Asas
Legalitas Dalam Hukum Pidana
Pasal 1 ayat
(1) KUHP: “Tiada suatu perbuatan dapat di pidana, kecuali atas kekuatan aturan
pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”
Dalam hukum
pidana, dikenal asas legalitas, yakni asas yang menentukan bahwa tidak ada
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan
terlebih dahulu dalam undang-undang. Dalam bahasa latin, dikenal sebagai Nullum
delictum nulla poena sine praevia lege poenalli yang artinya lebih
kurangnya adalah tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih
dahulu. Asas ini di masa kini lebih sering diselaraskan
dengan asas non retroaktif, atau asas bahwa peraturan perundang-undangan tidak
boleh berlaku surut. Secara mudah, asas ini menyatakan bahwa tidak dipidana
kalau belum ada aturannya.
Syarat
pertama untuk menindak terhadap suatu perbuatan yang tercela, yaitu adanya
suatu ketentuan dalam undang-undang pidana yang merumuskan perbuatan tercela
itu dan memberikan suatu sanksi terhadapnya. Kalau, misalnya seseorang suami
yang menganiaya atau mengancam akan menganiaya istrinya untuk memaksa
bersetubuh tidak dapat dipidana menurut KUHP yang berlaku. Sebab Pasal 285 KUHP
(Pasal 242 Wetboek van Strafrecht/Sr) hanya mengancam perkosaan “di luar
pernikahan”. Syarat tersebut di atas bersumber dari asas legalitas.
1. Sejarah Asas Legalitas
Ucapan nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenalli ini
berasal dari Anselm von Feuerbach, sarjana hukum pidana Jerman (1775-1833).
Dialah yang merumuskannya dalam pepatah latin tadi dalam bukunya: “Lehrbuch
des peinlichen Recht” (1801). Dalam kaitannya dengan fungsi asas
legalitas yang bersifat memberikan perlindungan kepada undang undang pidana,
dan fungsi instrumental, istilah tersebut dibagi menjadi tiga yaitu:
·
Nulla poena sine lege: tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut
undang-undang;
·
Nulla poena sine crimine: tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana;
· Nullum crimen sine poena legalli: tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang.
Di dalam hukum romawi kuno, yang memakai bahasa latin, tidak dikenal
pepatah ini; juga asas legalitas tidak dikenal. Dalam sebuah karangan dalam :
Tijdschrift v. Strafrecht dalam halaman 337 dikatakan bahwa di zaman Romawi itu
dikenal kejahatan yang dinamakan criminal extra ordinaria, artinya
kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam Undang-Undang.
Di antara crimina extra ordinaria ini yang sangat terkenal adalah crimina
stellionatus, yang letterlijk artinya: perbuatan jahat, durjana. Jadi tidak
ada ditentukan perbuatan berupa apa yang dimaksud di situ. Sewaktu hukum Romawi
kuno itu diterima di Eropa Barat dalam abad Pertengahan, sebagaimana halnya
kita dalam jaman penjajahan, meresipier hukum Belanda) maka pengertian tentang crimina extra ordinaria ini diterima
pula oleh raja-raja yang berkuasa. Dan dengan adanya crimina extra ordinaria
ini lalu diadakan kemungkinan untuk menggunakan hukum pidana itu secara
sewenang-wenang menurut kehendak dan kebutuhan raja sendiri.
