggunakan peraturan perundang-undangan yang lama yaitu peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 03 Tahun 2007.

Data

1.   Undang-Undang Nomor 05 Tahun 1960 tentang Agraria;
2.   Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2012 tentang Pengadaaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;
3.   Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum;
4.  Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk kepentingan Umum;
5.  Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk kepentingan Umum;
6.   Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 03 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk kepentingan Umum; dan
7.   Surat PPTK Kegiatan Pembebasan Lahan Persada Sukarno kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Bengkulu Nomor : 03/CK-DPU?X/2012 Perihal : Pendapat Hukum tentang Peraturan Kepala BPN RI Nomor 03 Tahun 2007.



Pendapat Hukum

Berdasarkan analisis  yuridis, Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2012 tentang Pengadaaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum beserta turunan peraturan pelaksanaannya berupa Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum telah memberikan gambaran yang cukup mengenai regulasi  khusus mengenai tata cara pengadaan tanah bagi kepentingan umum.
Belum terbitnya Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional sebagaimana yang dikehendaki Pasal 111 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi kepentingan umum pada dasarnya tidak menjadi penghambat untuk tetap melaksanakan pengadaan tanah termasuk regulasi mengenai permasalahan sisa tanah yang kegiatannya telah berjalan sebelum Peraturan Presiden tersebut ditetapkan. Memang jika dikaji secara eksplisit, makna yang terkandung dalam Pasal 111 ayat (2)  Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi kepentingan umum mengisyaratkan bahwa segala bentuk petunjuk teknis pelaksanaan pengadaan tanah diatur berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional. Padahal, berdasarkan Pasal 124 diketahui bahwa Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional itu sendiri baru akan dibentuk dan ditetapkan paling lama 3 (tiga) bulan sejak Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 mulai berlaku. Mengingat kontemplasi pasal yang saling koheren sebagaimana yang telah dijelaskan, maka dapat diambil kesimpulan sementara bahwa memang secara kompetensi yuridis, proses pengadaan tanah belumlah dapat dilaksanakan.

Pasal 124
Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (1), Peraturan Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (2), dan Peraturan Kepala BPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 (2) ditetapkan paling lama 3 (tiga) bulan sejak peraturan presiden ini berlaku.


Namun sejatinya tidak lah demikian. Apabila jika kita mengkaji lebih cermat kaidah-kaidah pasal lainnya di dalam Peraturan Presiden tersebut, maka diketahui ada beberapa pasal yang pada dasarnya memberikan celah hukum bagi instansi pelaksana untuk tetap dapat melanjutkan proses pengadaan tanah termasuk permasalahan sisa tanah yang tengah dilaksanakan sebelum Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 ditetapkan. Pasal-pasal tersebut beserta uraian singkatnya adalah  sebagai berikut :
1.   Pasal 125 dalam BAB XI mengenai Ketentuan Penutup menjelaskan bahwa secara hukum Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum beserta peraturan pelaksanaannya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku kecuali untuk proses pengadaan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123. Dapat diinterprestasikan bahwa pasal ini masih memungkinkan untuk menggunakan kaidah normatif yang terkandung di dalam peraturan perundang-undangan yang lama yang  diatur berdasarkan hanya di dalam Pasal 123.
2. Di dalam Pasal 123 terutama ayat (1) dan ayat (3) mengindikasikan secara tegas bahwa proses pengadaan tanah yang sedang dilaksanakan sebelum berlakunya Peraturan Presiden ini dapat diselesaikan dengan mengacu pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan yang ada sebelum Peraturan Presiden tersebut dibuat. Sedangkan Pasal 123 ayat (4) menegaskan lagi  bahwa terhadap proses pengadaan tanah yang masih belum bisa terselesaikan hingga lewat batas waktu tanggal 31 Desember 2014 harus mengikuti ketentuan yang ada di dalam Peraturan Presiden ini. Hal ini berarti, terhadap proses pengadaan tanah yang telah berjalan sebelum Peraturan Presiden ini dibuat dan yang ditargetkan penyelesaiaan pengadaan tanahnya sebelum tanggal 31 Desember 2012 dapat menggunakan kaedah normatif yang terdapat di dalam Peraturan Perundang-Undangan yang lama.
Secara filosofis yuridis, pada dasarnya keberlakuan peraturan perundang-undangan yang relatif baru dibentuk belum tentu dapat mengenyampingkan kaedah normatif yang terdapat peraturan perundang-undangan yang lama. Terlebih lagi jika efisiensi peraturan dibutuhkan guna menyeleras sesuaikan dengan kepentingan penyelenggaraan sistem pemerintahan yang berlandaskan pada asas-asas umum pemerintahan yang baik atau terdapat kekhususan (ius specialis) dalam meregulasikan suatu kaedah. Kemungkinan tersebut pada prinsipnya dapat berlaku mengingat indikator-indikator berikut, yaitu :
1.   Hukum positif di Indonesia menggunakan metodelogi hukum (pendekatan) yang cenderung untuk mencari adanya penemuan hukum baru (rechtsvinding) sehingga peraturan yang baru dibentuk dapat mengikuti kaidah yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang lama atau menciptakan aturan hukum yang baru.
2.   Asas hukum yang menentukan bahwa peraturan perundang-undangan yang lama masih dapat digunakan selama peraturan perundang-undangan baru belum mengatur secara penuh; dan
3.   Materi yang terkandung dalam Ketentuan Peralihan termasuk muatan materi dalam batang tubuh pada suatu peraturan dapat mengatur materi yang difungsikan untuk mengisi kekosongan hukum (rechtsvakum).


Kesimpulan




Berdasarkan sekelumit analiis hukum yang telah diurai paparkan, maka dapat disimpulkan bahwa belum terbitnya Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional berdasarkan Pasal 111 ayat (2) Peraturan Presdien Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum tidak menjadi hambatan untuk tetap melaksanakan proses pengadaan tanah yang telah berjalan sebelum ditetapkannya Peraturan Presiden tersebut. Berdasarkan Pasal 123 ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) proses pelaksanaan pengadaan tanah dapat mengacu terhadap Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional yang lama yaitu Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 03 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk kepentingan Umum.


