ASAS
LEGALITAS
DALAM
SISTEM HUKUM COMMON LAW DAN CIVIL LAW
Oleh : CIK YANG, SH, MH
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Asas legalitas yang dikenal dalam hukum
pidana modern muncul dari lingkup sosiologis Abad Pencerahan yang mengagungkan
doktrin perlindungan rakyat dari perlakuan sewenang-wenang kekuasaan[1].
Sebelum datang Abad Pencerahan, kekuasaan dapat menghukum orang meski tanpa ada
peraturan terlebih dulu. Saat itu, selera kekuasaanlah yang paling berhak
menentukan apakah perbuatan dapat dihukum atau tidak. Untuk menangkalnya,
hadirlah asas legalitas yang merupakan instrumen penting perlindungan
kemerdekaan individu saat berhadapan dengan negara. Dengan demikian, apa yang
disebut dengan perbuatan yang dapat dihukum menjadi otoritas peraturan, bukankekuasaan.
Menurut para ahli hukum, akar gagasan asas legalitas berasal dari ketentuan
Pasal 39 Magna Charta (1215)[2] di
Inggris yang menjamin adanya perlindungan rakyat dari penangkapan, penahanan,
penyitaan, pembuangan, dan dikeluarkannya seseorang dari perlindungan
hukum/undang-undang, kecuali ada putusan peradilan yang sah. Ketentuan ini
diikuti Habeas Corpus Act (1679) di Inggris yang mengharuskan seseorang yang
ditangkap diperiksa dalam waktu singkat. Gagasan ini mengilhami munculnya salah
satu ketentuan dalam Declaration of Independence (1776) di Amerika Serikat yang
menyebutkan, tiada seorang pun boleh dituntut atau ditangkap selain dengan, dan
karena tindakan-tindakan yang diatur dalam, peraturan perundang-undangan.
Hukum
mempunyai sistem pada asas-asas yang dikemukakan dan dikembangkan secara
terperinci dengan perantara tulisan para ahli hukum, putusan pengadilan dan
himpunan hukum dalam suatu undang-undang. Kegunaan hukum dalam kejadian konkrit
tidak hanya bersandar kepada ketentuan hukum dalam undang-undang saja, karena
undang-undang tidak hanya memuat kaidah terperinci untuk peristiwa apa yang
akan terjadi, melainkan ia juga bersandar juga pada premise umum untuk dasar
pemikiran tentang apa yang seharusnya dan apa yang senyatanya menurut hukum
yang dikembangkan oleh para ahli hukum.
Sistem
hukum bukan sekedar kumpulan peraturan hukum, tetapi setiap peraturan itu
saling berkaitan satu dengan yang lainnya serta tidak boleh terjadi konflik.
Sistem hukum di Indonesia seperti halnya dalam sistem hukum positif lainnya
terdiri atas subsistem pidana, subsistem hukum perdata, subsistem hukum
administrasi negara. Dengan demikian, subsistem hukum itu pada hakikatnya
mencakup semua peraturan hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
Sistem
hukum di dunia pada hakikatnya terdiri dari dua kelompok, yaitu sistem hukum
eropa continental dan sistem hukum anglo saxon dimana dari kedua sistem hukum
tersebut memiliki ciri dan karakteristiknya masing-masing termasuk dalam
subsistem hukum pidananya. Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis akan
melakukan perbandingan antara karakteristik sistem hukum pidana anglo saxon
dengan sistem hukum pidana nasional.
B.
Karakteristik Sistem Hukum Anglo Saxon
Sebelum
menguraikan tentang bentuk perbandingan dan karakteristik sistem anglo saxon
(coman law) terlebih dulu perlu diketahui bahwa sejarah pembentukan hukum di
negara-negara eropa sama-sama menghendaki adanya satu hukum nasional atau
unifikasi.
Berikut
ini akan diuraikan bentuk dan karakteristik dari sistem hukum anglo saxon hukum
pidana atau sering dikenal dengan sistem hukum coman law adalah sebagai berikut
:
1. Sistem hukum anglo saxon pada
hakikatnya bersumber pada :
a.Custom
Merupakan
sumber hukum tertua, oleh karena ia lahir dari dan berasal dari sebagian hukum
Romawi, custom ini tumbuh dan berkembang dari kebiasaan suku anglo saxon yang
hidup pada abad pertengahan. Pada abad ke 14 custom law akan melahirkan common
law dan kemudian digantikan dengan precedent
b. Legislation
Berarti
undang-undang yang dibentuk melalui parlemen. undang-undang yang demikian
tersebut disebut dengan statutes. Sebelum abad ke 15, legislation bukanlah
merupakan salah satu sumber hukum di Inggris, klarena pada waktu itu
undang-undang dikeluarkan oleh raja dan Grand Council (terdiri dari kaum
bangsawan terkemuka dan penguasa kota, dan pada sekitar abad ke 14 dilakukan
perombakan yang kemudian dikenal dengan parlemen.
c. Case-Law
Sebagai
salah satu sumber hukum, khsusnya dinegara Inggris merupakan ciri karakteristik
yang paling utama. Seluruh hukum kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat
tidak melalui parlemen, akan tetapi dilakukan oleh hakim, sehingga dikenal
dengan judge made law, setiap putusan hakim merupakan precedent bagi hakim yang
akan datang sehingga lahirlah doktrin precedent sampai sekarang
2. Sebagai konsekuensi dipergunakannya
sistem case law dengan doktrin precedent yang merupakan ciri utama dari sistem
hukum anglo saxon (Inggris) maka tidak sepenuhnya menganut sistem asas
legalitas, dan hal tersebut dapat dilihat pada bukti sebagai berikut :
a.
Adanya legislation sebagai sumber hukum disampaing custom law dan case law
b.
Jika suatu perkara terjadi pertentangan antara case law dan statue law, maka
pertama-
tama
akan dipergunakan case law, sedangkan statute law akan dikesampingkan.
3. Bertitik tolak dari doktrin
precedent dimaksud maka kekuasaan hakim di sistem anglo saxon (comman law)
sangat luas dalam memberikan penafsiran terhadap suatu ketentuan yang tercantum
dalam undang-undang. Bahkan salah satu negara yang mengaut sistem ini yaitu
Inggris diperbolehkan tidak sepenuhnya bertumpu pada ketentuan suatu
undang-undang jika diyakini olehnya bahwa ketentuan dimaksud tidak dapat
diterapkan dalam kasus pidana yang sedang dihadapinya. Dalam hal demikian haki
dapat menjatuhkan putusan sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan atau melaksanakan
asas precedent sepenuhnya. Dilihat dari kekuasaan hakim pada sistem ini sangat
luas dalam memberikan penafsiran tersebut, sehingga dapat membentuk hukum baru,
maka nampaknya sistem hukum comman law (anglo saxon) kurang memperhatikan
kepastian hukum.
4. Ajaran kesalahan dalam sistem hukum
comman law dikenal dengan Mens-Rea yang dilandaskan pada maxim “Actus non est
reus mens rea” yang berarti suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang
bersalah, kecuali jika pikiran orang itu jahat
5. Dalam sistem hukum anglo saxon atau
comman law pertanggungjawaban pidana tergantung dari ada atau tidaknya “berbuat
atau tidak berbuat sesuatu dan sikap bathin yang jahat. Namun demikian unsur
sikap bathin yang jahat tersebut merupakan unsur yang mutlak dalam
pertanggungjawaban pidana dan harus ada terlebih dahulu pada perbuatan tersebut
sebelum dilakukan penuntutan. Dalam perkembangan selanjutnya unsur sikap bathin
yang jahat tersebut tidak lagi dianggap sebagai syarat yang utama, misalnya
pada delik-delik tentang ketertiban umum atau kesejahteraan umum.
