Tampilkan postingan dengan label Hukum Perburuhan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum Perburuhan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 24 Agustus 2013

Kabar Rancangan Inpres Pengupahan

Rencana Pemerintah Menyusun 
Rancangan Instruksi Presiden tentang Pengupahan


Pemerintah akan merancang Instruksi Presiden (Inpres) tentang pengupahan. Nantinya Inpres tersebut akan menjadi acuan pengupahan yang akan digunakan oleh pemerintah daerah.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa, mengatakan Pemerintah menyusun peraturan ini dengan memperhatikan berbagai faktor. "Upah minimum ini disusun berdasarkan kebutuh hidup layak (KHL) dan beberapa faktor seperti inflasi," kata Hatta Jumat malam, 23 Agustus 2013. 

Dalam ketentuan tersebut, pembagian upah ini akan dibagi dalam beberapa kategori. "Ada capital intensive, labour intensive, dan usaha kecil menengah," kata dia.

Selama ini, tambah Hatta, ada anggapan bahwa penentuan upah berada di tangan pemerintah daerah. Padahal, penetapan besaran bayaran tersebut ada dalam pembahasan Dewan Pengupahan yang terdiri atas tiga pihak.

Rabu, 21 Agustus 2013

Tahun 2017, Pengiriman Tenaga Kerja Indonesia Dihentikan ?

Kemenakertrans berencana menghentikan pengiriman pekerja migran sektor domestik ke luar negeri pada tahun 2017. Gagasan itu tertuang dalam peta jalan yang memuat berbagai program jangka panjang. Menurut Menakertrans Muhaimin Iskandar, penghentian pengiriman tidak dapat dilakukan secara mendadak, tapi bertahap. Apalagi calon pekerja migran banyak yang berminat bergelut di sektor domestik.
Muhaimin mengakui upaya untuk mewujudkan peta jalan itu cukup mendapat tantangan yang berat. Namun, hal tersebut perlu dilakukan demi meningkatkan perlindungan bagi pekerja migran Indonesia.
Sebagaimana peta jalan, Muhaimin mengatakan tahun 2017, pekerja migran sektor domestik dibagi menjadi empatjenis pekerjaan. Yaitu pengurus rumah tangga, tukang masak, pengasuh bayi dan perawat orang jompo. “Jadi nantinya TKI yang hendak bekerja di luar negeri telah mempunyai fokus kerja yang lebih specific dan terukur sesuai dengan empatjabatan kerja itu. Tidak lagi bekerja sebagai domestic worker yang mengerjakan semua pekerjaan rumah,” kata Muhaimin dalam Kongres Diaspora Indonesia di Jakarta, Senin (19/8).

Minggu, 10 Maret 2013

ketentuan hukum jumlah perbandingan antara karyawan asing dan karyawan lokal di indonesia

KETENTUAN HUKUM PERBANDINGAN JUMLAH KARYAWAN ASING DAN LOKAL
Disadur asli berdasarkan tulisan : LIZA ELFITRI


Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur tentang tenaga kerja asing pada pasal-pasal di bawah ini :
a.         Pasal 1 angka 13: definisi tenaga kerja asing.
Tenaga kerja asing asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.“
 

Hak Karyawan atas uang lembur atau insentif ?

UANG LEMBUR DAN INSENTIF
Disadur berdasarkan tulisan : LETEZIA TOBING

Waktu lembur dan upah lembur diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”) serta peraturan-peraturan pelaksananya. Berikutnya, kami akan kutipkan penjelasan dalam artikel Waktu Kerja dan Upah Lembur Sopir, yang relevan dengan pertanyaan Anda, sebagai berikut:

Senin, 25 Februari 2013

PEDOMAN PERUSAHAAN UNTUK MEMBERI UPAH KARYAWAN BERDASARKAN UMP DAN UMK oleh : LETEZIA TOBING

PEDOMAN PERUSAHAAN UNTUK MEMBERI UPAH KARYAWAN 
BERDASARKAN UMP DAN UMK
oleh : LETEZIA TOBING, HukumOnline.Com
http://images.hukumonline.com/frontend/lt506aec66ed27e/lt506bc9aa28ce7.jpg