Sebagai puncak reaksi terhadap sistim absolutisme raja-raja yang berkuasa
tersebut, yang dinamakan zaman Ancien Regime, maka di situlah timbul pikiran
tentang harus ditentukan dalam peraturan terlebih dahulu (Prof. Moeljatno
mempergunakan istilah wet)
perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana, agar warga lebih dahulu bisa tahu dan
tidak akan melakukan perbuatan tersebut. Menurut Montesquieu dalam bukunya
“L’esprit des Lois” (1748, dan JJ Rousseau “Dus Contrat Social” (1762), pertama
tama dapat diketemukan pemikiran tentang asas legalitas ini. Asas ini, diadopsi
dalam undang-undang adalah dalam pasal 8 “Declaration des Droits de l’homme et du citoyen” (1789), semacam
undang-undang dasar pertama yang dibentuk dalam tahun pecahnya Revolusi
Perancis. Bunyinya: Tidak ada sesuatu yang boleh dipidana selain karena suatu
peraturan yang ditetapkan dalam undang-undang dan diundangkan secara sah. Dari
peraturan tersebut, asas ini dimasukkan dalam Pasal 4 Penal Code di Perancis,
di bawah pemerintahan Napoleon (1801). Dan dari sinilah asas ini dikenal di
Belanda karena penjajahan Napoleon, sehingga mendapat tempat dalam Wetboek van
Strafrecht Nederland 1881, Pasal 1 dan kemudian karena adanya asas konkordansi,
antara Nederland Indie (Indonesia) dan Nederland, masuklah ke dalam pasal 1
Wetboek van Strafrecht Nederland Indie 1918.
Perumusan asas legalitas dari von Feurbach dalam bahasa latin tersebut
dikemukakan sehubungan dengan teori vom
psychologischen zwang, yaitu yang menganjurkan supaya dalam menentukan
perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macam
perbuatan yang dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang macam pidana yang
dikenakan. Dengan cara demikian ini, maka setiap orang yang akan melakukan
perbuatan yang dilaran tersebut terlebih dahulu telah mengetahui pidana apa
yang akan dijatuhkan kepadanya jika nanti perbuatan itu dilakukan. Dengan
demikian, dalam hatinya, lalu terdapat suatu kesadaran atau tekanan untuk tidak
berbuat hal tersebut. Dan kalau akhirnya perbuatan tadi tetap dilakukan, maka
apabila pelaku dijatuhi hukuman atas perbuatan pidana tersebut, dapat dianggap
pelaku telah mneyetujuinya. Jadi, pendirian von Feuerbach mengenai pidana ialah
pendirian yang tergolong absolut. Sama halnya dengan teori pembalasan
(retribution).
1. Arti Pasal 1 KUHP
Pasal 1 Kitab Undang undang hukum pidana menjelaskan kepada kita bahwa:
· Suatu perbuatan dapat dipidana kalau
termasuk ketentuan pidana menurut undang-undang. Oleh karena itu pemidanaan
berdasarkan hukum tidak tertulis tidak dimungkinkan;
· Ketentuan pidana itu harus lebih
dahulu ada daripada perbuatan itu, dengan kata lain, ketentuan pidana itu harus
sudah berlaku ketika perbuatan itu dilakukan. Oleh karena itu ketentuan
tersebut tidak berlaku surut (asas non retroaktif), baik mengenai ketetapan
dapat dipidana maupun sanksinya.
· Pasal 1 ayat (2) KUHP membuat pengecualian
atas ketentuan tidak berlaku surut untuk kepentingan terdakwa. Jadi, sepanjang
menguntungkan terdakwa, maka pemberlakuan hukum pidana yang baru (meskipun
berlaku surut) dapat dilaksanakan.
Sesuai dengan jiwa pasal 1 KUHP, disyaratkan juga bahwa ketentuan
undang-undang harus dirumuskan secermat mungkin. Ini dinamakan asas lex certa. Undang-undang harus
membatasi dengan tajam dan jelas wewenang pemerintah terhadap rakyat (lex certa: undang-undang yang dapat
dipercayai). Pengertian dasar pasal 1 KUHP juga berkaitan dengan jiwa pasal 3
KUHP: hukum pidana harus diwujudkan dengan prosedur yang memadai dan dengan
jaminan hukum.
Satochid Kertanegara dalam buku Hukum Pidana (kumpulan bahan kuliah)
menyatakan bahwa dengan adanya Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut di atas, maka
KUHP tidak dapat berlaku surut. Hal ini berarti bahwa:
1. KUHP tidak
dapat berlaku surut, ini adalah asas yang pertama. Adapun rasionya adalah bahwa
KUHP harus bersumber pada peraturan tertulis (asas non retroaktif);
2. KUHP harus
bersumber pada peraturan tertulis.
Jadi hukum pidana tidak boleh bersumber pada hukum adat, atau hukum tidak
tertulis lainnya. Lain dengan hukum perdata dimana hukum adat masih menjadi
salah satu sumber hukum. Hal ini bertentangan dengan pendapat Prof. Moeljatno
yang menyatakan bahwa hukum pidana adat itu masih berlaku walaupun hanya untuk
orang-orang tertentu dan sementara saja. Dasarnya adalah Pasal 14 ayat 2 UUD
Sementara.
Jadi dengan meninjau ketentuan seperti yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1)
dimana tekanan diletakkan pada perkataan “sebelumnya”, ini menunjukkan bahwa
hukum pidana tidak dapat berlaku surut. Namun asas ini bukan merupakan asas
yang mutlak. Sebagaimana telah disampaikan dalam buah pemikiran Prof. Moeljatno
diatas, senada dengan itu, Prof. Satochid Kartanegara juga menyampaikan bahwa
terhadap asas non retroaktif ini, terdapat pengecualian dalam Pasal 1 ayat (2)
yang berbunyi: Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam
perundang-undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa. Dari
aturan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa ayat ini memungkinkan
memperlakukan KUHP secara surut, pada umumnya untuk memperlakukan undang-undang
secara surut (asas retroaktif), sepanjang, undang-undang yang
baru ini lebih menguntungkan terdakwa/tersangka. Untuk memahami aturan ayat (2)
ini, pertama-tama harus dipahami apa yang dimaksudkan dengan perubahan di dalam
undang-undang. Perubahan dimaksud adalah perubahan yang terjadi setelah
seseorang melakukan perbuatan yang dilarang, dan diancam dengan hukuman oleh
undang-undang, dan apabila undang-undang yang baru ini lebih menguntungkan
daripada undang-undang yang lama maka undang-undang yang baru itu harus
diperlakukan kepada dirinya. Jadi singkatnya, KUHP boleh diperlakukan surut
apabila:
· Dilakukan perubahan undang-undang;
· Perubahan ini terjadi setelah seseorang melakukan
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang, akan
tetapi sebelum dijatuhkan hukuman terhadap perbuatan tersebut;
· Undang-undang yang baru terlebih menguntungkan bagi si
tersangka, daripada undang-undang yang lama.
Berlakunya asas legalitas seperti diuraikan di atas memberikan sifat
perlindungan kepada undang-undang pidana: undang-undang pidana melindungi
rakyat terhadap pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas dari pemerintah. Ini
dinamakan fungsi melindungi dari undang-undang pidana. Disamping fungsi
melindungi tersebut, undang-undang pidana juga mempunyai fungsi instrumental
yaitu di dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang, pelaksanaan
kekuasaan oleh pemerintah secara tegas diperbolehkan. Asas legalitas ada
hubungannya dengan fungsi instrumental dari undang-undang pidana tersebut.
2. Asas
Legalitas atau asas oportunitas terhadap penuntutan pidana.
Rumusan ketiga von Feuerbach berhubungan dengan fungsi instrumental
undang-undang pidana dan merupakan ajaran paksaan psikologis. Undang-undang
pidana diperlukan untuk memaksa rakyat berbuat menurut hukum dengan
mengancamkan pidana terhadap perbuatan yang melawan hukum. Tetapi agar ancaman
pidana itu mempunyai efek, tiap-tiap pelanggar undang-undang harus
sungguh-sungguh dipidana.
Pemerintah juga harus selalu mempergunakan wewenang yang diberikan
kepadanya untuk memidana. Disinipun ada landasar syarat keadilan, yaitu asas
persamaan, adalah tidak adil dalam keadaan yang sama memidana pelanggar
undang-undang yang satu sedangkan yang lain tidak dipidana. Dalam arti
keharusan menuntut pidana, asas legalitas mempunyai banyak pengikut terutama di
Jerman, di mana sejak akhir abad yang lalu titik tolak dari tindakan yustisial
yaitu setiap pelanggaran undang-undang harus dituntut. Ini berlaku juga di
beberapa negara lain.
Sebaliknya, di perancis, belgia, dan khususnya di belanda, diikuti asas
oportunitas, yang menentukan bahwa pemerintah berwenang tetapi tidak
berkewajiban menurut undang-undang untuk menuntut semua perbuatan pidana.
Karena alasan-alasan oportunitas penuntutan itu, dapat juga diabaikan (lihat
pasal 167 dan 242 Sv).
Cacat-cacat dalam penerapan asas legalitas ini karena adanya pertentangan
anatara fungsi instrumental dan fungsi melindungi. Terkadang, demi kepentingan
fungsi instrumental undang-undang pidana, kadang fungsi melindungi dikurangi.
Syarat-syarat perlindungan hukum kepada rakyat tidak boleh mengikat pemerintah
sedemikian rupa sehingga menghalangi tugas penuntutan pidana yang efektif.
Harus ada penimbangan kepentingan. Dalam hal ini kita berada di lapangan
politik hukum kriminal.
3. Berbagai
Aspek asas legalitas
Asas legalitas ini dimaksud mengandung tiga pengertian yaitu:
· Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan
undang-undang. Pengertian yang pertama tersebut di atas, bahwa harus ada aturan
udang-undang jadi aturan hukum yang tertulis terlebih dahulu, jelas tampak
dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, dimana dalam teks Belanda disebutkan: “wettelijke
strafbepaling”, yaitu aturan pidana dalam perundangan. Tetapi dengan adanya
ketentuan ini, konsekuensinya adalah perbuatan-perbuatan pidana menurut hukum
adat lalu tidak dapat dipidana, sebab di situ tidak ditentukan dengan aturan
yang tertulis.
· Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh
digunakan analogi/kiyas. Asas bahwa dalam menentukan ada atau tidaknya
perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas) pada umumnya masih
dipakai oleh kebanyakan negara-negara. Di Indonesia dan di belanda pada umunya
masih diakui prinsip ini, meskipun ada juga beberapa ahli yang tidak dapat
menyetujui hal ini, misalnya Taverne, Pompe dan Jonkers. Prof. Scholter menolak
adanya perbedaan antara analogi dan tafsiran ekstensif, yang nyata-nyata diperbolehkan.
Menurut pendapatnya, baik dalam hal penafsiran ekstensif, maupun dalam analogi
dasarnya adalah sama, yaitu dicoba untuk menemukan norma-norma yang lebih
tinggi (lebih umum atau lebih abstrak) daripada norma yang ada. Penerapan
undang-undang berdasarkan analogi ini berarti penerapan suatu ketentuan atas
suatu kasus yang tidak termasuk di dalamnya. Penerapan berdasarkan analogi dari
ketentuan pidana atas kejadian-kejadian yang tidak diragukan patut diidana,
akan tetapi tidak termasuk undang-undang pidana memang pernah dilakukan.
· Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut. Tiada
suatu perbuatan dapat dipidana kecuali ada ketentuan pidana menurut
undang-undang yang telah ada sebelumnya, semikian pasal 1 ayat (1) KUHP. Ayat
(2) pasal tersebut memberikan pengecualian sebagaimana telah kita bahas diatas.
Peraturan ini berlaku untuk seluruh proses perkara. Dengan kata lain, kalau
dalam waktu antara putusan tingkat pertama dan tingkat banding, atau antara
banding dengan kasasi terjadi perubahan undang-undang untuk kepentingan
terdakwa, maka Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan MA harus menerapkan
Pasal 1 ayat (2) KUHP. Ingat, larangan kekuatan surut hanya berlaku untuk
ketentuan pidana. Tidak untuk peraturan yurisdiksi misalnya yang berhubngan
dengan wewenang pembentuk undang-undang nasional lainnya.
Namun Sahetapy menambahkan lagi empat aspek yakni:
· Tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan.
Pemidanaan juga harus berdasarkan undang-undang, tidak diperbolehkan
berdasarkan kebiasaan. Jadi pelanggaran atas kaidah kebiasaan dengan sendirinya
belum menghasilkan perbuatan pidana. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa
kaidah kaidah kebiasaan tidak berperan dalam hukum pidana. Adakalanya
undang-undang pidana secara implisit atau eksplisit menunjuk ke situ.
Penunjukan secara implisit ke kebiasaan terdapat pada blanket norm seperti dalam pasal 282 KUHP, dan beberapa delik
omisi di mana tidak berbuat dapat dipidana. Penunjukan secara eksplisit ke
kebiasaan terdapat dalam Pasal 8 Wet
Oorlogsstrafrecht 1950 (UU Hukum Pidana Perang di Belanda) yang
mengancam pidana berat terhadap pelanggaran undang-undang dan kebiasaan perang.
Ketentuan-ketentuan tersebut semuanya melanggar asas lex-certa.
· Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas
(syarat lex certa). Syarat lex certa
berarti bahwa undang-undang harus cukup jelas, sehingga:
a) Merupakan
pegangan bagi warga masyarakat dalam memilih tingkah lakunya, dan
b) Untuk
memberikan kepastian kepada penguasa mengenai batas-batas kewenangannya.
Namun tidak mungkin untuk merumuskan semua kelakuan yang patut dipidana
secara cermat dalam undang-undang. Syarat-syarat yang ditetapkan oleh
undang-undang untuk kelakuan masyarakat, juga ditentukan berdasarkan kebiasaan
yang berlaku disitu. Walaupun demikian, orang berhak untuk bertanya, apakah
pembuat undang-undang dengan pasal 8 Wet
Oorlogsrecht tidak terlampau mudah menyelesaikan tugasnya.
· Tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan
undang-undang. Undang-undang menentukan pidana-pidana yang dijatuhkan, demikian
bunyi Pasal 89 ayat (2) UUD Belanda. Dengan undang-undang disini adalah
undang-undang dalam arti formal. Pembentuk undang-undang yang lebih rendah
dapat membuat peraturan pidana selama diizinkan oleh pembentuk undang-undang
formal. Tetapi tidak boleh menciptakan pidana lain daripada yang telah diatur
dan ditentukan oleh undang-undang dalam artian formal. Hakim juga tidak
diperbolehkan menjatuhkan pidana lain daripada yang telah ditentukan oleh
undang-undang. Meskipun demikian, pasal 14a KUHP memberikan wewenang kepada
hakim untuk menetapkan syarat khusus kepada pidana bersyarat berupa
kewajiban-kewajiban tertentu yang harus dipenuhi oleh terpidana, namun hal ini
ada batasan-batasannya.
· Penuntutan pidana hanya menurut cara yang ditentukan
undang-undang. Penuntutan pidana adalah seluruh proses pidana, mulai dari
pengusutan sampai pelaksanaan pidana (bandingkan pasal 1 butir 7 KUHAP:
penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke
Pengadilan negeri yang berwenang dalam hal ini menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di
sidang pengadilan. Peraturan acara pidana dengan demikian sama di seluruh
negara. Larangan membuat peraturan acara pidana berlaku untuk pembentuk undang-undang
yang lebih rendah, tidak untuk pembentuk undang-undang dalam arti formal.
Sumber : Pustaka Perancang Peraturan
Kata kunci: Kritik Ideologis, Landasan Ontologis dan Aksiologis, serta sine prǽvia iure
ASAS
LEGALITAS DALAM ISLAM
|
Ditulis
oleh tiwy
|
Asas legalitas adalah suatu prinsip dimana suatu
perbuatan baru dapat dianggap melanggar hukum jika waktu peristiwa itu
terjadi sudah ada peraturan yang melarangnya.Walaupun asas legalitas
merupakan istilah hukum modern namun ajaran Islam juga menjunjung tinggi asas
tersebut .Hal ini dapat dilihat dalam ajaran Al-Qur’an yang menjelaskan,
bahwa Allah swt. Tidak akan menyiksa seseorang dalam arti belum dianggap
melanggar hukum, kecuali setelah ada peraturan yang melarang atau
mengaturnya. Oleh karena itu sebelum datang Al-Qur’an, umat manusia belum
diminta pertanggungjawaban atas perbuatan-perbuatannya, kecuali masyarakat
yang pernah dijangkau oleh kewenangan dakwah para Rasul sebelumnya ( Q.S.
al-Isra ayat 15).
Penegasan asas legalitas lebih lanjut ditunjukan
oleh ayat lain yang berbicara tentang pembatalan salah satu bentuk praktek
perkawinan di masa pra Islam yaitu bilamana ada seorang ayah beristeri muda,
setelah ia wafat, isteri mudanya menjadi rebutan anak laki-lakinya dari
isteri yang tua.Ada dua cara yang dikenal waktu itu.Pertama, anak laki-laki
yang paling berhak untuk menikahi janda muda ayahnya itu adalah anaknya yang
tertua.Kedua, yang paling berhak adalah yang menang dalam undian dengan cara
masing-masing melempar kain hitam kepada janda itu.Lemparan kain hitam siapa
yang paling lebih dahulu mengenai wanita itu dan disambutnya secara baik,
maka dialah yang paling berhak untuk menikahi janda ayah kandungnya
itu.Praktek perkawinan seperti ini dikenal dengan istilah “zawaj al-maqti”
yang kemudian diharamkan oleh ayat 22 surat an-Nisa yang artinya:” Dan
janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, kecuali
pada masa yang telah lampau.Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci
oleh Allah swt. Dan seburuk-buruk jalan yang ditempuh”.
Ayat tersebut diatas, memberikan pengecualian :……”
illa maqad salafa (terkecuali pada masa yang telah lampau)”.Penggalan ayat
inilah yang kemudian dijadikan alasan bahwa hukum tidak berlaku
surut.Artinya, haram melakukan zawaj al-maqti yang ditegaskan dalam ayat
tersebut, mulai berlaku semenjak ayat itu diturunkan, tidak berlaku pada masa
sebelumnya.Orang-orang yang melakukan praktek perkawinan zawaj al-maqti
sebelum turunnya ayat tersebut tidak dianggap melanggar hukum dan konsep
inilah yang kemudian dikembangkan oleh para ulama sebagai asas legalitas
dalam hukum Islam.
Namun dalam Islam asas legalitas tidak berlaku
terhadap peristiwa hadist al-ifki (berita bohong) berupa tuduhan dari pihak
yang tidak senang dengan perkembangan Islam bahwa Aisyah isteri Rasulullah
sengaja tertinggal dari rombongan sehabis peperangan Bani al-Mushtaliq dengan
maksud berbuat serong dengan Safwan.Berita itu selama sebulan berkembang
dalam masyarakat, sedangkan Aisyah sendiri bungkam tanpa memberikan pembelaan
terhadap dirinya.Dalam situasi demikian turunlah ayat yang menyatakan bahwa
Orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina), dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera….”( Q.S an-Nur ayat 4,5,11 dan 12). Ayat ini
berbicara teantang hukuman terhadap kejahatan qadaf yaitu menuduh orang
baik-baik berbuat zina tanpa mampu mengajukan empat orang saksi.Yang perlu
dicatat disini adalah ayat ini diturunkan setelah satu bulan adanya peristiwa
tuduhan atas diri Aisyah.Namun ayat itu diberlakukan terhadap peristiwa
berita bohong (hadist ifki) dimana semua orang yang menuduh Aisyah itu oleh
Rasulullah saw. tetap dihukum dera delapan puluh kali. (Ajun-PA Ktb)
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar