Rabu, 21 Agustus 2013

Dapatkah Perbuatan Melempar Puntung Rokok Kepada Orang Lain Dapat Dipidana ?

TINJAUAN YURIDIS HUKUM PIDANA

Ketentuan pidana tentang penganiayaan dapat kita temukan dalam Pasal 351 – Pasal 358 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(“KUHP”). R.Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, mengatakan bahwa menurut yurisprudensi, maka yang diartikan dengan“penganiayaan” yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka (hal. 245).
Pasal 351 KUHP berbunyi:
(1)   Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2)  Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
(3)     Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(4)      Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
(5)      Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Mengenai Pasal 351 KUHP, R. Soesilo memberi komentar, undang-undang tidak memberi ketentuan apakah yang diartikan dengan “penganiayaan” itu. Menurut alinea 4 pasal ini, masuk pula dalam pengertian penganiayaan ialah “sengaja merusak kesehatan orang”. R. Soesilo memberikan contoh apa yang dimaksud dengan “perasaan tidak enak”, “rasa sakit”, “luka”, dan “merusak kesehatan”:
1.   “perasaan tidak enak” misalnya mendorong orang terjun ke kali sehingga basah, menyuruh orang berdiri di terik matahari, dan sebagainya.
2.    “rasa sakit” misalnya menyubit, mendupak, memukul, menempeleng, dan sebagainya.
3.    “luka” misalnya mengiris, memotong, menusuk dengan pisau dan lain-lain.
4.    “merusak kesehatan” misalnya orang sedang tidur, dan berkeringat, dibuka jendela kamarnya, sehingga orang itu masuk angin.
Berdasarkan penjelasan di atas, apabila perbuatan orang lain melempar puntung rokok dan memukul dilakukan dengan sengaja, menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka bagi orang lain (dalam hal ini, karyawannya), maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penganiayaan.
Contoh kasus serupa dengan pertanyaan Anda dapat kita temukan dalam Putusan No. 124/PID.B/2006/PN.MDL yang kami akses dari laman resmiPengadilan Negeri Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara. Di dalam putusan tersebut diceritakan bahwa terdakwa melemparkan sepuntung rokok ke badan korban, mencekik, memukul pipi sebelah kanan korban sebanyak 4 (empat) kali, dan memukul kepala korban sebanyak satu kali. Kemudian, berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan dapat dimasukkan ke dalam unsur tindak pidana penganiayaan yang dimaksud dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP. Hakim memutus terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan.
Kemudian, mengenai sikap “bos besar” dalam cerita Anda yang kerap mengeluarkan kata-kata kasar kepada bawahannya dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penghinaan yang terdapat dalam Pasal 315 KUHP:
“Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda palingbanyak empat ribu lima ratus rupiah.
Penjelasan lebih lanjut mengenai pasal ini dapat Anda simak dalam artikel Jika Dikatai ‘Bangsat’ di Depan Orang Banyak.
Penegakan hukum tanpa pandang bulu
Pada prinsipnya, hukum ditegakkan tanpa pandang bulu, baik penguasa maupun rakyat, termasuk berlaku pula bagi atasan yang memiliki kekuasaan yang melakukan penganiayaan terhadap bawahannya. Di dalam konstitusi disebutkan bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. Hal ini termaktub dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945(“UUD 1945”) yang berbunyi:
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahannya itu dengan tidak ada kecualinya.”
Namun, memang dalam praktiknya masih banyak ditemukan kasus-kasus hukum yang tidak ditegakkan sebagaimana mestinya. Mengutip pendapat Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Humphrey Djemat, dalam artikel AAI: Hukum di Indonesia Masih Tumpul, pemberantasan mafia hukum termasuk di kalangan penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim. Pemberantasan narkoba, pelaksanaan HAM dan prinsip-prinsip kehidupan pluralisme belum dijalankan sepenuhnya, termasuk rasa keadilan masyarakat. Dari sejumlah kasus tersebut, hukum masih kerap dikebiri. Hukum belum benar-benar dijadikan panglima, ibarat pisau tumpul ke atas tajam ke bawah. Demikian menurut Humphrey Djemat.
Jadi,  perbuatan yang dilakukan orang lain tersebut bisa diproses secara adil, hal itu dikembalikan lagi kepada aparat penegak hukum. Perilaku polisi, jaksa, dan hakim sudah semestinya berpedoman pada kode etik masing-masing. Bagaimanapun juga menurut hemat kami, hukum harus ditegakkan secara tidak diskriminatif, siapapun dia dan apapun jabatannya.
Sebagai contoh adalah kasus yang menyeret mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Aulia Pohan, yang terlibat kasus penyelewengan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) beberapa tahun lalu. Meskipun Aulia Pohan adalah besan dari Persiden Republik Indonesia, Aulia Pohan tetap diadili dan dipidana berdasarkan hukum yang berlaku, tidak memandang status dan kedudukan Aulia Pohan itu sendiri. Aulia Pohan telah menjalani dua pertiga masa pidananya dan telah diberikan pembebeasan bersyarat oleh Kemenkumham. Penjelasan lebih lanjut mengenai kasus ini dapat Anda simak dalam artikel Aulia Pohan dkk Bebas Bersyarat.
Kasus teresebut menunjukkan bahwa siapapun bisa ditindak tegas secara hukum atas perbuatan pidana yang dilakukannya. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan pula bahwa bos dalam cerita Anda juga dapat diadili atas perbuatan penganiayaan dan penghinaan yang dilakukannya.

Dasar hukum:
1.    Undang-Undang Dasar 1945
Referensi:
R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia.

Ditulis oleh : TRI JATA AYU PRAMESTI

Sumber dikutip asli dari : Hukumonline

Tidak ada komentar:

Hero Herlambang Bratayudha, SH - Rayhan Yusuf Mirshab