Apabila yang maksud dengan UMP adalah upah minimum provinsi dan UMK adalah upah minimum kabupaten/kota. Sebelumnya akan diterangkan terlebih dahulu menerangkan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan UMP dan UMK.
Berikut adalah pengertian mengenai UMP dan UMK menurut Pasal 1 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia No. PER-01/MEN/1999 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. KEP-226/MEN/2000 Tahun 2000 tentang Upah Minimum (“Peraturan Upah Minimum”):
1.    Upah Minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap.
2.    Upah Minimum Propinsi adalah Upah Minimum yang berlaku untuk seluruh Kabupaten/Kota di satu Propinsi.
3.    Upah Minimum Kabupaten/Kota adalah Upah Minimum yang berlaku di Daerah Kabupaten/Kota.
Dari pengertian di atas terlihat bahwa lingkup keberlakuan ketentuan UMK lebih khusus dari UMP. Lebih lanjut, Pasal 4 ayat (3) Peraturan Upah Minimum mengatakan bahwa Gubernur dalam menetapkan UMK harus lebih besar dari UMP.
Selain itu, Pasal 13 (diubah menjadi Pasal 12) ayat (2) Peraturan Upah Minimum, mengatakan bahwa dalam hal di daerah sudah ada penetapan UMK perusahaan dilarang membayar upah lebih rendah dari UMK.
Ini berarti adalah ketentuan mengenai UMP berlaku bagi seluruh kabupaten/kota di suatu provinsi, dalam hal di kabupaten-kabupaten/kota-kota di provinsi tersebut belum ada pengaturan mengenai UMK masing-masing kabupaten/kota.
Sedangkan, jika dalam suatu kabupaten/kota sudah terdapat ketentuan mengenai UMK (yang jumlahnya harus lebih besar dari UMP), maka yang berlaku adalah ketentuan mengenai UMK. Di sini dapat dilihat bahwa lewat ketentuan tersebut pemerintah ingin mensejahterakan para pekerja dengan memberlakukan ketentuan UMK bagi kabupaten/kota yang telah mempunyai ketentuan UMK.
  
Dasar Hukum:
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia No. PER-01/MEN/1999 Tahun 1999 tentang Upah Minimum sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. KEP-226/MEN/2000 Tahun 2000.