6. Sistem hukum yang menganut sistem
anglo saxon atau comman law tidak mengenal adanya perbedaan kejahatan dan
pelanggaran, sebagaimana halnya di negara-negara yang menganut civil law atau
eropa continental. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUH Pidana) sebagai hukum
positif di negara Indonesia mengenal adanya perbedaan di atas.
7.
Sistem hukum acara pidana yang berlaku di negara-negara comman law atau anglo
saxon pada prinsipnya menganut sistem Acusatoir
C. Karakteristik Sistem Civil Law.
Sistem Civil Law mempunyai tiga karakteristik, yaitu
adanya kodifikasi, hakim tidak terikat kepada preseden sehingga undang-undang
menjadi sumber hukum yang terutama, dan sistem peradilan bersifat
inkuisitorial. Karakteristik utama yang menjadi dasar sistem Hukum Civil Law
adalah hukum memperoleh kekuatan mengikat, karena diwujudkan dalam
peraturan-peraturan yang berbentuk undang-undang dan tersusun secara sistematik
di dalam kodifikasi. Karakteristik dasar ini dianut mengingat bahwa nilai utama
yang merupakan tujuan hukum adalah kepastian hukum. Kepastian hukum hanya dapat
diwujudkan kalau tindakan-tindakan hukum manusia dalam pergaulan hidup diatur
dengan peraturan-peraturan hukum tertulis. Dengan tujuan hukum itu dan
berdasarkan sistem hukum yang dianut, hakim tidak dapat leluasa menciptakan
hukum yang mempunyai kekuatan mengikat umum. Hakim hanya berfungsi menetapkan
dan menafsirkan peraturan-peraturan dalam batas-batas wewenangnya. Putusan
seorang hakim dalam suatu perkara hanya mengikat para pihak yang berperkara
saja ( Doktrins Res Ajudicata ).Karakteristik kedua pada sistem Civil Law tidak
dapat dilepaskan dari ajaran pemisahan kekusaan yang mengilhami terjadinya
Revolusi Perancis. Menurut Paul Scolten, bahwa maksud sesungguhnya
pengorganisasian organ-organ negara Belanda adalah adanya pemisahan antara
kekuasaan pembuatan undang-undang, kekuasaan peradilan, dan sistem kasasi
adalah tidak dimungkinkannya kekuasaan yang satu mencampuri urusan kekuasaan
lainnya. Penganut sistem Civil Law memberi keleluasaan yang besar bagi hakim
untuk memutus perkara tanpa perlu meneladani putusan-putusan hakim terdahulu.
Yang menjadi pegangan hakim adalah aturan yang dibuat oleh parlemen, yaitu :
undang-undang.
Karakteristik ketiga pada sistem hukum Civil Law adalah apa yang oleh Lawrence Friedman disebut sebagai digunakannya sistem Inkuisitorial dalam peradilan. Di dalam sistem itu, hakim mempunyai peranan yang besar dalam mengarahkan dan memutuskan perkara; hakim aktif dalam menemukan fakta dan cermat dalam menilai alat bukti. Menurut pengamatan Friedman, hakim di dalam sistem hukum Civil Law berusaha untuk mendapatkan gambaran lengkap dari peristiwa yang dihadapinya sejak awal. Sistem ini mengandalkan profesionalisme dan kejujuran hakim.
Karakteristik ketiga pada sistem hukum Civil Law adalah apa yang oleh Lawrence Friedman disebut sebagai digunakannya sistem Inkuisitorial dalam peradilan. Di dalam sistem itu, hakim mempunyai peranan yang besar dalam mengarahkan dan memutuskan perkara; hakim aktif dalam menemukan fakta dan cermat dalam menilai alat bukti. Menurut pengamatan Friedman, hakim di dalam sistem hukum Civil Law berusaha untuk mendapatkan gambaran lengkap dari peristiwa yang dihadapinya sejak awal. Sistem ini mengandalkan profesionalisme dan kejujuran hakim.
Sumber-sumber Hukum menurut Sistem Civil Law
Bentuk-bentuk sumber hukum dalam arti formal dalam sistem hukum Civil Law berupa peraturan perundang-undangan, kebiasaan-kebiasaan, dan yurisprudensi. Dalam rangka menemukan keadilan, para yuris dan lembaga-lembaga yudisial maupun quasi-judisial merujuk kepada sumber-sumber tersebut. Dari sumber-sumber itu, yang menjadi rujukan pertama dalam tradisi sistem hukum Civil Law adalah peraturan perundang-undangan. Negara-negara penganut civil law menempatkan konstitusi pada urutan tertinggi dalam hirarki peraturan perundang-undangan.
Bentuk-bentuk sumber hukum dalam arti formal dalam sistem hukum Civil Law berupa peraturan perundang-undangan, kebiasaan-kebiasaan, dan yurisprudensi. Dalam rangka menemukan keadilan, para yuris dan lembaga-lembaga yudisial maupun quasi-judisial merujuk kepada sumber-sumber tersebut. Dari sumber-sumber itu, yang menjadi rujukan pertama dalam tradisi sistem hukum Civil Law adalah peraturan perundang-undangan. Negara-negara penganut civil law menempatkan konstitusi pada urutan tertinggi dalam hirarki peraturan perundang-undangan.
Semua negara penganut civil law mempunyai konstitusi
tertulis.
Peraturan perundang-undangan mempunyai dua karakteristik, yaitu berlaku umum dan isinya mengikat keluar. Sifat yang berlaku umum itulah yang membedakan antara perundang-undangan dan penetapan. Penetapan berlaku secara individual tetapi harus dihormati oleh orang lain. Sebagai contoh penetapan, misalnya, pemberian grasi oleh Presiden Republik Indonesia melalui suatu keputusan presiden ( Keppres ) kepada seorang terpidana yang putusan pemidanaannya telah memiliki kekuatan yang tetap.
Sumber hukum yang kedua yang dirujuk oleh para yuris di negara-negara penganut Civil Law dalam memecahkan masalah adalah kebiasaan-kebiasaan.
Peraturan perundang-undangan mempunyai dua karakteristik, yaitu berlaku umum dan isinya mengikat keluar. Sifat yang berlaku umum itulah yang membedakan antara perundang-undangan dan penetapan. Penetapan berlaku secara individual tetapi harus dihormati oleh orang lain. Sebagai contoh penetapan, misalnya, pemberian grasi oleh Presiden Republik Indonesia melalui suatu keputusan presiden ( Keppres ) kepada seorang terpidana yang putusan pemidanaannya telah memiliki kekuatan yang tetap.
Sumber hukum yang kedua yang dirujuk oleh para yuris di negara-negara penganut Civil Law dalam memecahkan masalah adalah kebiasaan-kebiasaan.
Pada kenyataannya, undang-undang tidak pernah lengkap.
Kehidupan masyarakat begitu kompleks sehingga undang-undang tidak mungkin dapat
menjangkau semua aspek kehidupan tersebut. Sedangkan dilain pihak, dibutuhkan
aturan-aturan yang dijadikan pedoman manusia dalam bertingkah laku untuk hidup
bermasyarakat.
Sumber hukum
bukanlah kebiasaan, melainkan hukum kebiasaan. Kebiasaan tidak mempunyai
kekuatan mengikat. Agar kebiasaan menjadi hukum kebiasaan diperlukan dua hal, yaitu
tindakan itu dilakukan secara berulang-ulang ( usus ) dan adanya unsur
psikologis mengenai pengakuan bahwa apa yang dilakukan secara terus-menerus dan
berulang-ulang itu aturan hukum. Unsur ini mempunyai relevansi yuridis, yaitu
tindakan itu bukan sekadar dilakukan secara berulang-ulang, melainkan tindakan
itu harus disebabkan oleh suatu kewajiban hukum yang menurut pengalaman manusia
harus dilakukan. Unsur psikologis itu dalam bahasa latin disebut Opinio
Necessitatis, bahwa orang bertindak sesuai dengan norma yang berlaku akibat
adanya kewajiban hukum.