Saran

1.   Pendapat Hukum (legal opinion) ini merupakan suatu analisis dari sisi hukum yang hanya menjawab terbatas pada apa yang menjadi persoalan sebagaimana termuat dalam Surat PPTK Kegiatan Pembebasan Lahan Persada Sukarno kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Bengkulu Nomor : 03/CK-DPU?X/2012 Perihal : Pendapat Hukum tentang Peraturan Kepala BPN RI Nomor 03 Tahun 2007. Pendapat Hukum ini merupakan salah satu bahan referensi hukum dan tidak dapat dijadikan suatu dasar pembuktian apabila di kemudian hari terjadi permasalahan hukum dalam proses pengadaan tanah yang diselenggarakan instansi terkait; dan
2.  Proses Pengadaan Tanah pada prinsipnya dapat tetap dilaksanakan atau dilanjutkan  berdasarkan ketentuan Pasal 123 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum namun tetap harus memperhatikan dan memedomani ketentuan perundang-undangan lainnya yang berlaku daengan tidak bertentangan dengan nilai-nilai kearifan lokal.

Rabu, 27 Februari 2013

Dalam Pembahasan RUU Advokat, OC. Kaligis Usulkan Badan Advokat Nasional


Dalam Pembahasan RUU Advokat, OC. Kaligis Usulkan Badan Advokat Nasional

Panitia Kerja (Panja) DPR kembali menggelar rapat dengan mengundang sejumlah pihak terkait untuk memberikan masukan terhadap RUU Advokat. Dalam rapat yang digelar di ruang Badan Legislasi, Selasa (26/2), DPR mendengar masukan dari sejumlah advokat senior antara lain OC Kaligis, Yan Apul Girsang, dan Teuku Nasrullah.
Sebelumnya, Panja sudah mendengar masukan dari sejumlah tokoh, organisasi advokat, dan lembaga hukum seperti Kejaksaan, dan Ikatan Hakim Indonesia.
Ada beberapa masukan yang disampaikan para advokat senior itu. Kaligis, misalnya, mengusulkan pembentukan Badan Advokat Nasional (Banas). “Saya mengusulkan agar dalam revisi UU 18/2003 ini dibentuk suatu Badan Advokat Nasional,” ujarnya di depan anggota Panja.
Organisasi advokat bernama Banas ini, menurut Kaligis, adalah badan mandiri dan merdeka dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya. Banas tidak berada di bawah kekuasaan eksekutif, legislatif atau yudikatif. Dalam gagasan Kaligis, Banas akan menjadi badan tertinggi dari semua organisasi advokat. Fungsinya, membuat regulasi profesi advokat, dan melakukan fungsi pengawasan terhadap organisasi advokat. Fungsi dan wewenang lain bisa dimasukkan ke dalam RUU Advokat yang kini sedang dibahas Panja.
Jika gagasan tentang fungsi Banas disetujui, maka peraturan pelaksana UU Advokat bukan lagi Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres). Jika PP dan Perpres yang dibuat, kemandirian advokat bisa dipertanyakan karena sama saja menyerahkan pengaturan tentang advokat kepada eksekutif. Aturan teknis, karena itu, dibuat oleh Banas.
Secara struktur, Banas dibentuk sejak tingkat pusat hingga provinsi dan kabupaten/kota. Menurut Kaligis, orang-orang yang duduk di struktur Banas pusat dan daerah adalah advokat yang memiliki kredibilitas, integritas dan kompetensi dari masing-masing organisasi advokat.
Dengan begitu, advokat yang duduk dalam struktur Banas adalah representasi dari masing-masing organisasi advokat. Kaligis menambahkan, organisasi advokat yang berada di bawah naungan Banas adalah IKADIN, AAI, IPHI, HAPI, SPI, AKHI, dan HKHPM. Masing-masing organisasi advokat itu tetap berdiri sendiri.
Teuku Nasrullah lebih menyoroti Dewan Kehormatan (DK) advokat. DK seharusnya diisi orang-orang yang memiliki kompetensi dan integritas. Penasihat hukum Angelina Sondakh ini setuju DK diisi tokoh dari berbagai latar belakang profesi. Misalnya, mantan wartawan senior, advokat senior, hakim senior dan lainnya.
Khusus Majelis Kehormatan Advokat, kata Nasrullah, diisi oleh advokat senior yang memiliki jejak rekam baik dan tak pernah melakukan pelanggaran dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai advokat. “Majelis kehormatan itu hakimnya, dewan kehormatan itu badannya,” ujarnya.
Pendidikan Khusus Profesi
Menurut Kaligis, penyelenggaraan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) dapat diselenggarakan oleh masing-masing advokat. Iuran PKPA menjadi milik organisasi advokat bersangkutan. Federasi advokat bisa melahirkan persaingan yang sehat. Dengan begitu, setiap organisasi advokat mengedepankan kualitas.
Pasal 10 ayat (2) RUU Advokat menyebutkan, “Ujian advokat sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (3) huruf e diselenggarakan  oleh induk organisasi advokat bekerjasama dengan organisasi advokat”. Merujuk pasal tersebut, Kaligis melanjutkan, pendidikan dan penyelenggaraan ujian advokat digelar oleh masing-masing organisasi advokat. Tujuannya, ”agar setiap organisasi advokat diberikan kesempatan yang sama untuk menyelenggarakan ujian profesi advokat”.
Advokat senior, Yan Apul Girsang, menambahkan pendidikan advokat memang seharusnya digelar oleh masing-masing organisasi advokat. Ia berharap dengan diserahkan ke masing-masing organisasi, pengelolaan keuangan ujian advokat tak lagi menjadi rebutan pihak-pihak tertentu. Dengan catatan, adanya standar pendidikan dan ujian yang sama antara organisasi advokat satu dengan lainnya. “Yang baik itu akan jalan terus, dan yang tidak baik akan runtuh dengan sendirinya,” katanya.
Teuku Nasrullah sependapat dengan Kaligis dan Yan Apul. Menurutnya sekalipun pendidikan advokat diserahkan ke masing-masing organisasi, tetap harus ada kerjasama dengan lembaga pendidikan. Persoalannya, kata Nasrullah, siapa yang akan memberikan akreditasi.
“Kalau organisasi advokat sendiri yang melakukan, akan bilang penilaian kita baik. Lalu siapa yang melakukan penilaian? Masa organisasi profesional menyelenggarakan pendidikan yang tidak profesional,” pungkas pakar hukum acara pidana itu.
Sumber : www.hukumonline.com
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt512cbeed6e6af/oc-kaligis-usulkan-badan-advokat-nasional