Senin, 10 Desember 2012

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Dalam Peraturan Daerah




Dalam tatanan teoritis ilmu perekonomian, terjadi ameliorasi peristilahan dari penyebutan perusahaan menjadi perseroan sebagaimana yang tersebut dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Istilah tersebut menjadi suatu bentuk pendelegasian kewenangan secara luas yang diberikan negara kepada badan hukum berbentuk perseroan untuk melakukan berbagai kegiatan usaha sesuai dengan tujuan awal berdirinya perseroan. Namun, kewenangan tersebut bukan tak terbatas,  tetap ada otorisasi perseroan yang sifatnya limitatif seperti kewajiban perusahaan untuk memenuhi tanggung jawab sosial sebagaimana yang diamanatkan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Tindak lanjut dari lahirnya Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas adalah munculnya pergeseran tujuan prinsipil berdirinya suatu perusahaan atau perseroan yang selama ini identik dengan kepentingan komersial atau semata-mata hanya untuk mencari laba, namun juga harus memperhatikan aspek aspek sosial dan lingkungan (Triple bottom line).
Pentingnya aspek sosial dan lingkungan juga tertuang dalam suatu nomenklatur ‘maksud dan tujuan’ (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007) yang secara eksplisit menghendaki adanya proses adaptasi antara tujuan perusahaan umum dengan ketertiban umum dan aspek kesusilaan. Hal tersebut berarti secara yuridis materiil pada dasarnya tanggung jawab sosial perseroan telah diatur dalam undang-undang.
Penempatan norma yang menghendaki adanya tanggung jawab sosial dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas pada muaranya menjadi pemicu munculnya polemik baru. Tanggung jawab sosial sebagaimana yang telah diatur ternyata jika dikaji secara sistemik hanya merupakan suatu norma tunggal yang tidak memberikan ruang pengaturan lain apabila norma tersebut dilanggar.  Belum ditemukan kemungkinan pemberian sanksi apabila suatu perseroan tidak melaksanakan kewajiban sosialnya di masyarakat dan terkait dengan fungsi pengawasan terhadap perseroan tersebut. Pertanyaan yang muncul adalah apakah perseroan di Indonesia dapat mengimplementasikan kehendak dari pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan atau perlukah pengaturan lebih lanjut oleh peraturan di bawahnya. Tentu untuk menjawab pertanyaan tersebut kita membutuhkan kajian yang lebih cermat, sistematis dan mandiri.
Perseroan dalam melaksanakan kegiatan usaha pada umumnya mendirikan basis kegiatan usahanya di berbagai wilayah di Indonesia sesuai dengan sumber dan jenis kegiatan usahanya. Perseroan juga memiliki klasifikasi jangkauan pasar yang bermacam-macam tergantung dari besaran modal dan aset yang dimiliki. Semakin besar jumlah modal yang dimiliki oleh suatu perseroan, maka kesempatan perseroan untuk menjadi lebih berkembang pesat akan menjadi semakin terbuka. Akibatnya perseroan dapat tumbuh menjadi besar dan memiliki jaringan organisasi di banyak wilayah. Beberapa dari perseroan tersebut bahkan ada yang ditarik di bawah kendali negara (Badan Usaha Milik negara) atau ada yang bersifat mendiri dan  nasional.
Perseroan yang bergerak di bidang perikanan, perternakan, perkebunan dan pertambangan di berbagai wilayah pada umumnya sangat membutuhkan modal tidak sedikit sehingga nyaris seluruh mesin penggerak suatu perseroan didayagunakan secara maksimal untuk meraih keuntungan yang maksimal pula.  Sebagai akibat dari kegiatan perseroan yang cenderung overexploration pada dasarnya dapat memunculkan polemik di masyarakat. Beberapa polemik tersebut secara konkrit timbul  dari berbagai faktor diantaranya :
  1. Basis pembuangan limbah dari hasil industri suatu perseroan yang masih belum memenuhi standar prosedural dan teknis seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Izin Dinas terkait seperti Badan Lingkungan Hidup (BLH), Kementerian Kesehatan, dan lain-lain; 
  2.  Permasalahan status kepemilikan lahan yang saling klaim antara suatu perseroan dengan warga setempat yang memicu konflik terbuka yang tentunya jika tidak segera diatasi dapat merugikan para pihak;
  3.  Kesenjangan sosial yang timbul sebagai akibat dari kekurang perhatian suatu perseroan terhadap masyarakat yang berada di sekitar wilayah produksi suatu perusahaan bahkan dalam perekrutan karyawan, tidak jarang perseroan tidak mengikutsertakan penduduk lokal. 

Secara faktual, contoh konkrit dari adanya polemik (crash) antara perseroan dengan warga lokal terjadi di Provinsi Bengkulu. PTPN VII yang merupakan perusahaan nasional yang bergerak di sektor utama perkebunan kelapa sawit dan sektor tambahan lainnya di Bengkulu pada akhirnya tidak dapat menjalankan kegiatan perseroan dengan baik. Sistem drainase limbah yang dihasilkan dari produksi kelapa sawit ternyata diduga mencemarkan beberapa sungai utama di Bengkulu yang menjadi daerah sekitar pemukiman warga. Imbasnya, diduga beberapa warga psotif tercemar polusi limbah dan menderita berbagai penyakit kulit dan pernafasan. Tidak hanya itu saja, tidak transparasinya direksi perseroan membuat masyarakat setempat merasa bahwa kehidupan mereka sedikitpun tidak diperhatikan oleh pihak perseroan begitu juga dengan pemerintah daerah. Tentu permasalahan ini mengingatkan berbagai kalangan akan pentingnya tanggung jawab sosial perseroan.

Tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) pada hakikatnya adalah sebuah angin segar sebagai bentuk perlindungan hukum bagi perseroan dan masyarakat (sosio centris) itu sendiri. Case by case, selain tertuang secara normatif di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan, pada prakteknya ranah tanggung jawab sosial perusahaan juga mulai diatribusikan dalam peraturan daerah. Beberapa peraturan daerah yang sudah mengatur permasalahan tanggung jawab sosial perseroan adalah sebagai berikut :
1.    Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 02 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan;
2.    Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 04 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab sosil perusahaan; dan
3.    Peraturan Daerah Kabupaten Tanggerang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan.
Penuangan muatan materi mengenai tanggung jawab sosial perusahaan dalam peraturan daerah secara substansif telah memenuhi kriteria yang diamanatkan dalam Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas. Namun secara empiris diduga masih banyak diperlukan adanya perombakan. Adanya inisiatif pemerintah daerah untuk mengakomodir permasalahan mengenai tanggung jawab sosial pada dasarnya menunjukkan suatu langkah positif. Paling tidak, pemerintah daerah telah berusaha untuk menertibkan prilaku perseroan yang berada di dalam yuridiksi wilayahnya dan melindungi hak-hak warganya dari kekhawatiran dari timbulnya arogansi perseroan.
Namun patut diketahui juga bahwa pada prinsipnya peraturan daerah tidak dapat secara penuh dapat memberikan ruang pengaturan secara berlebihan mengenai bagaimana etika sosial perseroan. Peraturan daerah pada prinsipnya merupakan peraturan atributif yang limitatif, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (lex superior derogat legi inferiori). Suatu peraturan daerah juga tidak dapat memberikan sanksi kepada pelanggar diluar yang telah ditentukan oleh undang-undang. Suatu peraturan daerah hanya dapat memberikan sanksi administrasi dan sanksi pidana yang sifatnya dibatasi (Pasal 15 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Keadaan nonfakultatief tersebut dirasakan dapat menghambat ruang gerak pemerintah daerah untuk mengarahkan atau menekan perseroan agar dapat mematuhi suatu regulasi.
Penerapan tanggung jawab sosial perusahaan juga harus memperhatiikan tipe perseroan itu sendiri. Perseroan berskala nasional tentu dapat diduga akan menolak untuk mematuhi perintah peraturan daerah, mengingat perseroan berskala nasional memiliki anak cabang yang tersebar luas di beberapa wilayah dan proses pendirian perseroan yang melibatkan pemerintah pusat. Tentu terhadap konteks permasalahan tersebut, pemerintah daerah akan kesulitan untuk menerapkan regulasi mengenai tanggung jawab sosial perseroan.
Tidak banyak perusahaan atau perseroan yang memiliki itikad baik untuk menjalankan kewajiban menjalankan tanggung jawab sosial sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan. Untuk itu, regulasi yang lebih efektif dan efisien sangat diperlukan terutama untuk memberikan kedudukan hukum, yang tegas dan jelas bagi perusahaan, pemerintah dan masyarakat terkait. 
Harus ada klasifikasi yang jelas dan tegas yang harus diatur oleh Undang-Undang mengenai perseroan seperti apa yang dapat dikatagorikan sebagai perusahaan besar dan berindikasi dapat menimbulkan dampak yang luas bagi masyarakat. Perseroan-perseroan besar tersebut jelas tidak akan mematuhi peraturan daerah secara imperatif mengingat perseroan besar memiliki organ perseroan yang tersebar di berbagai wilayah administratif dan belum lagi jika dikaitkan dengan permasalahan politik ekonomi. Terlebih lagi jika di dalam undang-undang tentang perseroan tidak mencantumkan sanksi pidana bagi badan hukum perseroan yang tidak menjalankan secara penuh untuk menerapkan tanggung jawab sosial di masyarakat. 
Pada dasarnya, tanggung jawab sosial perusahaan haruslah dilihat secara secara subyektif, tidak seperti sebagaimana tertuang dalam beberapa peraturan daerah yang mengatur tentang tanggung jawab sosial perusahaan. Tanggung jawab sosial idealnya dapat diberikan berupa : 
  1. Santunan sosial yang dapat diaktualisasikan dalam bentuk pemberian beasiswa pendidikan bagi warga sekitar atau yang membutuhkan atau pemberian bantuan langsung terutama bagi warga yang diduga terkena dampak langsung berdirinya suatu perseroan;
  2. Pembangunan fisik sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh masyarakat yang berada disekitar area produksi perusahaan;
  3. Kompensasi atau ganti rugi yang harus dipersiapkan oleh pihak perseroan apabila dalam menjalankan aktivitas perseroan terbukti menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat;
  4. Transparansi yang jelas mengenai permasalahan perizinan perseroan terutama dalam setiap kegiatan perusahaan yang bersentuhan langsung dengan sendi kehidupan masyarakat; dan
  5. Pendayagunaan tenaga lokal untuk diikutsertakan dalam kegiatan penigkatan produksi perseroan.
  6.  
    (Hero Herlambang Bratayudha, SH, Perancang Pertama pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Bengkulu)





Hero Herlambang Bratayudha, SH - Rayhan Yusuf Mirshab