Sumber hukum yang ketiga yang dirujuk dalam sistem hukum Civil Law adalah yurisprudensi. Ketika mengemukakan bahwa suatu hukum kebiasaan berlaku bagi semua anggota masyarakat secara tidak langsung, melainkan melalui yurisprudensi, Spruit sebenarnya mengakui bahwa yurisprudensi merupakan sumber hukum dalam arti formal. Akan tetapi posisi yurisprudensi sebagai sumber hukum di dalam sistem hukum Civil Law belum lama diterima. Hal itu disebabkan oleh pandangan bahwa aturan-aturan tingkah laku, terutama aturan perundang-undangan, ditujuka untuk mengatur situasi yang ada dan menghindari konflik; dengan demikian, aturan-aturan itu dibuat untuk hal-hal setelah undang-undang itu diundangkan. Undang-undang dalam hal demikian merupakan suatu pedoman mengenai apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan.
Sumber hukum yang ketiga yang dirujuk dalam sistem hukum Civil Law adalah yurisprudensi. Ketika mengemukakan bahwa suatu hukum kebiasaan berlaku bagi semua anggota masyarakat secara tidak langsung, melainkan melalui yurisprudensi, Spruit sebenarnya mengakui bahwa yurisprudensi merupakan sumber hukum dalam arti formal. Akan tetapi posisi yurisprudensi sebagai sumber hukum di dalam sistem hukum Civil Law belum lama diterima. Hal itu disebabkan oleh pandangan bahwa aturan-aturan tingkah laku, terutama aturan perundang-undangan, ditujuka untuk mengatur situasi yang ada dan menghindari konflik; dengan demikian, aturan-aturan itu dibuat untuk hal-hal setelah undang-undang itu diundangkan. Undang-undang dalam hal demikian merupakan suatu pedoman mengenai apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan.
D.Permasalahan.
Dalam
pembuatan makalah ini yang menjadi pokok
permasalahan adalah :
1.
Bagaimana
Penerapan
asas legalitas dan asas kesalahan pada sistem hukum Cammon Law dan Civil Law ?
2.
Bagaimana
Perbedaan
dan asas legalitas dan asas kesalahan pada sistem hukum Cammon Law dan Civil
Law ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Asas Legalitas Sebagai Ukuran Tindak Pidana
Asas legalitas atau Nullum crimen sine lege dan
nulla poena sine lege. Asas ini lebih cocok untuk hukum pidana tertulis.
Asas legalitas tersebut menentukan unsur suatu perbuatan dapat dipidana
berdasarkan pada aturan-aturan hukum tertulis yang telah menetapkan adanya
sanksi pidana.
Beberapa negara baik dalam sistem hukum totaliter dan
sistem hukum sosialis, mengakui asas legalitas dan larangan penerapan analogi
Pendapat Muladi (2002:73) tentang asas legalitas
menyatakan bahwa:
(1) memperkuat kepastian hukum;
(2) menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa;
(3) mengefektifkan fungsi pencegahan dari sanksi pidana;
(4) mencegah penyalahgunaan kekuasaan; dan
(5) memperkokoh penerapan rule of law.
B. Pengertian Asas legalitas
Telah dijelaskan bahwa dasar pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakuakan perbuatan pidana adalah norma yang tidak tertulis yakni tidak dipidana jika ada kesalahan. Dasar ini mengenai dipertanggungjawabankannnya seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya (Criminal Responbility/Criminal liability).
Namun sebelum itu, mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidana itu sendiri, mengenai criminal act juga ada dasar yang pokok yaitu asas legalitas yaitu asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Biasanya asas ini dikenal dengan nullum delictum uulla poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu)
Dalam sejarahnya tidak menunjukkan perubahan hukum pidana pada abad ke-18 dulu bahwa keseluruhan masalah hukum pidana harus ditegaskan dengan suatu undang-undang. Ucapan nullum delictum uulla poena sine praevia lege ini berasal dari von feurbach, sarjana hukum pidana jerman (1775-1833). Dialah yang merumuskannya dalam pepatah latin tadi dalam bukunya: lehrbnuch des pein leichen recht.
Biasanya asas-asas ini mengandung tiga pengertian, yaitu:
Telah dijelaskan bahwa dasar pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakuakan perbuatan pidana adalah norma yang tidak tertulis yakni tidak dipidana jika ada kesalahan. Dasar ini mengenai dipertanggungjawabankannnya seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya (Criminal Responbility/Criminal liability).
Namun sebelum itu, mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidana itu sendiri, mengenai criminal act juga ada dasar yang pokok yaitu asas legalitas yaitu asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Biasanya asas ini dikenal dengan nullum delictum uulla poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu)
Dalam sejarahnya tidak menunjukkan perubahan hukum pidana pada abad ke-18 dulu bahwa keseluruhan masalah hukum pidana harus ditegaskan dengan suatu undang-undang. Ucapan nullum delictum uulla poena sine praevia lege ini berasal dari von feurbach, sarjana hukum pidana jerman (1775-1833). Dialah yang merumuskannya dalam pepatah latin tadi dalam bukunya: lehrbnuch des pein leichen recht.
Biasanya asas-asas ini mengandung tiga pengertian, yaitu:
1.Tidak ada
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih
dahulu belum
dinyatakan dalam suatu aturan-aturan undang-undang.
2.Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi
3.Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Pengertian pertama, bahwa harus aturan-aturan undang-undang jadi aturan hukum tertulis yang terlebih dahulu, itu dengan jelas tampak dalam P. 1 KUHP dimana dalam teks belanda disebutkan wettijke strafbepaling yaitu aturan pidana dalam perundangan. Tetapi dengan adanya kekuatan ini kosekuensinya adalah bahwa perbuatan-perbuatan pidana menurut hukum adat tidak dapat dipidana, sebab disitu tidak ditentukan dengan aturan yang tertulis. Padahal diatas telah diajukan bahwa hukum pidana adat masih belak, walaupun untuk orang-orang tertentu dan sementara saj. P. 14 A. 2 dijelaskan “tidak seorang taupun dituntut untuk dihukum atau dijatuhi humuman kecuali karena aturan hukum yang sudah ada dan berlaku terhadapnya. Karena yang dipakai disini adalah istilah aturan hukum, maka dapat meliputi aturan-aturan yang tertulis maupun tidak tertulis. Bahwa dalam menentukan atau adanya atau tidaknya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi pada umumnya masih dipakai dalam kebanyakan Negara.
Menurut Mulyatno batas antara tafsiran extensief dan analogi dapat ditentukan sebagai berikut:
Dalam tafsiran extensief kita berpegang kepada aturan yang ada. Disitu ada perkataan yang kita beri arti menurut makna yang hidup dalam masyarakat sekarang, tidak menurut maknanya pada waktu undang-undang yang dibentuk. Dalam menggunakan analogi, pangkal pendirian kita ialah: bahwa perbuatan yang menjadi soal itu tidak bisa dimasukkan dalam aturan yang ada. Sesungguhnya jika jika digunakan analogi, yang dibuat untuk menjadikan perbuatan pidana pada satu perbuatan yang tertentu, bukan lagi aturan yang ada, tapi ratio, maksud, inti dari aturan yang ada.
