Dalam tatanan teoritis
ilmu perekonomian, terjadi ameliorasi peristilahan dari penyebutan perusahaan
menjadi perseroan sebagaimana yang tersebut dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas. Istilah tersebut menjadi suatu bentuk
pendelegasian kewenangan secara luas yang diberikan negara kepada badan hukum
berbentuk perseroan untuk melakukan berbagai kegiatan usaha sesuai dengan
tujuan awal berdirinya perseroan. Namun, kewenangan tersebut bukan tak
terbatas, tetap ada otorisasi perseroan
yang sifatnya limitatif seperti kewajiban perusahaan untuk memenuhi tanggung
jawab sosial sebagaimana yang diamanatkan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas.
Tindak
lanjut dari lahirnya Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas adalah munculnya pergeseran tujuan prinsipil berdirinya
suatu perusahaan atau perseroan yang selama ini identik dengan kepentingan
komersial atau semata-mata hanya untuk mencari laba, namun juga harus
memperhatikan aspek aspek sosial dan lingkungan (Triple bottom line).
Pentingnya
aspek sosial dan lingkungan juga tertuang dalam suatu nomenklatur ‘maksud dan
tujuan’ (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007) yang secara eksplisit
menghendaki adanya proses adaptasi antara tujuan perusahaan umum dengan
ketertiban umum dan aspek kesusilaan. Hal tersebut berarti secara yuridis
materiil pada dasarnya tanggung jawab sosial perseroan telah diatur dalam
undang-undang.
Penempatan
norma yang menghendaki adanya tanggung jawab sosial dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas pada muaranya menjadi pemicu munculnya
polemik baru. Tanggung jawab sosial sebagaimana yang telah diatur ternyata jika
dikaji secara sistemik hanya merupakan suatu norma tunggal yang tidak
memberikan ruang pengaturan lain apabila norma tersebut dilanggar. Belum ditemukan kemungkinan pemberian sanksi
apabila suatu perseroan tidak melaksanakan kewajiban sosialnya di masyarakat
dan terkait dengan fungsi pengawasan terhadap perseroan tersebut. Pertanyaan
yang muncul adalah apakah perseroan di Indonesia dapat mengimplementasikan
kehendak dari pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan atau
perlukah pengaturan lebih lanjut oleh peraturan di bawahnya. Tentu untuk
menjawab pertanyaan tersebut kita membutuhkan kajian yang lebih cermat,
sistematis dan mandiri.
Perseroan
dalam melaksanakan kegiatan usaha pada umumnya mendirikan basis kegiatan
usahanya di berbagai wilayah di Indonesia sesuai dengan sumber dan jenis
kegiatan usahanya. Perseroan juga memiliki klasifikasi jangkauan pasar yang
bermacam-macam tergantung dari besaran modal dan aset yang dimiliki. Semakin
besar jumlah modal yang dimiliki oleh suatu perseroan, maka kesempatan
perseroan untuk menjadi lebih berkembang pesat akan menjadi semakin terbuka.
Akibatnya perseroan dapat tumbuh menjadi besar dan memiliki jaringan organisasi
di banyak wilayah. Beberapa dari perseroan tersebut bahkan ada yang ditarik di
bawah kendali negara (Badan Usaha Milik negara) atau ada yang bersifat mendiri dan
nasional.
Perseroan
yang bergerak di bidang perikanan, perternakan, perkebunan dan pertambangan di
berbagai wilayah pada umumnya sangat membutuhkan modal tidak sedikit sehingga nyaris
seluruh mesin penggerak suatu perseroan didayagunakan secara maksimal untuk
meraih keuntungan yang maksimal pula. Sebagai
akibat dari kegiatan perseroan yang cenderung overexploration pada dasarnya dapat memunculkan polemik di
masyarakat. Beberapa polemik tersebut secara konkrit timbul dari berbagai faktor diantaranya :
- Basis
pembuangan limbah dari hasil industri suatu perseroan yang masih belum memenuhi
standar prosedural dan teknis seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL),
Izin Dinas terkait seperti Badan Lingkungan Hidup (BLH), Kementerian Kesehatan,
dan lain-lain;
- Permasalahan
status kepemilikan lahan yang saling klaim antara suatu perseroan dengan warga
setempat yang memicu konflik terbuka yang tentunya jika tidak segera diatasi
dapat merugikan para pihak;
- Kesenjangan
sosial yang timbul sebagai akibat dari kekurang perhatian suatu perseroan
terhadap masyarakat yang berada di sekitar wilayah produksi suatu perusahaan
bahkan dalam perekrutan karyawan, tidak jarang perseroan tidak mengikutsertakan
penduduk lokal.
Secara
faktual, contoh konkrit dari adanya polemik (crash)
antara perseroan dengan warga lokal terjadi di Provinsi Bengkulu. PTPN VII yang
merupakan perusahaan nasional yang bergerak di sektor utama perkebunan kelapa
sawit dan sektor tambahan lainnya di Bengkulu pada akhirnya tidak dapat
menjalankan kegiatan perseroan dengan baik. Sistem drainase limbah yang
dihasilkan dari produksi kelapa sawit ternyata diduga mencemarkan beberapa
sungai utama di Bengkulu yang menjadi daerah sekitar pemukiman warga. Imbasnya,
diduga beberapa warga psotif tercemar polusi limbah dan menderita berbagai penyakit
kulit dan pernafasan. Tidak hanya itu saja, tidak transparasinya direksi
perseroan membuat masyarakat setempat merasa bahwa kehidupan mereka sedikitpun tidak
diperhatikan oleh pihak perseroan begitu juga dengan pemerintah daerah. Tentu
permasalahan ini mengingatkan berbagai kalangan akan pentingnya tanggung jawab
sosial perseroan.