Selasa, 26 Februari 2013

BRI DITEGUR OMBUDSMAN AKIBAT ABAIKAN HAK PEKERJA

Hampir 12 tahun, Nicolas S Lamardan dan 142 rekannya menanti proses pembayaran kekurangan upah dari PT Bank Rakyat Indonesia (BRI). Pasalnya, Pengadilan Negeri Jakarta Timur ketika itu memutus agar PT BRI memberikan tunggakan upah sebesar Rp8 miliar kepada 143 orang mantan pekerja PT Pan Gas Nusantara Industri (PGNI). Ketika beroperasi, PT PGNI mempunyai sejumlah hutang kepada PT BRI. 
Setelah aset PT PGNI dijual maka hasil penjualan itu disimpan di PT BRI. Sayangnya, kekurangan upah 143 mantan pekerja PT PGNI, tak kunjung dibayar usai aset milik PT PGNI berhasil dijual. Putusan PN Jakarta Timur itu diperkuat lewat Putusan Pengadilan Tinggi di tahun 2002 dan Mahkamah Agung pada tahun 2003. 
Menurut pendamping Nicolas dkk dari LBH Jakarta, Maruli Tua Rajagukguk, proses eksekusi atas putusan itu terhambat karena PT BRI dinilai tak mematuhi putusan hukum yang telah berkekuatan berkekuatan tetap. Padahal, sebagai perusahaan BUMN Maruli mengatakan mestinya BRI memberi contoh kepatuhan hukum yang baik. Sejak putusan berkekuatan tetap itu diterbitkan, sampai saat ini, Maruli mencatat setidaknya sudah tiga kali proses eksekusi dilakukan oleh PN Jakarta Pusat, tapi selalu gagal. 
“Karena PT BRI tetap 'membangkang' (atas putusan pengadilan,-red), maka Ombudsman sebagai lembaga negara yang mempunyai wewenang mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik mengeluarkan rekomendasi. Diduga karena PT BRI melakukan tindakan maladministratif,” kata Maruli kepada wartawan di gedung Ombudsman Jakarta, Senin (25/2).
Karena sulit melakukan eksekusi, sebagai upaya untuk mendapatkan hak-haknya, ratusan mantan pekerja PT PGNI itu melapor kepada Ombudsman. Hasilnya, Ombudsman menerbitkan rekomendasi untuk PT BRI dan Kementerian BUMN.
Menurut anggota Ombudsman, Ibnu Tricahyo, Direktur Utama PT BRI paling lama dalam jangka waktu 30 hari sejak diterimanya rekomendasi itu diminta untuk melaksanakan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas hak mantan pekerja PT PGNI.  Yaitu membayarkan uang hasil penjualan aset perusahaan PT PGNI yang tersimpan pada PT BRI kepada Nicolas dkk selaku mantan pekerja PT PGNI.
Ombudsman menilai uang tersebut untuk membayar hak para pekerja yang pernah bekerja di PT PGNI. Karena PT PGNI sekarang sudah tidak beroperasi lagi. Selain itu agar masyarakat tidak dirugikan dan memperoleh hak-haknya melalui pelayanan yang baik.
Sementara rekomendasi Ombudsman untuk Menteri BUMN, Ibnu melanjutkan, agar mengawasi pelaksanaan rekomendasi Ombudsman sebagaimana telah diatur dalam pasal 38 ayat (1) dan (2)UU Ombudsman Republik Indonesia. “Menteri BUMN agar mengawasi pelaksanaan rekomendasi itu,” tegas Ibnu ketika membacakan rekomendasi di kantor Ombudsman Jakarta, Senin (25/2).
Secara umum Ibnu menegaskan bahwa rekomendasi Ombudsman itu wajib dijalankan dan pihak terkait wajib memberi laporan mengenai pelaksanaan itu kepada Ombudsman.
Ibnu menjelaskan, rekomendasi yang diterbitkan itu didasarkan pada hasil investigasi yang dilakukan oleh Ombudsman dan fakta lain yang berhasil dihimpun Ombudsman. Berdasarkan hal itu, Ombudsman berkesimpulan bahwa PT BRI telah melakukan tindakan maladministrasi.
Sedikitnya Ombudsman menemukan tiga hal yang ditengarai sebagai praktik maladministrasi yang dilakukan PT BRI. Pertama, melakukan penundaan berlarut (undue delay). Yaitu tindakan tidak menjalankan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dengan alasan tak jelas. Hal itu terbukti dari upaya yang dilakukan PT BRI dengan menghambat pelaksanaan eksekusi oleh pengadilan. Padahal, PN Jakarta Pusat telah memutus bahwa perlawanan atas eksekusi yang diajukan PT BRI tak dapat diterima.
Kedua, PT BRI mengabaikan kewajiban hukum. Yaitu tidak melaksanakan putusan pengadilan dengan alasan yang tak dapat diterima. Atas hal itu Ombudsman berpendapat bahwa PT BRI selaku perusahaan BUMN mestinya tunduk pada tata kelola perusahaan yang baik (good coroporate governance) dan komprehensif melihat permasalahan termasuk dari segi kepatutan. Selain itu PT BRI dinilai melakukan pelanggaran terhadap hak masyarakat yang telah dirugikan.
Ketiga, Ombudsman menganggap PT BRI melakukan pengabaian kewajiban hukum terhadap pelaksanaan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Hal itu menyangkut nasib Nicolas dkk yang hak-haknya sebagai pekerja yang harusnya dilindungi sebagaimana peraturan yang berlaku.
Ibnu mengatakan, jika PT BRI tak melaksanakan rekomendasi, maka Ombudsman akan melaporkannya kepada Presiden sebagai pihak tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Serta DPR yang bertugas sebagai pengawas penyelenggaraan pemerintahan.
Pada kesempatan yang sama, usai mendengarkan pembacaan rekomendasi, Kadiv Hukum PT BRI, Hadi Susanto, mengatakan untuk menjalankan rekomendasi itu, PT BRI akan berkoordinasi terlebih dulu dengan Kementerian BUMN. Pasalnya, PT BRI berada di bawah naungan Kementerian BUMN. Senada, staf biro hukum Kementerian BUMN, Fahreza M, mengatakan akan menindaklanjuti rekomendasi Ombudsman. “Kami akan berkoordinasi dengan PT BRI,” katanya.
Sementara, mewakili mantan pekerja PT PGNI, Nicolas S Lamardan, menyambut baik rekomendasi yang diterbitkan Ombudsman. Menurutnya, para pekerja telah belasan tahun menanti kejelasan atas hak mereka sebagai pekerja PT PGNI yang belum terpenuhi sampai saat ini. Dia berharap pihak PT BRI dan Kementerian BUMN segera menjalankan rekomendasi itu. “Kami merasa gembira,” pungkasnya.

Sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt512b443580f6b/abaikan-hak-pekerja--bri-ditegur-ombudsman

KEBIASAAN BURUK BERLALU LINTAS MENJADI BUDAYA MASYARAKAT SEKARANG

Perilaku dalam Berlalu Lintas Merupakan Cerminan dari Budaya Masyarakat
25 Juli 2012
Salah satu ciri kota dunia yang banyak diminati wisatawan adalah kota dengan jalan raya yang tertata indah dan penggunanya juga penuh etika. Wisatawan akan senang menjelajahi dan menapaki kota dengan jantung kota yang bisa dinikmati dengan berjalan kaki penuh kenyamanan dan keamanan. Maka tidak salah jika saya menyatakan bahwa Jalan raya merupakan cerminan wajah warga sebuah kota. Jika jalan rayanya penuh dengan pengguna yang tertib berlalu lintas, orang yang datang pun akan memiliki gambaran yang baik akan kota dan warga kota tersebut. Keberadaan jalanan yang tersusun rapi dan pengguna jalan yang tertib berlalu lintas bukan hanya akan menguntungkan seluruh warga dan memperbaiki citra warganya tapi juga akan menarik hati para pengunjung baik dari kota lain bahkan negara lain. 

Namun Bila membahas tentang jalan raya di negeri ini sudah tentu hal yang pertama akan muncul dalam benak kita adalah tentang kemacetan, polusi udara, suara dan kesemrawutannya. Semua pihak pasti akan merestuinya juga bahwa kondisi perlalulintasan di negeri ini khususnya di daerah-daerah kota besar dewasa ini tengah menghadapi segala kompleksitas permasalahannya, seperti masalah kesemrawutan, masalah pelanggaran oleh kenderaan pemakainya, kondisi ketidaktertataannya dan tingkat kesadaran para penggunanya yang masih sangat rendah. 

Sehingga kemacetan dan kecelakaan merupakan dua hal yang kerap terjadi di jalan raya kita. hal ini diakibat ketidak patuh dan tidak tertib para pengguna jalan. Meski telah ada petunjuk (rambu) yang terpasang disisi kiri atau kanan jalan, seolah hanya sebagai hiasan-hiasan kota tanpa memiliki suatu makna yang berarti untuk pengguna jalan. Prilaku buruk itu sangat dominan mempengaruhi semrautnya kondisi lalu lintas. Lantas apa lagi yang mesti dilakukan agar peraturan lalu lintas dipatuhi, kecelakaan dikurangi dan kemacetan dapat dihindari? 

Pertanyaan yang terkesan frustasi, namun dapat membakar semangat untuk terus menggugah kesadaran berlalu lintas dengan sepantasnya sesuai aturan yang ada. Minimnya kesadaran para pengguna jalan raya tersebut harus diakui merupakan faktor terbesar penyumbang segala kesemrawutan itu. Disamping memang harus dijelaskan pula bahwa faktor tentang sarana dan prasarana yang tersedia untuk menunjang realisasinya juga belum cukup memadai. Kecenderungan banyak pihak pengguna jalan raya yang hanya mementingkan kepentingan diri sendiri dapat juga berimbas terhadap disharmonisasi sesama pemakai dan ketidaknyamanan tersebut. 

Di satu sisi memang di jalan raya kita masih banyak yang harus dibenahi terutama jalan dan fasilitasnya, Namun itu kapan, sudah pasti bukan besok, yang pasti untuk mewujudkannya bukan waktu yang singkat karena akan menyangkut anggaran dan kemauan politik dari semua pihak, belum lagi pembagian kewenangan dan penanggung jawab jalan di kaitkan dengan otonomi daerah. 

Nah, apakah kita pasrah menunggu.? Tentu tidak, maka adalah bijak jika setiap kita dari pihak masyarakat mulai diri sendiri untuk tetap tertib dan berlaku sopan santun atau yang belum tertib segera bergegas merubah perilaku dalam menggunakan jalan. Tentu maksud saya bukan saja pengemudi kendaraan bermotor, tidak bermotor, pejalan kaki saja tapi semua elemen masyarakat pengguna jalan termasuk para pedagang kaki lima dan pelaku pasar tradisional. 

Kendaraan banyak, sering pula terkonsentrasi pada tempat tempat tertentu terutama di kota atau jalan menuju kota sehingga berpotensi terjadi kemacetan dan kecelakaan, maka sebagai warga tidak ikut ikutan jadi pencetus kemacetan. Karena keterbatasan petugas bisa saja kita menghadapi kemacetan, yang bisa kita lakukan adalah, berusaha tetap pada aturan, bersabar dan tidak emosi, tidak terprovokasi, adalah perbuatan terpuji dengan memberi kesempatan atau mendahulukan pengguna jalan lainnya. Seandainya itu memang solusinya dan jangan paksakan tetap pada arah tujuan. Tidak salah jika harus beralih demi mencairkan kemacetan, setelah terurai, kembali lagi atau teruskan menuju tempat tujuan melalui jalan lain. 

Untuk itu Kebiasaan buruk para pengguna jalan yang tidak beretika harus segera dihentikan bukan hanya sebatas demi keselamatan bersama, tapi lebih kepada kenyamanan, keindahan dan martabat warga sebuah kota. Jika kita ingin menjadi warga kota yang mendunia, tentu hal yang perlu untuk kita perbaiki adalah etika kita berjalan raya dan jalan raya kita yang berestetika. 

Akhir kata,Perilaku dalam berlalu lintas di jalan raya adalah potret kepribadian diri yang sekaligus menggambarkan budaya bangsa. Seorang Jepang pernah bilang "Tunjukan saya lalu-lintas sebuah negeri, maka saya bisa mengetahui bagaimana keadaan keseluruhan negeri itu!" Kalau lalu-lintasnya tertib, bisa dipastikan baik segala hal di negeri itu. Sebaliknya, kalau amburadul, itu jugalah isi negeri itu. Oleh karena itu prilaku berlalu lintas adalah cerminan dari budaya masyarakat, kalau buruk cara berlalulintas maka buruklah kepribadian seseorang dan secara kolektif keburukan ini menggambarkan buruknya budaya bangsa. Semoga kesadaran tertib berlalu lintas masyarakat di jalan raya sudah mulai tergugah!.*** 

Penulis : Suryono Brandoi Siringo-ringo 
http://www.ham.go.id/modul.php?md=mod_artikel&data=912597&modnews=32&mnow=0
Sumber : Kompasiana.com

IMUNISASI TIDAK BAIK UNTUK BALITA ?