Ada perbedaan yang besar diantara keduanya ini, yaitu yang pertama masih tetap berpegang pada bunyinya aturan, semua kata-katanya masih diturut, hanya ada perkataan yang tidak lagi diberi makna seperti pada waktu penggunaannya: karena itu masih dinamakan interprestasi, dan seperti hlanya dengan cara interprestasi yang lain, selalu diperlukan dalam menggunakan undang-undang. Yang kedua sudah tidak berpegang kepada aturan yan ada lagi, melainkan pada inti, ratio dari padanya. Karena ini bertentangan dengan asas legalitas, sebab asas ini mengharuskan adanya suatu aturan sebagai dasarIntepretasi = Menjalankan undang-undang setelah undang-undang tersebut dijelaskan.Analogi = Menjelaskan suatu perkara dengan tidak menjalankan undang-undang , Interpretasi = Menjalankan kaidah tersebut untuk menyelesaikan perkara yang tidak disinggung oleh kaidah, tetapi yang mengundang kesamaan dengan perkara yang disinggung kaidah tersebut .
Roeslan Saleh mengatakan bahwa asas legalitas mempunyai 3 dimensi, ialah dapat disebutkan sebagai berikut:
2.Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi
3.Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Pengertian pertama, bahwa harus aturan-aturan undang-undang jadi aturan hukum tertulis yang terlebih dahulu, itu dengan jelas tampak dalam P. 1 KUHP dimana dalam teks belanda disebutkan wettijke strafbepaling yaitu aturan pidana dalam perundangan. Tetapi dengan adanya kekuatan ini kosekuensinya adalah bahwa perbuatan-perbuatan pidana menurut hukum adat tidak dapat dipidana, sebab disitu tidak ditentukan dengan aturan yang tertulis. Padahal diatas telah diajukan bahwa hukum pidana adat masih belak, walaupun untuk orang-orang tertentu dan sementara saj. P. 14 A. 2 dijelaskan “tidak seorang taupun dituntut untuk dihukum atau dijatuhi humuman kecuali karena aturan hukum yang sudah ada dan berlaku terhadapnya. Karena yang dipakai disini adalah istilah aturan hukum, maka dapat meliputi aturan-aturan yang tertulis maupun tidak tertulis. Bahwa dalam menentukan atau adanya atau tidaknya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi pada umumnya masih dipakai dalam kebanyakan Negara.
Menurut Mulyatno batas antara tafsiran extensief dan analogi dapat ditentukan sebagai berikut:
Dalam tafsiran extensief kita berpegang kepada aturan yang ada. Disitu ada perkataan yang kita beri arti menurut makna yang hidup dalam masyarakat sekarang, tidak menurut maknanya pada waktu undang-undang yang dibentuk. Dalam menggunakan analogi, pangkal pendirian kita ialah: bahwa perbuatan yang menjadi soal itu tidak bisa dimasukkan dalam aturan yang ada. Sesungguhnya jika jika digunakan analogi, yang dibuat untuk menjadikan perbuatan pidana pada satu perbuatan yang tertentu, bukan lagi aturan yang ada, tapi ratio, maksud, inti dari aturan yang ada.
Ada perbedaan yang besar diantara keduanya ini, yaitu yang pertama masih tetap berpegang pada bunyinya aturan, semua kata-katanya masih diturut, hanya ada perkataan yang tidak lagi diberi makna seperti pada waktu penggunaannya: karena itu masih dinamakan interprestasi, dan seperti hlanya dengan cara interprestasi yang lain, selalu diperlukan dalam menggunakan undang-undang. Yang kedua sudah tidak berpegang kepada aturan yan ada lagi, melainkan pada inti, ratio dari padanya. Karena ini bertentangan dengan asas legalitas, sebab asas ini mengharuskan adanya suatu aturan sebagai dasarIntepretasi = Menjalankan undang-undang setelah undang-undang tersebut dijelaskan.Analogi = Menjelaskan suatu perkara dengan tidak menjalankan undang-undang , Interpretasi = Menjalankan kaidah tersebut untuk menyelesaikan perkara yang tidak disinggung oleh kaidah, tetapi yang mengundang kesamaan dengan perkara yang disinggung kaidah tersebut .
Roeslan Saleh mengatakan bahwa asas legalitas mempunyai 3 dimensi, ialah dapat disebutkan sebagai berikut:
1. Dimensi Politik Hukum
Arti politik hukum dari syarat ini adalah perlindungan terhadap anggota masyarakat dari tindakan sewenang-wenang pihak pemerintah.
Arti politik hukum dari syarat ini adalah perlindungan terhadap anggota masyarakat dari tindakan sewenang-wenang pihak pemerintah.
2.Dimensi Politik
Walaupun feurbach disebut sebagai peletak dasar dari teori paksaan psyichologis, yang berpendapat bahwa kriminalitas harus dicegah dengan jalan suatu paksaan psikologis yang ditimbulkan oleh rumusan-rumusan delik dalam undang-undang dan ancaman-ancaman yang dilekatkan dalam undang-undang.
Walaupun feurbach disebut sebagai peletak dasar dari teori paksaan psyichologis, yang berpendapat bahwa kriminalitas harus dicegah dengan jalan suatu paksaan psikologis yang ditimbulkan oleh rumusan-rumusan delik dalam undang-undang dan ancaman-ancaman yang dilekatkan dalam undang-undang.
3.DimensiOrganisasi.
C.F. letrosne Pernah mengatakan: undang-undang pidana kita bertebaran dimana-mana. Kita bahkan tidak tau dimana kita harus menemukannya. Tetapi bagaimana kita menemukannya. Tetapi bagaimana kita mengetahui dan menerapkannya, jika kita bahkan tidak tau dimana menemukannnya? Ucapan letrosne ini menunjukkan segi pragmatis dari asas legalitas, letrosne berpendapat, bahwa tidak jelasnya perundang-undangan pidana: rumusan yang samar dan tidak ada batasan yang tegas dari amsing-masing wewenang dalam acara pidana mengakibatkan banyak sekali kehajatan yang tidak dipidana
Asas legalitas dikaitkan dengan peradilan pidana mengharapkan lebih banyak lagi dari pada hanya akan melindungi warga masyarakat dari kesewenag-wenangan pemerintah.
C.F. letrosne Pernah mengatakan: undang-undang pidana kita bertebaran dimana-mana. Kita bahkan tidak tau dimana kita harus menemukannya. Tetapi bagaimana kita menemukannya. Tetapi bagaimana kita mengetahui dan menerapkannya, jika kita bahkan tidak tau dimana menemukannnya? Ucapan letrosne ini menunjukkan segi pragmatis dari asas legalitas, letrosne berpendapat, bahwa tidak jelasnya perundang-undangan pidana: rumusan yang samar dan tidak ada batasan yang tegas dari amsing-masing wewenang dalam acara pidana mengakibatkan banyak sekali kehajatan yang tidak dipidana
Asas legalitas dikaitkan dengan peradilan pidana mengharapkan lebih banyak lagi dari pada hanya akan melindungi warga masyarakat dari kesewenag-wenangan pemerintah.
Asas legalitas itu diharapkan memainkan peranan yang
lebih positif. Dia ditangani suatu sistem hukum pidana yang sudah tidak dapat
dipakai lagi. Peradilanlah yang terutama sekali dirasakan kegawatannya sebagai
aspek dari asas legalitas itu.
Menurut asas legalitas yang sekarang yang berlaku, bahwa untuk menjatuhkan pidana/sanksi kepada seorang, disyaratkan bahwa perbuatannya atau peristiwa yang diwujudkannya harus terlebih dahulu dilarang atau diperintahkan oleh peraturan hukum pidana tertulis dan terhadapnya telah ditetapkan oleh peraturan pidana atau sanksi hukum. Dengan kata lain harus ada peraturan huku pidana (strafrechtsnorm) dan peraturan pidana (strafnorm) lebih dahulu daripada perbuatan/peristiwa, sekalipun perbuatan sangat tercela, tapi kalau tak ada peraturan hukumnya, maka orang yang melakukan/mewujudkannya tak boleh jatuhi pidanan. Jadi sifat melawan hukum yang materieel harus dilengkapi dengan sifat melawan hukum yang formil.