Tanggung
jawab sosial perusahaan (corporate social
responsibility) pada hakikatnya adalah sebuah angin segar sebagai bentuk
perlindungan hukum bagi perseroan dan masyarakat (sosio centris) itu sendiri. Case by case, selain tertuang secara
normatif di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan, pada
prakteknya ranah tanggung jawab sosial perusahaan juga mulai diatribusikan
dalam peraturan daerah. Beberapa peraturan daerah yang sudah mengatur
permasalahan tanggung jawab sosial perseroan adalah sebagai berikut :
1. Peraturan
Daerah Kota Batam Nomor 02 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan;
2. Peraturan
Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 04 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab sosil
perusahaan; dan
3. Peraturan
Daerah Kabupaten Tanggerang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Sosial
dan Lingkungan Perusahaan.
Penuangan muatan
materi mengenai tanggung jawab sosial perusahaan dalam peraturan daerah secara
substansif telah memenuhi kriteria yang diamanatkan dalam Pasal 74
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas. Namun secara
empiris diduga masih banyak diperlukan adanya perombakan. Adanya inisiatif pemerintah
daerah untuk mengakomodir permasalahan mengenai tanggung jawab sosial pada
dasarnya menunjukkan suatu langkah positif. Paling tidak, pemerintah daerah
telah berusaha untuk menertibkan prilaku perseroan yang berada di dalam
yuridiksi wilayahnya dan melindungi hak-hak warganya dari kekhawatiran dari
timbulnya arogansi perseroan.
Namun patut
diketahui juga bahwa pada prinsipnya peraturan daerah tidak dapat secara penuh dapat
memberikan ruang pengaturan secara berlebihan mengenai bagaimana etika sosial
perseroan. Peraturan daerah pada prinsipnya merupakan peraturan atributif yang
limitatif, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi (lex superior derogat legi inferiori). Suatu peraturan daerah juga tidak
dapat memberikan sanksi kepada pelanggar diluar yang telah ditentukan oleh
undang-undang. Suatu peraturan daerah hanya dapat memberikan sanksi administrasi
dan sanksi pidana yang sifatnya dibatasi (Pasal 15 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Keadaan nonfakultatief tersebut dirasakan dapat
menghambat ruang gerak pemerintah daerah untuk mengarahkan atau menekan
perseroan agar dapat mematuhi suatu regulasi.
Penerapan tanggung jawab sosial perusahaan juga
harus memperhatiikan tipe perseroan itu sendiri. Perseroan berskala nasional
tentu dapat diduga akan menolak untuk mematuhi perintah peraturan daerah,
mengingat perseroan berskala nasional memiliki anak cabang yang tersebar luas
di beberapa wilayah dan proses pendirian perseroan yang melibatkan pemerintah
pusat. Tentu terhadap konteks permasalahan tersebut, pemerintah daerah akan
kesulitan untuk menerapkan regulasi mengenai tanggung jawab sosial perseroan.
Tidak banyak perusahaan atau
perseroan yang memiliki itikad baik untuk menjalankan kewajiban menjalankan
tanggung jawab sosial sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 74 Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan. Untuk itu, regulasi yang lebih efektif
dan efisien sangat diperlukan terutama untuk memberikan kedudukan hukum, yang
tegas dan jelas bagi perusahaan, pemerintah dan masyarakat terkait.
Harus ada klasifikasi yang jelas dan
tegas yang harus diatur oleh Undang-Undang mengenai perseroan seperti apa yang
dapat dikatagorikan sebagai perusahaan besar dan berindikasi dapat menimbulkan
dampak yang luas bagi masyarakat. Perseroan-perseroan besar tersebut jelas
tidak akan mematuhi peraturan daerah secara imperatif mengingat perseroan besar
memiliki organ perseroan yang tersebar di berbagai wilayah administratif dan
belum lagi jika dikaitkan dengan permasalahan politik ekonomi. Terlebih lagi
jika di dalam undang-undang tentang perseroan tidak mencantumkan sanksi pidana
bagi badan hukum perseroan yang tidak menjalankan secara penuh untuk menerapkan
tanggung jawab sosial di masyarakat.
Pada dasarnya, tanggung jawab
sosial perusahaan haruslah dilihat secara secara subyektif, tidak seperti
sebagaimana tertuang dalam beberapa peraturan daerah yang mengatur tentang
tanggung jawab sosial perusahaan. Tanggung jawab sosial idealnya dapat diberikan
berupa :
- Santunan
sosial yang dapat diaktualisasikan dalam bentuk pemberian beasiswa pendidikan
bagi warga sekitar atau yang membutuhkan atau pemberian bantuan langsung
terutama bagi warga yang diduga terkena dampak langsung berdirinya suatu
perseroan;
- Pembangunan
fisik sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh masyarakat yang berada
disekitar area produksi perusahaan;
- Kompensasi
atau ganti rugi yang harus dipersiapkan oleh pihak perseroan apabila dalam
menjalankan aktivitas perseroan terbukti menimbulkan dampak negatif bagi
masyarakat;
- Transparansi
yang jelas mengenai permasalahan perizinan perseroan terutama dalam setiap
kegiatan perusahaan yang bersentuhan langsung dengan sendi kehidupan masyarakat;
dan
- Pendayagunaan
tenaga lokal untuk diikutsertakan dalam kegiatan penigkatan produksi perseroan.
(Hero Herlambang Bratayudha, SH, Perancang Pertama pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Bengkulu)