Miskonsepsi Tentang Imunisasi
24 Juli 2012


Pemikiran yang keliru tentang imunisasi beberapa tahun terakhir ini nyatanya dapat mengganggu kemajuan program imunisasi di Indonesia. Padahal, memberikan imunisasi kepada anak berarti melaksanakan kewajiban kita menyejahterakan anak Indonesia sesuai dengan hak anak yang tercantum dalam Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia pada 1990. Perlu edukasi terhadap pemikiran yang keliru tersebut agar kejadian dan kematian penyakit infeksi berat dapat dicegah dan ditekan melalui imunisasi.

Asal tahu saja, data terakhir WHO menunjukkan angka kematian balita akibat penyakit infeksi yang seharusnya dapat dicegah dengan imunisasi masih tergolong tinggi. Kematian balita mencapai 1,4 juta jiwa per tahun. Penyebabnya dari batuk rejan 294.000 (20%), tetanus 198.000 (14%), hingga campak 540.000 (38%). Di Indonesia, UNICEF mencatat sekitar 30.000-40.000 anak setiap tahun menderita serangan campak. Fakta ini dibeberkan DR. Dr. Hanifah Oswari, SpA(K) pada seminar media yang diselenggarakan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) tentang imunisasi.

Lalu, apa saja pemikiran yang keliru mengenai imunisasi (miskonsepsi)? Sebenarnya kekeliruan ini tak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di berbagai negara di dunia. Pemikiran yang sering muncul antara lain isu vaksin tidak halal karena menggunakan media yang tidak sesuai syariat, menimbulkan efek samping karena mengandung zat-zat yang berbahaya, isu konspirasi dari negara Barat untuk memperbodoh dan meracuni penduduk negara berkembang, serta adanya bisnis besar di balik program imunisasi. Nah, masyarakat perlu lebih berhati-hati dalam menyikapi berbagai informasi terkait imunisasi ini.

VAKSIN AMAN Prof. Dr. dr. Sri Rezeki Hadinegoro, SpA(K), selaku ketua Satgas Imunisasi IDAI, Ketua ITAGI dan Ketua KOMNAS PP KIPI Kemenkes pun mengemukakan bahwa pencegahan penyakit melalui imunisasi merupakan cara perlindungan terhadap infeksi yang paling efektif dan jauh lebih murah ketimbang mengobati seseorang apabila telah jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Melalui imunisasi, anak akan terhindar dari penyakit infeksi yang berbahaya sehingga memiliki kesempatan untuk beraktivitas, bermain, belajar tanpa terganggu dengan masalah kesehatan.

Bagaimana dengan kualitas vaksin untuk imunisasi di Indonesia? Dr. Badriul Hegar, Ph.D, SpA(K), Ketua PP-IDAI mengatakan vaksin yang tersedia saat ini aman karena melalui tahapan uji klinik. Vaksin juga telah mendapat ijin edar BPOM. Pun, telah memperoleh pengakuan dari Badan International WHO dan lolos PQ (prakualifikasi).

Karena itu, sudah seharusnya masyarakat tidak perlu ragu akan keamanan dan manfaat imunisasi. Bahkan saat ini, 194 negara di seluruh dunia melaksanakan dan yakin bahwa imunisasi aman dan bermanfaat mencegah wabah, sakit berat, cacat, dan kematian pada bayi dan balita.

Termasuk, negara-negara industri dengan tingkat sosial ekonomi yang tinggi masih terus melaksanakan program imunisasi. Juga, negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, dengan cakupan imunisasi lebih dari 85 persen. "Maka dapat dikatakan pencegahan penyakit melalui imunisasi merupakan investasi kesehatan untuk masa depan. Sebaiknya, semua bayi dan balita diimunisasi secara lengkap," ujar Sri.

Jadi, jangan salah persepsi soal imunisasi.

Penulis :Nur Resti Agtadwimawanti

Sumber : intisari-online.com
http://www.ham.go.id/modul.php?md=mod_artikel&data=193603&modnews=32&mnow=0

HAM PEREMPUAN DAN KDRT

HAK ASASI MANUSIA PEREMPUAN Dalam Penyelesaian Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga
20 September 2010
 
HAK ASASI MANUSIA PEREMPUAn
Dalam Penyelesaian Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Oleh : Nurlely Darwis, SH, M.Si 

* IV. KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Sesuai dengan namanya maka penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelakunya dan melindungi korban kekerasan tersebut. Perlu diingat kembali pengertian kekerasan dalam rumah tangga menurut pasal 1 UU No 23 tahun 2004 tentang PKDRT, untuk itu perlu juga diketahui tentang Teori Lingkaran Kekerasan untuk memahami mengapa korban kekerasan dalam rumah tangga tetap bertahan atau berupaya mempertahankan perkawinannya. Teori lingkaran kekerasan terdiri atas tiga tahap yaitu tahap ( I ) munculnya ketegangan, tahap ( II ) tahap pemukulan akut, tahap ke ( III ) adalah tahap bulan madu.[2] [2] 

Pada tahap pertama munculnya ketegangan yang mungkin disebabkan percekcokan terus menerus, atau tidak saling memperhatikan, atau kombinasi keduanya dan kadang- kadang disertai dengan kekerasan kecil. Namun, semua ini biasanya dianggap sebagai bumbunya perkawinan. Kemudian pada tahap kedua, kekerasan mulai muncul berupa meninju, menendang, menampar, mendorong, mencekik, atau bahkan menyerang dengan senjata. kekerasan ini dapat berhenti kalau siperempuan pergi dari rumah atau silaki- laki sadar apa yang dia lakukan atau salah seorang perlu dibawa kerumah sakit. 