Menurut asas legalitas yang sekarang yang berlaku, bahwa untuk menjatuhkan pidana/sanksi kepada seorang, disyaratkan bahwa perbuatannya atau peristiwa yang diwujudkannya harus terlebih dahulu dilarang atau diperintahkan oleh peraturan hukum pidana tertulis dan terhadapnya telah ditetapkan oleh peraturan pidana atau sanksi hukum. Dengan kata lain harus ada peraturan huku pidana (strafrechtsnorm) dan peraturan pidana (strafnorm) lebih dahulu daripada perbuatan/peristiwa, sekalipun perbuatan sangat tercela, tapi kalau tak ada peraturan hukumnya, maka orang yang melakukan/mewujudkannya tak boleh jatuhi pidanan. Jadi sifat melawan hukum yang materieel harus dilengkapi dengan sifat melawan hukum yang formil.
C.Dasar Asas Legalitas.
Asas legalitas tercantum didalam P.1. A.1 KUHP yang berbunyi: Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakuakan .
Asas legalitas tercantum didalam P.1. A.1 KUHP yang berbunyi: Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakuakan .
Yang
dimaksud dengan asas legalitas yaitu tak ada pelanggaran dan tak ada hukuman
sebelum adanya undang-undang yang mengaturnya, asas legalitas pada hukum pidana
Islam ada tiga cara dalm menerapkannya, yaitu:
1. Pada hukuman-hukuman yang sangat gawat dan sangat mempengaruhi keamanan dan dan ketentraman masyarakat asas legalitas dilaksanakan dengan teliti sekali sehingga tiap-tiap hukuman dicantumkan hukumannya satu persatu.
2. Pada hukuman-hukuman yang tidak begitu berbahaya, syara’ memberikan memberikan kelonggaran dalam penerapan asas legalitas dari segi hukuman,. Syara’ hanya menyediakan sejummlah hukuman untuk dipilih oleh hakim, yaitu dengan hukuman yang sesui bagi peristiwa pidana yang dihadapinya.
1. Pada hukuman-hukuman yang sangat gawat dan sangat mempengaruhi keamanan dan dan ketentraman masyarakat asas legalitas dilaksanakan dengan teliti sekali sehingga tiap-tiap hukuman dicantumkan hukumannya satu persatu.
2. Pada hukuman-hukuman yang tidak begitu berbahaya, syara’ memberikan memberikan kelonggaran dalam penerapan asas legalitas dari segi hukuman,. Syara’ hanya menyediakan sejummlah hukuman untuk dipilih oleh hakim, yaitu dengan hukuman yang sesui bagi peristiwa pidana yang dihadapinya.
D. Pengertian Asas Kesalahan
Kesalahan dalam
arti yang seluas-luasnya, dapat disamakan dengan pengertian pertanggungjawaban
dalam hukum pidana; didalamnya terkandung makna dapat dicelanya (verwijtbaarheid)
si pembuat atas perbuatannya. Jadi, orang bersalah melakukan sesuatu tindak pidana
berarti bahwa dapat dicela atas perbuatannya. Kesalahan dalam arti yang luas,
meliputi:
- Kesengajaan.
- Kelalaian/
kealpaan (culpa).
- Dapat
dipertanggungjawabkan.
Sedangkan kesalahan dalam arti
sempit ialah kealpaan (culpa). Adapun pengertian kesalahan menurut para
ahli, antara lain:
- Menurut
Simons, kesalahan itu dapat dikatakan sebagai pengertian yang “social
ethisch”, yaitu:
“Sebagai dasar untuk pertanggungan
jawab dalam hukum pidana ia berupa keadaan jiwa dari si pelaku dan hubungannya
terhadap perbuatannya,” dan dalam arti bahwa berdasarkan keadaan jiwa itu
perbuatannya dapat dicelakakan kepada si pelaku”.
- Menurut
Mezger, kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk
adanya pencelaan pribadi terhadap si pelaku tindak pidana (Schuldist
der Erbegriiffder Vcrraussetzungen, die aus der Strafcat einen
personlichen Verwurf gegen den Tater begrunden).
- Menurut
Van Hamel, kesalahan dalam suatu delik merupakan pengertian psikologis,
perhubungan antara keadaan jiwa si pelaku dan terwujudnya unsur-unsur
delik karena perbuatannya. Kesalahan
adalah pertanggunganjawaban dalam hukum (Schuld is de verant woordelijkheid
rechtens)”.
Dari
pengertian-pengertian kesalahan dari beberapa ahli di atas maka pengertian
kesalahan dapat dibagi dalam pengertian sebagai berikut:
1). Kesalahan Psikologis
Dalam arti ini kesalahan hanya
dipandang sebagai hubungan psikologis (batin) antara pembuat dan perbuatannya.
Hubungan batin tersebut bisa berupa; (a) kesengajaan dan pada (b) kealpaan.
Jadi dalam hal ini yang digambarkan adalah keadaan batin si pembuat, sedang
yang menjadi ukurannya adalah sikap batin yang berupa kehendak terhadap
perbuatan atau akibat perbuatan.
2). Kesalahan Normatif
Pandangan yang normatif tentang
kesalahan ini menentukan kesalahan seseorang tidak hanya berdasar sikap batin
atau hubungan batin antara pembuat dengan perbuatannya, tetapi juga ada unsur
penilaian atau unsur normatif terhadap perbuatannya. Penilaian normatif artinya
penilaian (dari luar) mengenai hubungan antara si pelaku dengan perbuatannya.
Saat menyelidiki batin orang yang melakukan perbuatan, bukan bagaimana
sesungguhnya keadaan batin orang itu yang menjadi ukuran, tetapi bagaimana
penyelidik menilai keadaan batinnya, dengan menilik fakta-fakta yang ada.
Di dalam pengertian ini sikap batin
si pelaku ialah, yang berupa kesengajaan dan kealpaan tetap diperhatikan, akan
tetapi hanya merupakan unsur dari kesalahan atau unsur dari pertanggungjawaban
pidana. Di samping itu ada unsur lain ialah penilaian mengenai keadaan jiwa si
pelaku, ialah kemampuan bertanggungjawab dan tidak adanya alasan penghapus
kesalahan.
E. Unsur-Unsur Kesalahan
Kesalahan dalam arti seluas-luasnya
memuat unsur-unsur, antara lain:
- Adanya
kemampuan bertanggungjawab pada si pelaku (schuldfahigkeit atau
zurechnungsfahigkeit).
- Hubungan
batin antara si pelaku dengan perbuatannya, yang berupa kesengajaan (dolus)
atau kealpaan (culpa), ini disebut bentuk-bentuk kesalahan.
- Tidak
adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf dan
alasan pembenar.
Jika ketiga unsur tersebut terpenuhi
maka orang atau pelaku yang bersangkutan bisa dinyatakan bersalah atau
mempunyai pertanggungan jawab pidana, sehingga bisa dipidana. Oleh karena itu
harus diingat bahwa untuk adanya kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya
(pertanggungan jawab pidana) orang yang bersangkutan harus pula dibuktikan
terlebih dahulu bahwa perbuatannya bersifat melawan hukum. Kalau ini tidak
terpenuhi, artinya jika perbuatannya tersebut tidak melawan hukum maka tidak
ada perlunya untuk menerapkan kesalahan kepada si pelaku. Sebaliknya seseorang
yang melakukan perbuatan yang melawan hukum tidak dengan sendirinya mempunyai
kesalahan, artinya tidak dengan sendirinya dapat dicela atas perbuatan itu.
