Rabu, 21 Agustus 2013

Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara

KAJIAN TERHADAP KEWENANGAN PTUN DALAM MENERAPKAN UPAYA PAKSA TERHADAP PUTUSAN INKRACHT 

Menarik karena persoalan yang dibahas di lingkungan peradilan, termasuk saat Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung. Silakan baca artikel ‘MA Tak Bisa Intervensi Eksekusi Putusan’. Masalah ini juga sering dikaitkan dengan efektivitas Pengadilan Tata Usaha Negara (“PTUN”) dalam proses penegakan hukum, seperti tertuang dalam artikel ‘PTUN Belum Efektif Tegakkan Negara Hukum’. 
Ketua Muda MA Bidang Tata Usaha Negara, Prof. Paulus Effendi Lotulung, pernah menuangkan ‘jawaban’ atas persoalan ini dalam tulisannya “Eksekusi Putusan Peradilan Tata Usaha Negara dan Problematikanya dalam Praktek”,dimuat buku Kapita Selekta Hukum Mengenang Almarhum Prof. H. Oemar Seno Adji (Ghalia Indonesia, 1995).
Pada dasarnya hanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan. Namun, tak semua pihak yang dikalahkan bersedia secara sukarela menjalankan putusan hakim. Dalam perkara pidana dan perdata, aparat penegak hukum yang akan melaksanakan eksekusi putusan bisa meminta bantuan aparat keamanan. 


Beda halnya dengan eksekusi putusan PTUN. Rozali Abdullah (2005: 98) tegas menyatakan dalam eksekusi putusan PTUN tidak dimungkinkan upaya paksa dengan menggunakan aparat keamanan. Istimewanya, Presiden selaku kepala pemerintahan dimungkinkan campur tangan dalam pelaksanaan putusan PTUN.
Putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap, sejalan dengan Pasal 97 ayat (8) dan ayat (9) UU PTUN, pada dasarnya dapat berupa:
a.  Batal atau tidak sah Keputusan Tata Usaha Negara ("KTUN") yang menimbulkan sengketa dan menetapkan Badan/Pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan untuk mencabut KTUN dimaksud. Paulus Effendi Lotulung menyebutnya sebagai eksekusi otomatis. Jika putusan TUN tidak dipatuhi maka KTUN tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum lagi, tidak perlu lagi ada tindakan atau upaya lain dari pengadilan seperti surat peringatan (R. Wiyono, 2009: 234).
b.   Pelaksanaan putusan pengadilan yang dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b, yang mewajibkan pejabat TUN bukan hanya mencabut tetapi juga menerbitkan KTUN baru.
c.   Selain itu, ada juga putusan yang mengharuskan pejabat TUN menerbitkan KTUN sebagaimana dimaksud Pasal 3 UU PTUN. Pasal 3 mengatur tentang keputusan fiktif negatif.
Pembentuk Undang-Undang mengharapkan Badan/Pejabat TUN melaksanakan putusan secara sukarela. Namun, keberhasilan pelaksanaan putusan itu sangat bergantung pada wibawa pengadilan dan kesadaran hukum para pejabat (Rozali Abdullah, 2005: 99).
Kalau putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap tidak dijalankan juga, maka UU PTUN menyediakan mekanisme berupa sanksi administratif dari atasan Badan/Pejabat TUN bersangkutan. Lewat ancaman sanksi itu, atasan pejabat yang mengeluarkan KTUN pada dasarnya sedang melakukan upaya paksa.
Mekanisme lain yang disebut dalam UU PTUN adalah pengenaan uang paksa dan pengumuman lewat media massa. Pasal 116 ayat (5) UU PTUNmenyatakan pejabat yang tidak melaksanakan putusan Pengadilan diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya batas waktu 90 hari kerja. Begitu batas waktu lewat, penggugat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan agar tergugat melaksanakan putusan. Pasal 116 ayat (6) UU PTUN menegaskan lebih lanjut, ketua pengadilan mengajukan ketidakpatuhan ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi dan kepada DPR untuk menjalankan fungsi pengawasan. Dari rumusan ini jelas bahwa Presiden punya kewenangan memaksa pejabat TUN untuk melaksanakan putusan.
Sedangkan, mekanisme uang paksa yang disebut dalam Pasal 116 ayat (4) UU PTUN, hingga kini regulasinya belum jelas. Penjelasan Pasal 116 ayat (4) UU PTUN hanya menyebutkan pembebanan berupa pembayaran sejumlah uang dicantumkan dalam amar putusan pada saat hakim memutuskan mengabulkan gugatan penggugat. Setidaknya, masih menjadi pertanyaan apakah uang paksa itu digabung bersama gugatan ke PTUN atau terpisah, siapa yang harus membayar (pribadi pejabat TUN atau dari anggaran badan), dan berapa besar uang paksa atau dwangsom yang dimungkinkan. Ini masalah krusial yang sering ditanyakan dan tampaknya perlu segera diatasi (Mahkamah Agung, 2007: 9).
Meskipun demikian, sebenarnya sanksi administratif, pengenaan uang paksa dan pengumuman di media massa tak perlu terjadi jika Badan/Pejabat TUN menjalankan putusan secara sukarela.
Dasar Hukum:
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang telah beberapa kali diubah, yakni melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009.
Referensi:
Mahkamah Agung. Permasalahan dari Daerah dan Jawabannya Bidang Tata Usaha Negara. Bahan pada Rakernas Mahkamah Agung dan Jajaran Pengadilan Empat Lingkungan Peradilan Seluruh Indonesia di Makassar, 2007.
R. Wiyono. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Cetakan kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Rozali Abdullah. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: RajaGrafndo Persada, 2005.
Ditulis Oleh : Muhammad Yasin
Sebagaimana dikutip asli dari : Hukumonline

Tidak ada komentar:

Hero Herlambang Bratayudha, SH - Rayhan Yusuf Mirshab