Pada tahap bulan madu, laki- laki sering menyesali tindakannya. Penyesalannya biasanya berupa rayuan dan berjanji tidak akan melakukan lagi perbuatannya, bahkan, tidak jarang laki- laki sepenuhnya menunjukkan sikap mesra dan menghadiahkan sesuatu. Kalau sudah begitu, biasanya perempuan menjadi luluh dan memaafkannya karena ia masih berharap hal tersebut tidak akan terjadi lagi. Itulah sebabnya mengapa perempuan tetap memilih bertahan meski menjadi korban kekerasan karena pada tahap bulan madu ini perempuan merasakan cinta yang paling penuh. Namun, kemudian tahap ini pudar dan ketegangan muncul lagi. Dengan begitu muncul lagi tahap kedua yaitu munculnya ketegangan dan kekerasan bahkan dengan bentuk yang lebih variatif, dan hal ini umumnya selalu berada diluar kesadaran kaum perempuan itu sendiri, mengingat rasa sayang yang "taklekang oleh panas tak rapuh oleh hujan". Selanjutnya terjadi lagi bulan madu kembali, demikian terus menerus lingkaran kekerasan ini jalin menjalin sepanjang waktu. 

Pada undang- undang perkawinan (UU-P) ada mengatur hubungan hukum antar individu dengan individu sehingga termasuk hubungan yang diatur oleh hukum perdata, maka pengertian kekerasan tidak diatur didalamnya. Hal ini berbeda dengan KUH-Pidana atau UU PKDRT yang merupakan hukum publik yang mengatur hubungan individu dengan negara, maka kekerasan diatur didalamnya. Meski demikian, ada beberapa ketentuan dalam UU-P yang tersirat mengatur kekerasan, yaitu pasal 39 ayat (1) menyebutkan bahwa: "Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak". Selanjutkan pasal 39 ayat (2) menentukan bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri, dan salah satu alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah: "Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga". Alasan terakhir ini tergolong kekerasan psikhis karena pertengkaran atau perselisihan yang terus menerus dan tidak dapat didamaikan sangat mengganggu pikiran dan kelangsungan kehidupan anggota keluarga yang ada didalamnya. 

* V. FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT PENYELESAIAN KASUS KDRT MELALUI HUKUM PIDANA / PUBLIK

Berdasarkan berita acara di kepolisian, putusan pengadilan, ataupun data dari media massa umumnya dapat diketahui adanya faktor- faktor yang mendukung dan menghambat diselesaikannya kasus kekerasan dalam rumah tangga melalui hukum pidana. Faktor pendukung utama untuk membawa dan menyelesaikan kasus kekerasan dalam rumah tangga melalui hukum pidana adalah korban sendiri. Korban yang sudah menyadari bahwa kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa dirinya merupakan suatu hal yang tidak benar, jadi disini korban menyadari bahwa ia punya hak untuk diperlakukan dengan baik. Pada dasarnya kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga adalah perbuatan yang menghina harkat dan martabat perempuan dan melanggar hak asasi manusia, oleh karena itu permasalahannya mudah dilaporkan melalui ketua RT / RW, atasan atau polisi. Selanjutnya langkah korban untuk melapor kepihak yang berwenang akan makin mudah apabila didukung oleh keluarga dekatnya seperti ayah, ibu atau saudara, dan masyarakat baik secara perorangan maupun lembaga. 

Dukungan yang disarankan adalah meminta perlindungan dari aparat penegak hukum, ketua RT / RW, atau atasan suami, dan saran untuk berkonsultasi kepada lembaga- lembaga yang menangani masalah kekerasan dalam rumah tangga yang ada dimasyarakat. Jadi korban disini mempunyai hak meninggalkan lingkungan yang mengerikan dan mendapatkan bantuan dari lembaga atau aparat hukum. 

Hasil peneitian yang pernah dilakukan oleh peneliti "SEHATI" telah menunjukkan bahwa apabila ada intervensi yang cepat dari anggota keluarga dan teman- teman, maka terlihat adanya kondisi untuk mampu mengurangi kemungkinan terjadinya kekerasan yang berlanjut terhadap isteri. Sebaliknya, jika keluarga dianggap sebagai sesuatu yang "pribadi" dan bukan merupakan urusan publik, angka kekerasan terhadap isteri menjadi lebih tinggi. Selain itu, jika perempuan mempunyai hak atau wibawa dan kekuasaan diluar keluarga, tingkat kekerasan oleh pasangan menjadi lebih rendah[3] [3]. 

Pasal 10 UU PKDRT menjamin hak- hak korban dalam hal mendapatkan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya, baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Namun, untuk pelaksanaannya masih harus dipantau apakah UU PKDRT ini berjalan dengan baik atau tidak. 

Selanjutnya untuk faktor penghambat kemungkinan bisa berasal dari korban sendiri, dengan berbagai alasan seperti tidak sampai hati meihat suaminya ditahan, tidak ada lagi yang memberi nafkah, manjaga nama baik suami dan keluarganya, ataupun menjaga suasana hati anak- anak. 

Selain itu hambatan juga bisa terjadi dari lingkungan masyarakat yang cenderung sering menyalahkan korban sebagai penyebab terjadinya kekerasan, bahkan menuduh korban yang tega melaporkan suami sendiri kepolisi. Kondisi- kondisi ini umumnya dapat menyebabkan korban mencabut kembali laporannya di kepolisian. 

Bila hambatan tersebut datangnya dari aparat maka umumnya kepolisian kurang familier dalam menangani permasalahan KDRT dengan korbannya perempuan atau kalaupun korbannya anak perempuan maka yang selayaknya menangani kasus adalah petugas wanita. Selain itu aparat umumnya cenderung berpandangan bahwa korban yang salah sehingga terjadi kasus kekerasan yang menimpa dirinya, contohnya adalah kasus Perkosaan. 

Pada umumnya memang demikian bahwa seringnya perempuan menjadi tumpuan penyebab terjadinya kekerasan, dan seringnya setiap laporan yang berkaitan dengan kasus KDRT akan ditanggani lebih lambat daripada kasus lainnya seperti kasus pencurian atau narkoba, karena adanya anggapan bahwa penganiayaan oleh suami itu tidak sungguh- sungguh. Bahwa antara suami isteri ada rasa sayang jadi apapun yang dilakukan oleh suami pada isterinya tentu berdasarkan sayang walaupun itu berupa penganiayaan. 

Pasal 89 dan 90 KUHP menunjukkan bahwa kekerasan yang ada pada pasal ini hanya merujuk pada kekerasan fisik saja. Oleh karena itu hal ini dapat merupakan suatu faktor penghambat secara tidak langsung dalam hal penyelesaian kasus KDRT yang terjadi dimasyarakat. Pada kenyataannya KUHP tidak mengenal istilah kekerasan dalam rumah tangga dan rumusan atau ketentuan pasal- pasalnya belum menjangkau bentuk- bentuk kekersan lain selain kekerasan fisik seperti emosional / psikologis, ekonomi, dan seksual. Akibatnya pasal yang digunakan juga terbatas. Istilah kekerasan dalam rumah tangga tidak dikenal dalam KUHP karena pola pikir masyarakat selalu berpatokan pada harmonisasi dalam keluarga, oleh karena itu tidak menganggap serius adanya kekerasan dalam rumah tangga dan masalah rumah tangga selalu dianggap sebagai masalah domestik. 

Dengan adanya UU PKDRT, pelaku KDRT yang benar- benar sangat merugikan korban dapat dikenai hukuman yang setimpal sehingga korban dapat memperoleh keadilan yang diharapkan, mengingat undang- undang PKDRT ini tidak semata- mata mengatur hukuman badan kepada pelaku, tetapi pelaku juga diberi sanksi denda, hukuman tambahan berupa konseling, pembatasan bergerak pelaku dari korban dan sebagainya. 

Secara tidak langsung kondisi yang baik ini dapat dilihat dalam kehidupan masyarakat pada umumnya ketika orang segera menanggapi masalah yang berkaitan dengan KDRT, meskipun korban kekerasan dalam rumah tangga yang mau membawa kasusnya ke aparat hukum untuk diproses secara pidana jumlahnya belum sebanding dengan jumlah kasus KDRT yang setiap saat masih terjadi disekeliling kehidupan kita. Namun, kemauan perempuan yang telah menjadi korban KDRT untuk memproses kasusnya melalui peradilan pidana dapat dikatakan mengalami kemajuan. Hal ini juga dapat dinilai dari adanya tanggapan umum dimasyarakat yang secara spontan berinisiatif melaporkan perkara- perkara KDRT kepada pihak berwajib untuk ditangani. 

Dengan diimplementasikannya UU PKDRT, kondisi ini menunjukkan adanya pergeseran pengaturan masalah rumah tangga, kususnya yang berkaitan dengan terjadinya kekerasan yang semula dianggap sebagai permasalahan domestik dan dipandang sebagai masalah pribadi antara individu dengan individu lainnya dalam keluarga, kemudian hal ini dianggap sebagai masalah negara. Disini terlihat adanya campur tangan negara terhadap masalah yang dianggap privacy karena kebutuhan masyarakat yang menghendaki adanya campur tangan tersebut. Keadaan ini selanjutnya yang disebut dengan sosialisering process, akibatnya hubungan individu dengan individu yang bebas menjadi terbatas. Ada pembatasan kebebasan individu ketika negara turut campur dalam urusan rumah tangga seseorang. 

Pandangan yang menganggap bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan adalah merupakan suatu perwujudan adanya perubahan pemikiran, bahwa pemerintah memandang perlu adanya perubahan pemikran ini dan perlunya diwujudkan dalam suatu peraturan karena kenyataan dimasyarakat menunjukkan begitu banyak korban kekerasan dalam rumah tangga yang mengalami penderitaan namun tidak mendapatkan perlindungan sebagaimana mestinya. 

Mewujudkan perubahan pemikiran masyarakat kedalam suatu peraturan sangat diperlukan karena pada kenyataannya masih banyak anggota masyarakat yang berpandangan bahwa urusan keluarga tersebut merupakan ranah privat, oleh karena itu menganggap orang lain ataupun negara tidak perlu turut campur kedalamnya. 

Ketentuan UU PKDRT menunjukkan bahwa tidak ada hubungan hukum yang bersifat mutlak, semuanya bersifat relatif karena dalam rumah tangga yang didasarkan pada hubungan hukum keperdataan unsur- unsur hukum pidana atau publik dapat masuk didalamnya, terutama jika terjadi kekerasan yang diyakini sebagai pelanggaran hak asasi manusia. 

DAFTAR PUSTAKA 

Anisfrianti Damanik, 2004, Sistem Peradilan Pidana Terpadu bagi Perempuan Korban kekerasan Dalam Rumah Tangga ( Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional UU PKDRT dan Peran Aparat Penegak Hukum ), Jogyakarta; 

Evarisan, 2004, Pendampingan Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( Studi kasus di BKBH UnikaSoegijapranata Semarang), Seminar Nasional Hasil- hasil Penelitian: Peta Keadilan Gender di Indonesia, PSW nika Soegijapranata, Semarang; 

Moelyatno, 1985, Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, Bina Aksara, Yojakarta; 

Muladi, 1997, Perlindungan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana: dalam Buku Kumpulan Karangan: Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 

Rika Saraswati, 2009, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Citra Aditya Bakti, Bandung. 

-------------------------
http://www.ham.go.id/modul.php?md=mod_artikel&data=509245&modnews=32&mnow=0

Budaya Patriarki Dalam Kesetaraan Gender

Patriarki, Masalah Utama Kesetaran Gender
26 Juli 2012
Deputi Pengurus Utamaan Gender Bidang Ekonomi Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak, Niken Kiswandari, mengungkapkan, patriarki menjadi faktor yang paling sulit diatasi untuk meningkatkan kesetaraan gender terhadap perempuan. Selain itu, ada banyak kasus yang menunjukkan masih adanya diskriminasi terhadap permpuan dari segi pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan.

"Jadi kesulitan yang paling utama di negara Indonesia kita adalah sangat kental dengan pola patriarki. Dan merubah mindset itu yang sangat sulit. Apalagi bila dikait-kaitkan dengan urusan agama," ujar Niken, dalam acara pengukuhan Indonesia Women Council (IWC), di Jakarta, Rabu (18/7).

Menurutnya, pertentangan untuk kesetaraan gender bahkan juga datang dari kaum wanita yang tidak mengerti bahwa makna dari kesetaraan bukanlah untuk bersaing dan benar-benar sama.

"Dalam kesetaraan yang kita mau, adalah keadilan bagi laki-laki dan perempuan. Karena kita juga ingin agar ada kesetaraan dalam bidang pendidikan. Dimana saat ini masih terdapat banyak budaya bahwa perempuan adalah perempuan rumahan," ujar Niken.

Kemudian, dari sisi kesehatan, masih tingginya angka kematian ibu dan bayi, yaitu dalam 1 jam, ada 2 orang ibu yang meninggal ketika melahirkan. Dalam bidang ekonomi, ada bias gender, dimana banyak perempuan yang telah menikah, masih dianggap lajang dengan potongan gaji yang besar.

Selain itu, perempuan juga terkait dengan polemik double burden (beban ganda), dimana ia harus mengurusi karier dan keluarga sekaligus. Hal ini menyebabkan terkadang bagi beberapa wanita sulit untuk membuat kariernya lebih maju, misalnya ketika merka akan naik jabatan.

"Karena adanya double burden, perempuan menjadi takut untuk maju. Misalnya ketika mereka ingin mencapai karier lebih tinggi, perempuan terkadang takut untuk mengambil resiko karena harus pulang malam dan meninggalkan keluarga," kata Niken.

Karena itu, Niken menegaskan bahwa peranan keluarga sangat penting untuk mendukung perempuan tersebut untuk kesetaraan gender dan mencapai karier yang lebih tinggi. Bahwa pekerjaan rumah tangga bisa di share dengan bersama-sama, sehingga perempuan itu pun akan semakin termotivasi. [WS]

Sumber : gatra.com, 

Hak Asasi Manusia Wartawan

Wartawan dan Hak Asasi Manusia
30 September 2010
Wartawan dan Hak Asasi Manusia

OLEH : AGUS PURWANTO *)

Dalam tahun 2010 sampai dengan saat ini (Agustus 2010) setidaknya telah 42 wartawan di seluruh dunia tewas dalam menjalankan tugas jurnalistiknya, bahkan dalam tahun 2007 terdapat 172 wartawan tewas, setelah sebelumnya - tahun 2006 - sebanyak 168 wartawan juga tewas. Sementara di Indonesia, baru saja kita dikejutkan dengan tewasnya Ridwan Salamun, wartawan Sun TV yang tengah meliput bentrok antar warga di kota Tual Maluku Tenggara, hari Sabtu 21 Agustus 2010. "Ridwan yang terjebak di tengah massa tiba-tiba dibacok dari belakang lalu dianiaya oleh sekelompok warga bersenjata tanpa ada yang yang menolong", demikian tulis Viva News yang dilansir dalam beritanya tanggal 22 Agustus 2010.

Kematian Ridwan adalah contoh yang semakin memperpanjang kekerasan yang dilakukan oleh oknum atau orang yang tidak dikenal kepada para wartawan dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya. Sebelumnya ada Udin wartawan Bernas Yogyakarta, Anak Agung Prabangsa Wartawan Radar Bali, Marlon Mra-mra wartawan TV Mandiri Papua, Ardiansah Matarais wartawan Merauke TV dan sebagainya. Akan terlampau panjang kalau di tulis semua disini. Setidaknya, menurut AJI (Aliansi Jurnalis Indonesia) dalam tahun 2010 ini terdapat 40 kasus kekerasan dialami wartawan Indonesia, setelah sebelumnya ada sekitar 38 kasus.

Kondisi ini tentu memprihatinkan, karena wartawan adalah insan pers yang bertugas mencari, mengumpulkan dan mengolah informasi menjadi berita untuk disiarkan melalui media massa, baik cetak maupun elektronik, sehingga naluri manusia untuk tahu dan memberitahu dapat terpenuhi oleh tugas yang mulia ini. Tugas wartawan merupakan bagian dari kebebasan menyampaikan pendapat yang merupakan hak yang paling mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang dilindungi hukum, baik hukum internasional maupun nasional.

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pasal 19 misalnya menyatakan, bahwa "setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima, menyampaikan keterangan-keterangan, pendapat dengan cara apapun serta dengan tidak memandang batas-batas". Begitupun dalam pasal 19 ayat (2) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik menyatakan, bahwa "setiap orang berhak mengemukakan pendapat, hak itu harus meliputi kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan semua jenis pemikiran terlepas dari pembatasan-pembatasan, secara lisan, tulisan atau cetakan dalam bentuk karya seni atau melalui sarana lain yang menjadi pilihannya sendiri."

Kemudian, dalam konstitusi kita pasal 28 menegaskan, bahwa "kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang". Ketentuan ini telah ditindaklanjuti dengan Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 23 ayat (2) yang tegas menyatakan, bahwa "setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa". Dalam Undang-undang Pokok Pers dalam pasal 2 dengan lebih tegas menyatakan, bahwa "kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum".

Dengan demikian, maka kebebasan pers yang diaktualisasikan melalui tugas-tugas jurnalistik oleh para wartawan telah dengan dan tegas dijamin pelaksanaannya. Pertanyaannya, bagaimanakah kebebasan menyatakan pendapat termasuk oleh wartawan tersebut dilaksanakan? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan pasal 19 ayat (3) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang menyatakan, bahwa "palaksanaan hak-hak yang diberikan (tersebut di atas pasal 19 ayat 2) menimbulkan kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab khusus. Oleh karena itu dapat dikenai pembatasan-pembatasan tertentu, tetapi hal ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan hukum dan hanya sepanjang diperlukan untuk :a) menghormati hak-hak dan nama baik orang lain, dan b) melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau kesusilaan umum".

Begitupun dalam pasal 70 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan, bahwa "dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis". Secara lebih spesifik pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menyatakan, bahwa "pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah".

Menghormati asas praduga tak bersalah berarti berita harus fakta bukan dusta. Bila muncul opini, tetapi informasinya tidak jelas atau samar-samar, maka pers atau wartawan hendaknya mampu mengendalikan diri untuk tidak memberitakannya. Namun bila khilaf atau salah telah dilakukan wartawan/pers, dapat ditempuh dengan menggunakan hak jawab atau hak koreksi sebagaimana diatur dalam pasal 5 ayat 2 dan 3 Undang-undang Pokok Pers. Jalur lain dapat ditempuh dengan mediasi yang diperankan oleh Dewan Pers, dan jaur hukum yang diperankan oleh aparat penegak hukum (pengadilan). Layak juga dikembangkan adalah jalur rekonsiliasi atau perdamaian. Dengan demikian akan terjadi pembelajaran bersama antara media massa (wartawan) dan masyarakat, dan bukun dengan cara kekerasan apalagi pembunuhan.

*) Kasubdit Legislasi dan Harmonisasi HAM

Direktorat Kerjasama HAM, Ditjen HAM

Hero Herlambang Bratayudha, SH - Rayhan Yusuf Mirshab