Maka dari itu, kita harus senantiasa
menyadari akan adanya 2 (dua) keadaan (yang saling berpasangan dan terkait)
dalam syarat-syarat pemidanaan ialah adanya:
- Dapat dipidananya perbuatan, atau memenuhi sifat melawan hukum (strafbaarheid
van het feit).
- Dapat dipidananya pelaku atau terpenuhinya unsur kesalahan (strafbaarheid
van de persoon).
F. Perkembangan Asas Kesalahan Common Law
Asas hukum
praduga tak bersalah, sejak abad ke-11 dikenal di dalam sistem hukum Common
Law, khususnya di Inggris, dalam Bill of Rights (1648). Asas hukum ini
dilatarbelakangi oleh pemikiran individualistik –liberalistik yang berkembang
sejak pertengahan abad ke 19 sampai saat ini.
Di dalam
sistem peradilan pidana (criminal justice system/cjs)[1] berdasarkan sistem hukum Common Law (sistem adversarial/ sistem kontest),
asas hukum ini merupakan prasyarat utama untuk menetapkan bahwa suatu proses
telah berlangsung jujur, adil, dan tidak memihak (due process of law).
Asas
praduga tak bersalah merupakan bagian yg tidak terpisahkan dari prinsip due
processof law. Friedman(1994) menegaskan, prinsip ”due process” yang telah
melembaga dalam proses peradilan sejak dua ratus tahun yang lampau,[2] kini telah melembaga di dalam seluruh bidang kehidupan sosial. Di sektor
kesehatan dan ketenagakerjaan, jika distribusi hak rakyat atau buruh tidak
dilakukan sesuai dengan kewajibannya maka akan disebut sebagai melanggar
prinsip ”due process of law”.
Bahkan,
prinsip tersebut telah menjadi bagian dari ”budaya (masyarakat) Amerika”, yang
telah mengalami perubahan cepat sesuai dengan perubahan masyarakatnya dan
perkembangan internasional yang terjadi sejak pertengahan abad 19 sampai saat
ini. Konsekuensi logis dari asas praduga tak bersalah ini maka kepada tersangka
atau terdakwa diberikan hak oleh hukum untuk tidak memberikan keterangan yang
akan memberatkan/merugikan dirinya di muka persidangan (the right of
non-self incrimination), dan untuk tidak memberikan jawaban baik dalam
proses penyidikan maupun dalam proses persidangan (the right to remain
silent).
Di dalam
hukum acara pidana Belanda (1996), kepada tersangka/terdakwa hak seperti itu
dijamin dan dilindungi sedemikian rupa sehingga jika penyidik memaksa
keterangan dari tersangka/terdakwa, maka tersangka/terdakwa diberikan hak untuk
mengajukan ”review” kepada ”examining judges” untuk memeriksa kebenaran
”review” dari tersangka/terdakwa.[3] Kita apresiasi tim perancang RUU KUHAP (2007), di bawah pimpinan Prof.Andi
Hamzah telah memasukan ketentuan mengenai ”hakim komisaris” atau semacam
”examining judges” di dalam sistem hukum acara pidana Belanda, yang bertugas
mengawasi dan memeriksa penyalahgunaan wewenang (abuse of power)
penyidik dalam menjalankan tugasnya. Begitu pula, dimasukkan ketentuan di mana
penuntut umum memiliki wewenang koordinatif dan supervisi terhadap proses
penyidikan oleh penyidik kepolisian. Akan tetapi, di dalam sistem hukum acara
pidana Belanda, juga pihak penuntut umum, wajib meminta pertimbangan ”examining
judges” untuk memeriksa apakah kasus pidana tertentu yang bersifat berat, sudah
memenuhi persyaratan bukti yang kuat untuk diajukan ke muka persidangan.[4] Bertolak dari KUHAP Belanda tersebut, jelas bahwa, sistem peradilan pidana
yang berlaku telah mengadopsi sistem organisasi piramidal dengan sistem
pengawasan berlapis. Hal tersebut dimungkinkan karena di dalam sistem hukum
acara pidana Belanda, penuntut umum berada di dalam satu sistem organisasi
kementrian kehakiman, dan kepolisian berada di bawah pengawasan penuntut umum.
Sistem hukum Acara Pidana Perancis (2000), kurang lebih sama dengan sistem
hukum acara pidana di Belanda.
Menilik
perkembangan ketiga sistem hukum acara pidana sebagaimana diuraikan di atas,
tampak persamaan yang mencolok, yaitu lebih mengutamakan perlindungan atas hak
individu, bukan hak kolektif(masyarakat), sekalipun anggota masyarakat atau
masyarakat sebagai suatu kolektivitas, telah dirugikan oleh perbuatan
tersangka.
G. Tanggung Jawab
Mutlak (Strict Liability) Menjawab Berbagai Persoalan
Pengelolaan SDA.
Prinsip
tanggung jawab mutlak (strict liability) perusahaan dalam kerusakan lingkungan
di Indonesia belum pernah terlaksana. Padahal konsep ini sangat baik untuk
menjaga keberlangsungan hidup masyarakat yang menjadi korban. Demikian kabar
dari media online www.hukumonline.com beberapa waktu yang lalu.
Prinsip
tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability) merupakan gagasan yang
disampaikan dalam UU No. 23 tahun 1997 Tentang Lingkungan Hidup kemudian
dipertegas di UU No. 32 Tahun 2009. Pasal 88 “Setiap orang yang tindakannya,
usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola
limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup
bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian
unsur kesalahan”. Didalam Penjelasan Pasal 88 “Yang dimaksud dengan
“bertanggung jawab mutlak” atau strict liability adalah unsur kesalahan tidak
perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi.
Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar
hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap
pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan
sampai batas tertentu. Yang dimaksud dengan “sampai batas waktu tertentu”
adalah jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan ditentukan keharusan
asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia
dana lingkungan hidup.
Sebagai
konsep yang berakar dari sistem hukum Anglo saxon, pembuktian ini lebih mudah
dan cenderung praktis dibandingkan dengan sistem hukum Eropa Kontinental yang
dianut oleh Indonesia.
Dalam
lapangan hukum pidana, Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability),
prinsip ini menegasikan pembuktian kesalahan berdasarkan sistem hukum Eropa
Kontinental.
Pemidanaan
haruslah dapat dilihat dari dipertanggungjawabkan perbuatan seseorang. Dengan
demikian pertanggungjawaban pidana selalu selalu tertuju pada pembuat tindak
pidana tersebut. Pertanggungjawaban pidana ditujukan kepada pembuat (dader).
Maka apabila orang yang melakukan tindak pidana maka pertanggungjawaban
haruslah dikenakan kepada para pelaku. Pertanggungjawaban pidana hanya dapat
terjadi jika sebelumnya subyek hukum pidana tersebut melakukan tindak pidana.
(terjemahan bebas, DARI TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN MENUJU KEPADA TIADA
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TANPA KESALAHAN, Chairul Huda, 2006)
Sedangkan
didalam sistem hukum Common law system, berlaku asas “actus non est reus, nisi
mens sit rea”. Suatu perbuatan tidak dapat dikatakan bersifat kriminal jika
“tidak terdapat kehendak jahat” didalamnya. Bahkan Kadish dan Paulsen
menafsirkan, “suatu kelakuan tidak dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan
tanpa maksud kehendak jahat”. Dengan demikian, dalam sistem common law system,
bahwa untuk dapat dipertanggungjawabkan seseorang karena melakukan tindak
pidana, sangat ditentukan oleh adanya mens rea pada diri seseorang tersebut.
Dengan demikian, mens rea yang hal ini dapat kita lihat dari rujukan sistem
hukum Civil law, atau dengan kata lain dapat kita sinkronkan dengan ajaran
“guilty of mind”, merupakan hal yang menentukan pertanggungjawban pembuat
tindak pidana. Dari dari sisi ini, penggunaan mens rea dalam common law sistem,
pada prinsipnya sejalan dengan penerapan asas “tiada pidana tanpa kesalahan”
dalam civil law sistem.
Dari
paparan yang telah disampaikan tersebut, maka secara prinsip penggunaan doktrin
“mens rea” dalam sistem hukum common law sejalan dengan asas “geen straf zonder
schul beginsel” dalam sistem hukum civil law.
Maka
untuk menentukan kesalahan dengna menggunakan “tiada pidana tanpa kesalahan
yaitu “Geen straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea”, (aqua
means rea atau “kehendak jahat”).
Prinsip
ini kemudian dinegasikan Prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict
liability). Pembuktian tidak semata-mata dilihat apakah pelaku (dader)
melakukan tindak pidana yang dituduhkan melakukan kesalahan atau tidak, tapi
beban pembuktian langsung mutlak dibebankan terhadap pelaku (dader) terhadap
kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengna sumber daya alam (baca termasuk
kejahatan lingkungan hidup). Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability)
dibebankan kepada perusahaan lingkungan hidup yang nyata-nyata melakukan
kesalahan/kelalaian dalam pengelolaan lingkungan hidup. Dengan demikian, maka
pembuktian menjadi sederhana dan mudah diterapkan. Pembuktian ini praktis
sehingga tidak perlu memenuhi unsur yang dituduhkan kepada pelaku (dader).
Berangkat
dari prinsip ini, praktis kejahatan yang berkaitan dengan lingkungan hidup
lebih banyak dibebankan kepada perusahaan. Kasus Lapindo sebagai contoh
merupakan sebuah peristiwa yang menarik. Berlarut-larutnya pemeriksaan kasus
Lapindo dan tarik menarik antara Kepolisian dan Kejaksaan dan belum juga
dinyatakan lengkap (P21), berangkat dari pemahaman penegak hukum yang tidak
menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability). Sikap
ngototnya penegak hukum untuk melihat keterlibatan pelaku (dader) kemudian
terjebak dengan hak-hal yang bersifat teknis yang sulit pembuktiannya. Padahal
dengan menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability), maka
tidak perlu dibuktikan, apakah para pelaku (dader) melakukan perbuatan itu atau
tidak, tapi penegak hukum bisa membuktikan, bahwa karena kesalahan atau
kelalaian dari Lapindo, menyebabkan bencana. Dengan pembuktian yang sederhana
ini, maka kasus Lapindo bisa disidangkan dimuka hukum. Dan perusahaan yang
bertanggung jawab dalam bencana Lapindo dapat dipersalahkan dan
pertanggungjawaban pidana.
Prinsip
tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability) inilah salah satu solusi untuk
menyelesaikan berbagai kejahatan baik kesengajaan ataupun kelalaian dari
perusahaan lingkungan hidup. Prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict
liability) merupakan prinsip yang sederhana dan pembuktian yang mudah
menyebabkan berbagai kejahatan di berbagai dunia dapat diselesaikan. Dan
Indonesia sudah mengadopsinya di berbagai ketentuan di luar KUHP (seperti UU
Kehutanan, UU Perkebunan dan UU Pengelolaan Lingkungan Hidup). Maka pernyataan
dari berbagai kalangan harus mendapatkan respon, agar implementasi UU ini sudah
selayaknya diterapkan sebagai salah satu solusi mengatasi berbagai kejahatan
lingkungan hidup
H.Perbedaan Civil Law dan Common Law.
Dalam
literatur hukum, ada empat sistem hukum dunia yg paling dominan:
1.Civil law, disebut juga sistem hukum Eropa-Kontinental, banyak diterapkan di negara2
1.Civil law, disebut juga sistem hukum Eropa-Kontinental, banyak diterapkan di negara2
Eropa daratan dan bekas jajahannya (seperti Indonesia yang menerapkan
civil law yang
dibawa Belanda)
2. Common law, disebut juga case law atau sistem hukum Anglo-Sakson, diterapkan di
2. Common law, disebut juga case law atau sistem hukum Anglo-Sakson, diterapkan di
Inggris dan negara-negara bekas jajahannya
3. Islamic law (hukum Islam)
4. Socialist law (hukum sosialis)
Kedua istilah 'civil law' dan 'common law' dalam literatur hukum Indonesia tidak diterjemahkan karena memang sulit mencari padanan langsungnya.
Namun demikian, menurut definisinya:
common law = hukum yg dibuat berdasarkan adat/tradisi yg berlaku dalam masyarakat dan keputusan hakim. Pada mulanya, sistem hukum ini tidak tertulis.Civil law = hukum yang dibuat berdasarkan kodifikasi hukum yang dilakukan lembaga legislatif. Berbeda dengan common law, civil law sejak awal pembuatannya sudah merupakan sistem hukum tertulis.
3. Islamic law (hukum Islam)
4. Socialist law (hukum sosialis)
Kedua istilah 'civil law' dan 'common law' dalam literatur hukum Indonesia tidak diterjemahkan karena memang sulit mencari padanan langsungnya.
Namun demikian, menurut definisinya:
common law = hukum yg dibuat berdasarkan adat/tradisi yg berlaku dalam masyarakat dan keputusan hakim. Pada mulanya, sistem hukum ini tidak tertulis.Civil law = hukum yang dibuat berdasarkan kodifikasi hukum yang dilakukan lembaga legislatif. Berbeda dengan common law, civil law sejak awal pembuatannya sudah merupakan sistem hukum tertulis.
Karena ciri khas dan kompleksitasnya
istilah 'common law' dipertahankan dan tidak diterjemahkan.Kalau diterjemahkan
'hukum adat' bisa rancu dg 'hukum adat' (adat/customary law) yang diakui
keberadaannya di Indonesia.Kalau diterjemahkan 'hukum tak tertulis', tidak sesuai
lagi dengan kenyataan sekarang bahwa 'common law' sudah menjadi hukum
tertulis.Kalau diterjemahkan 'hukum kasus' (case law), makna asalnya jadi
berkurang karena sebenarnya istilah 'case law' tsb hanyalah sebutan lain dari
'common law' dan tentu saja kurang populer daripada 'common law'.
Semua pertimbangan tersebut dan juga fakta bahwa literatur hukum Indonesia
tetap mempertahankan istilah 'common law' tanpa diterjemahkan, saya mengusulkan
istilah tsb tidak perlu diterjemahkan karena berpotensi mengurangi dan
mengaburkan makna yg dimaksud.
Berikut ini adalah perbedaan common
law dan civil law:
COMMON LAW/ANGLO SAXON
|
CIVIL
LAW/EROPA KONT
|
|
SISTEM PERATURAN
|
|
|
SISTEM PERADILAN
|
|
|
I. Perkembangan Asas Praduga Tak Bersalah
Asas hukum
praduga tak bersalah, sejak abad ke-11 dikenal di dalam sistem hukum Common
Law, khususnya di Inggris, dalam Bill of Rights (1648). Asas hukum ini
dilatarbelakangi oleh pemikiran individualistik –liberalistik yang berkembang
sejak pertengahan abad ke 19 sampai saat ini.
Di dalam
sistem peradilan pidana (criminal justice system/cjs, berdasarkan sistem hukum Common Law (sistem adversarial/
sistem kontest), asas hukum ini merupakan prasyarat utama untuk menetapkan
bahwa suatu proses telah berlangsung jujur, adil, dan tidak memihak (due
process of law).
Asas
praduga tak bersalah merupakan bagian yg tidak terpisahkan dari prinsip due
processof law. Friedman(1994) menegaskan, prinsip ”due process” yang telah
melembaga dalam proses peradilan sejak dua ratus tahun yang lampau,[2]
kini telah melembaga di dalam seluruh bidang kehidupan sosial. Di sektor
kesehatan dan ketenagakerjaan, jika distribusi hak rakyat atau buruh tidak
dilakukan sesuai dengan kewajibannya maka akan disebut sebagai melanggar
prinsip ”due process of law”.
Bahkan,
prinsip tersebut telah menjadi bagian dari ”budaya (masyarakat) Amerika”, yang
telah mengalami perubahan cepat sesuai dengan perubahan masyarakatnya dan
perkembangan internasional yang terjadi sejak pertengahan abad 19 sampai saat
ini. Konsekuensi logis dari asas praduga tak bersalah ini maka kepada tersangka
atau terdakwa diberikan hak oleh hukum untuk tidak memberikan keterangan yang
akan memberatkan/merugikan dirinya di muka persidangan (the right of
non-self incrimination), dan untuk tidak memberikan jawaban baik dalam
proses penyidikan maupun dalam proses persidangan (the right to remain
silent).
Di dalam hukum
acara pidana Belanda (1996), kepada tersangka/terdakwa hak seperti itu dijamin
dan dilindungi sedemikian rupa sehingga jika penyidik memaksa keterangan dari
tersangka/terdakwa, maka tersangka/terdakwa diberikan hak untuk mengajukan
”review” kepada ”examining judges” untuk memeriksa kebenaran ”review” dari
tersangka/terdakwa.[3]
Kita apresiasi tim perancang RUU KUHAP (2007), di bawah pimpinan Prof.Andi
Hamzah telah memasukan ketentuan mengenai ”hakim komisaris” atau semacam
”examining judges” di dalam sistem hukum acara pidana Belanda, yang bertugas
mengawasi dan memeriksa penyalahgunaan wewenang (abuse of power)
penyidik dalam menjalankan tugasnya. Begitu pula, dimasukkan ketentuan di mana
penuntut umum memiliki wewenang koordinatif dan supervisi terhadap proses
penyidikan oleh penyidik kepolisian. Akan tetapi, di dalam sistem hukum acara
pidana Belanda, juga pihak penuntut umum, wajib meminta pertimbangan ”examining
judges” untuk memeriksa apakah kasus pidana tertentu yang bersifat berat, sudah
memenuhi persyaratan bukti yang kuat untuk diajukan ke muka persidangan.[4]
Bertolak dari KUHAP Belanda tersebut, jelas bahwa, sistem peradilan pidana yang
berlaku telah mengadopsi sistem organisasi piramidal dengan sistem pengawasan
berlapis. Hal tersebut dimungkinkan karena di dalam sistem hukum acara pidana
Belanda, penuntut umum berada di dalam satu sistem organisasi kementrian
kehakiman, dan kepolisian berada di bawah pengawasan penuntut umum. Sistem
hukum Acara Pidana Perancis (2000), kurang lebih sama dengan sistem hukum acara
pidana di Belanda.
Menilik
perkembangan ketiga sistem hukum acara pidana sebagaimana diuraikan di atas,
tampak persamaan yang mencolok, yaitu lebih mengutamakan perlindungan atas hak
individu, bukan hak kolektif(masyarakat), sekalipun anggota masyarakat atau
masyarakat sebagai suatu kolektivitas, telah dirugikan oleh perbuatan
tersangka.
BAB
III
PENUTUP
PENUTUP
Kesimpulan
Sebagai salah satu yang ingin dicapai dalam asas legalitas adalah memperkuat kepastian hukum, menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa, mengefektifkan fungsi penjeraan dalam sanksi pidana, mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Asas ini memang sangat efektif dalam melindungi rakyat dari perlakuan sewenang-wenang kekuasaan, tapi dirasa kurang efektif bagi penegak hukum dalam merespons pesatnya perkembangan kejahatan. Dan, ini dianggap sebagian ahli sebagai kelemahan mendasar
Saran
Besar harapan penulis agar apa yang dibahas dalam makalah yang sangat sederhana ini dapat membuka wawasan atau cakrawala berfikir para pembaca agar dapat memberikan penjelasan yang lebih akurat tentang betapa pentingnya asas legalitas bagi masyarakat, dan penulis juga berharap agar asas legalitas bebenar-benar diaplikasikan.
Kami menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan yang harus diperbaiki, maka dari itu diharapkan kritik dan saran demi perkembangan penulisan makalah selanjutnya.
Sebagai salah satu yang ingin dicapai dalam asas legalitas adalah memperkuat kepastian hukum, menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa, mengefektifkan fungsi penjeraan dalam sanksi pidana, mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Asas ini memang sangat efektif dalam melindungi rakyat dari perlakuan sewenang-wenang kekuasaan, tapi dirasa kurang efektif bagi penegak hukum dalam merespons pesatnya perkembangan kejahatan. Dan, ini dianggap sebagian ahli sebagai kelemahan mendasar
Saran
Besar harapan penulis agar apa yang dibahas dalam makalah yang sangat sederhana ini dapat membuka wawasan atau cakrawala berfikir para pembaca agar dapat memberikan penjelasan yang lebih akurat tentang betapa pentingnya asas legalitas bagi masyarakat, dan penulis juga berharap agar asas legalitas bebenar-benar diaplikasikan.
Kami menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan yang harus diperbaiki, maka dari itu diharapkan kritik dan saran demi perkembangan penulisan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
1.Atmasasmita, Romli, LLM, SH. Asas-AsasPerbandinganHukumPidana,
Yayasan
LBH Indonesia.Jakarta, 1989.
2. Konsep Sistem Peradilan Pidana atau “
Criminal Justice System”, yang terkenal dari Packer(1968), yaitu, model “Crime
Control”, dan “Due Process” yang merupakan model antinomy normative.
Selain itu, diakui, model rehabilitatif (Rehabilitative model), dari
Griffith(1970); model birokratik (bureaucratic model) dari Reine (1993), dan
model resotratif (restorative justice) dari Wright(1996),Fenwick(1997) [dikutip
dari Clive Walker dan Keir Steimer, “Miscarriage of Justice; Blackstone Press
Ltd, 1999;p.40].
3. Lawrence M.Friedman, “Total Justice”;
Russel-Sage Foundation; 1994: p.80-81
4. P.J.P.Tak, “The Dutch Criminal
Justice System”;Boom Juridische Uitgever; 2003;
5 Catherine Elliot, “The French
Criminal Law.; 2001;p.11-12
6 John Braithwaite,di dalam karyanya,
”Crime, Shame and Reintegration” (1989) menyebutkan antara lain:
“stigmatization is disintegrative shaming in which no effort is made to
reconcile the offender with the community. The offender is outcast, her
deviance is allowed to become a master status, degradation ceremonies are not
followed by ceremonies to decertify deviance”(page 101).
7. Perhatikan dan
baca, Dekalarasi Universal Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi
Manusia(1948); bandingkan dengan
9. J.Remmelink, “Hukum Pidana”:Komentar atas Pasal-Pasal
Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonsia”; Gramedia,
2003:dan Sudarto, “Hukum dan Hukum Pidana; 1963.
10. Robert Cooter & Thomas Ulen, ”An
Introduction of Law and Economics; Third Edition, Addison-Wesley;
2000; page 431
11. Konsep
Keadilan Aristoteles, yang menerangkan kesetaraan absolut, antara
“damage” dan “compensation”, yang disebut olehnya sebagai “Commutative
Justice”; dan kesetaraan relatif antara ”reward and punishment”, sebagai
”Distributive Justice”.(Dikutip dari, The Legal Philosophies of Lask,
Radbruch,and Dabin”; Harvard University Press; 1950;
12. The Dutch
Penal Code, translated by Louise Rayar & Stafford Wadsworth; Rothman &
Co, Coloradi,.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar