Kamis, 24 April 2014

PERANAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DALAM PENEGAKAN PERATURAN DAERAH

PERANAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA
DALAM PENEGAKAN PERATURAN DAERAH
Oleh : Hero Herlambang Bratayudha, SH
(Perancang Pertama Peraturan Perundang-Undangan)

Mengulang bahasan kerusuhan Koja yang terjadi antara ahli waris/warga yang berkaitan dengan makam mbah priok  dengan aparat yang menewaskan 3 (tiga) orang Satpol PP dan segenap permasalahan serupa sungguh tidak dimaksud untuk membuka kembali luka lama. Tragedi tersebut hingga saat ini masih menyisakan permasalahan terutama terkait dengan peranan sesungguhnya Satpol PP sebagai aparat penegak peraturan daerah, yang perlu segera untuk diatasi dan dicari solusi. Terlebih lagi jika Satpol PP, dalam setiap tugasnya sering  dilibatkan terlalu jauh dalam apapun upaya pemerintah daerah untuk atas nama menegakkan regulasi lokal. Ulasan singkat dalam artikel ini penting dikemukakan untuk memberi gambaran yang obyektif dan adil akan peranan Satpol PP sesungguhnya berdasarkan regulasi dan paradigma sesungguhnya yang terjadi di masyarakat.

A.   Satuan Polisi Pamong Praja
Pamong Praja berasal dari kata Pamong dan Praja, Pamong artinya pengasuh yang berasal dari kata Among yang juga mempunyai arti sendiri yaitu mengasuh. Mengasuh anak kecil misalnya itu biasanya dinamakan mengemong anak kecil, sedangkan Praja adalah pegawai negeri. Pangreh Praja atau Pegawai Pemerintahan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pamong Praja adalah Pegawai Negeri yang mengurus pemerintahan Negara. Definisi lain Polisi adalah Badan Pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum atau pegawai Negara yang bertugas menjaga keamanan. Berdasarkan definisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa Polisi Pamong Praja adalah Polisi yang mengawasi dan mengamankan keputusan pemerintah di wilayah kerjanya.
Dalam penjelasan (Definisi) Ketentuan Umum yang terdapat dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, diketahui bahwa Satuan Polisi Pamong Praja adalah aparatur Pemerintah Daerah yang melaksanakan tugas Kepala Daerah dalam memelihara dan menyelenggarakan ketenteraman dan ketertiban umum, menegakkan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah. Dalam Pasal 1 angka 8  Peraturan Pemerintah Nomor 06 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja, Pengertian Satuan Polisi Pamong Praja, yang selanjutnya disingkat Satpol PP, adalah bagian perangkat daerah dalam penegakan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. Mencermati hal tersebut maka jelas dapat dicermati bahwa kedudukan hukum Polisi Pamong Praja dalam hierarki peraturan perundang-undangan secara yuridiksi tegas dan jelas diatur.
Dalam sejarahnya Satpol PP bukanlah barang baru semata mata buah dari proses otonomi daerah. Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) telah ada sejak zaman VOC masa pemerintahan Gubernur Jenderal Pieter Both di Batavia. Melihat kondisi pada masa itu, ketentraman dan ketertiban di Batavia sangat dibutuhkan. Untuk menjaga dan mencegah serangan massiv dari tentara Inggris dan penduduk lokal maka dibentuklah Baillaw yaitu sejeis Polisi yang merangkap tugas Jaksa dan Hakim yang membantu menyelesaikan  perselisihan yang terjadi antara VOC dengan warga dan untuk memelihara ketertiban dan keamanan antara warga itu sendiri. Kemudian pada masa kepemimpinan Raaffles, dikembangkanlah Bailluw dengan dibentuk Satuan lainnya yang disebut Besturrs Politie atau Polisi Pamong Praja yang bertugas membantu Pemerintah di Tingkat Kawedanan yang bertugas menjaga ketertiban dan ketenteraman serta keamanan warga. Begitu juga pada ada masa Kemerdekaan tepatnya sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia Polisi Pamong Praja tetap menjadi bagian Organisasi dari Kepolisian karena belum ada Dasar Hukum yang mendukung keberadaan Polisi Pamong Praja sampai dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1948.
Secara definitif Polisi Pamong Praja mengalami beberapa kali pergantian nama namun tugas dan fungsinya sama, adapun secara rinci perubahan nama dari Polisi Pamong Praja dapat dikemukakan sebagai berikut :
1.    Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1948 pada tanggal 30 Oktober 1948 didrikanlah Detasemen Polisi Pamong Praja Keamanan Kapanewon yang pada tanggal 10 Nopember 1948 diubah namanya menjadi Detasemen Polisi Pamong Praja.
2.    Tanggal 3 Maret 1950 berdasarkan Keputusan Mendagri No.UP.32/2/21 disebut dengan nama Kesatuan Polisi Pamong Praja.
3.    Pada Tahun 1962 sesuai dengan Peraturan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah No. 10 Tahun 1962 nama Kesatuan Polisi Pamong Praja diubah menjadi Pagar Baya.
4.    Berdasarkan Surat Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah No.1 Tahun 1963 Pagar Baya dubah menjadi Pagar Praja.
5.    Setelah diterbitkannnya UU No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, maka Kesatuan Pagar Praja diubah menjadi Polisi Pamong Praja, sebagai perangkat daerah.
6.    Dengan Diterbitkannya UU No.22 Tahun 1999 nama Polisi Pamong Praja diubah kembali dengan nama Satuan Polisi Pamong Praja, sebagai Perangkat Daerah.
7.    Terakhir dengan diterbitkannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, lebih memperkuat keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja sebagai pembantu Kepala Daerah dalam menegakkan Peraturan Daerah dan Penyelenggaraan Ketertiban umum dan ketenteraman Masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong
7.
B.   Produk Hukum Daerah.
Produk hukum daerah merupakan instrumen penegakan aturan di daerah yang terdiri dari beberapa peraturan daerah, seperti Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah, Keputusan Kepala Daerah, Peraturan Desa. Produk hukum daerah dapat berupa peraturan yang bersifat regulasi maupun teknis prosedural untuk menjalankan peraturan perundang-undangan di atasnya. Sebagai suatu produk hukum daerah,  peraturan daerah diakui sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan.
Dalam Ketentuan Umum Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan secara impisit dapat disimpulkan bahwa Peraturan Daerah adalah peraturan perunang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota dengan persetujuan Gubernur/Bupati. Berdasarkan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Peraturan  daerah  selanjutnya  disebut  Perda  adalah  peraturan daerah provinsi dan/atau peraturan daerah kabupaten/kota. merunut pada definisi tersebut, maka kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada unsur penyelenggara pemerintahan  di daerah cukup luas untuk mengatur daerah secara regulasi.
Berbeda dengan Peraturan Daerah, produk hukum daerah lainnya, Peraturan Kepala Daerah merupakan peraturan yang dibentuk oleh Kepala Daerah untuk melaksanakan perintah dalam Peraturan Daerah. Sedangkan Keputusan Kepala Daerah merupakan teknis pengaturan internal yang dibentuk Kepala Daerah dalam rangka menjalankan perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan Desa, sekalipun tidak banyak diregulasikan di tingkat Kelurahan atau Desa namun dimungkinkan untuk dibentuk berdasarkan kondisi dan kebutuhan Desa dan sebagai bentuk pelaksanaan lebih lanjut yang bersifat teknis untuk mengatur Desa.
Produk hukum daerah dalam proses pembentukannya dilaksanakan melalui mekanisme dan prosedur tersendiri. Produk hukum daerah dibentuk berdasarkan inisiatif dari unsur legislatif dan eksekutif sebagai pemegang kekuasaan politik di daerah. Pemebentukan produk hukum daerah khususnya Peraturan Daerah dilakukan melalui berbagai tahapan, yaitu perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, pengundangan hingga penyebarluasan. Bahkan tahapan evaluasi juga menjadi salah satu garda pengawal perjalanan peraturan daerah yang menjadi salah satu barometer keberlakuan peraturan perundang-undangan di daerah.
Produk hukum di daerah dibentuk bukan semata berdasarkan atas pelaksanaan dari penjabaran atau perintah (delegasi) peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Namun, lebih dari itu, aspirasi dan kebutuhan khusus yang merupakan karakteristik diferensial di suatu daerah juga menjadi salah satu tolak ukur pembentukan peraturan daerah (Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Daerah). Miris, berdasarkan fakta yang ada, banyak sekali peraturan daerah yang dibentuk hanya sebagai penjabaran dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang padahal sudah cukup mengatur. Bahkan beberapa dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tersebut merupakan peraturan konvensional yang tidak membutuhkan pendelegasian lebih lanjut oleh Peraturan perundang-undangan lainnya.  Idealnya pembentukan peraturan daerah dapat menampung kondisi berciri khas dari suatu daerah tidak hanya mengcopy paste peraturan yang sudah ada.
Produk hukum daerah sebagaimana yang disebutkan terdiri dari beberapa peraturan, khususnya peraturan daerah memilii legitimasi tersendiri yang berifat imperatif yang diberikan undang-undang yaitu pencantuman sanksi baik sanksi keperdataan maupun sanksi pidana. Sekalipun penerapan sanksi yang dibatasi, kewenangan pemberian sanksi dapat dijadikan suatu legitimasi khusus yang diberikan kepada daerah untuk mengatur daerahnya sendiri.  Selain itu, kontrol sosial juga menjadi aspek penting pembentukan peraturan daerah. Dalam pembentukan Peraturan Daerah, masyarakat dapat berperan serta memberikan masukan terkait dengan potensi permasalahan yang terjadi di daerahnya. Hal ini dimungkingkan karena setiap Peraturan Daerah yang diundangkan baik secara langsung maupun tidak langsung bersinggungan dengan kepentingan masyarakat. Kontrol sosial juga dapat berupa evaluasi sosial masyarakat terhadap Peraturan Daerah yang telah diundangkan.

C.   Peranan Satuan Polisi Pamong Praja Dalam Penegakan Peraturan Daerah
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) memiliki kedudukan dan peranan yang cukup luas sebagai salah satu perangkat dan aparatur pemerintah daerah. Berdasarkan Pasal 148 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah diketahui bahwa Satpol PP bertugas membantu    kepala daerah dalam menegakkan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Berdasarkan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 06 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja diketahui bahwa secara spesifik Satpol PP memiliki kewenangan sebagai berikut :
a.    melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah;
b.   menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;
c.    fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas penyelenggaraan perlindungan masyarakat;
d.   melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah; dan
e.    melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah.

Berdasarkan beberapa kewenangan yang disebutkan, jelas bahwa Satpol PP dapat dianggap sebagai salah satu bodyguard pemberlakuan dan penegakan suatu Peraturan Daerah selain unsur penyelenggara pemerintah daerah terkait dan masyarakat itu sendiri. Namun secara organisasi dapat dipahami bahwa Satpol PP merupakan organisasi yang dibentuk untuk menjalankan dan menegakkan Produk hukum daerah termasuk Peraturan Daerah. Melihat kewenangan yang begitu besar terhadap Satpol PP tentu membuat badan/institusi tersebut memiliki tanggung jawab besar dalam perjalanan suatu peraturan daerah. Kewenangan tersebut juga menuntut Satpol PP untuk berperan aktif dalam proses pembentukan peraturan daerah.
Dalam Pasal 148 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, disebutkan bahwa salah satu  tugas Satpol PP yaitu membantu menegakkan peraturan daerah dan serangkaian tindakan ligitasi lainnya seperti dapat melakukan penyelidikan hingga tindakan administratif. Kewenangan yang cukup luas tersebut semestinya dapat dimanfaatkan secara penuh oleh Satpol PP. Namun pada faktanya, masih banyak tugas dan kewenangan sebagai penegak peraturan daerah yang terkesan belum dioptimalkan oleh Satpol PP. Masih banyak tugas yang penegakan peraturan daerah yang masih belum sepenunya dijalankan, ambil contoh penindakan penertiban hewan ternak, penindakan pelanggaran masalah persampahan, penindakan masalah adminsitratif internal dan eksternal instansi lainnya, penindakan masalah  keamanan dan ketertiban umum dan tugas lain yang melibatkan peranan Satpol PP secara luas didalam muatan materi peraturan daerah. Disamping itu, dalam berhadapan dengan sekelompok masyarakat, masih banyak sekali terjadi persinggungan yang terjadi antara Satpol PP dengan masyarakat yang dalam beberapa kasus sampai menimbulkan korban jiwa. Sungguh suatu kesan konotatif bagi Satpol PP.
Semestinya, jika dikaji secara obyektif, tidak maksimalnya peranan Satpol PP hingga pertentangan yang banyak terjadi di masyarakat pada hulu muaranya bersumber dari kesalahpahaman dalam memahami serangkaian aturan yang diberlakukan. Berdasarkan kewenangan, tentu tidak ada yang meragukan tugas dan peranan Satpol PP dalam berperan serta menegakkan Peraturan Daerah. Di sisi lainnya, masyarakat juga diduga belum memahami secara penuh tugas dan fungsi Satpol PP sebagai penegak peraturan daerah disamping peraturan daerah yang bersinggungan langsung dengan kepentingan sekelompok masyarakat. Justru sebagai salah satu buah manis dari otonomi daerah, kewenangan yang ada pada Satpol PP tersebut pada dasarnya sudah cukup luas dan dapat dipertanggung jawabkan. Kesalahpahaman tersebut jika tidak dibenahi maka dikhawatirkan dapat berimplikasi makin buruk dimasyarakat. Terang saja jika dalam menjalankan tugasnya, Satpol PP seakan memegang pisau bermata dua, disatu sisi menegakkan perintah peraturan daerah yang belum tentu melibatkan Satpol PP dalam proses pembentukannya. Sedangkan di sisi lain juga harus berhadapan dengan masyarakat sendiri yang juga kemungkinan kurang mendapat sosialisasi penuh dari peraturan daerah yang dibentuk.
Peraturan Daerah yang dibentuk mencakup aspek yang cukup luas dan beragam, mulai dari regulasi yang mengatur organisasi dan tata kerja instansi pemerintah sendiri hingga aspek umum dan sosial lainnya. Hal ini menjadikan peranan dan tanggung jawab Satpol PP semakin bertambah. Berdasarkan hal tersebut, menurut Penulis dan sebagai salah satu referensi proses penyelarasan antara tugas dan kewenangan Satpol PP sebagai penegak peraturan daerah maka perlu memperhatikan dan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
a.    Peraturan Daerah yang dibentuk minim sosialisasi;
Dalam banyak kasus, peraturan daerah yang dibentuk memuat hak dan kewajiban masyarakat serta sanksi yang membutuhkan peranan Satpol PP sebagai fungsi pengawasan dan penegakan. Peraturan terebut tidak jarang sebelum diterbitkan tidak diuji publikkan terlebih dahulu kepada masyarakat. Setelah diundangkan juga kurang dilakukan sosialisasi, sehingga peranan sosialisasi peraturan daerah juga menjadi perhatian penting yang dikedepankan oleh Satpol PP.
b.   Peraturan Daerah yang disusun tidak banyak yang melibatkan perwakilan Satpol PP;
Dalam rapat pembahasan suatu rancangan peraturan daerah yang di dalamnya ada memuat peranan Satpol PP, jarang sekali pihak legislator/pemerakaarsa mengundang perwakilan dari Satpol PP untuk dilibatkan daam pembahasan peraturan daerah. Pandangan yang salah kaprah yang terjadi ialah ketika sudah mahfum bahwa apapun peraturan daerah yang dibuat oleh legislator tidak mesti melibatkan Satpol PP, karena secara otomatis penegakan perda yang diterbitkan adalah tanggung jawab Satpol PP. Padahal, Satpol PP merupakan organisasi mandiri yang lebih mengerti kekurangan dan kelebihan yang ada dalam instansinya.
c.    Masih terbatasnya jumlah personil Satpol PP;
Semakin gencarnya peraturan daerah yang diterbitkan yang membutuhkan penegakan Satpol PP terkadang tidak didukung dengan semakin bertambahnya jumlah/kuantitas personel Satpol PP di suatu daerah. Hal ini tentu menjadi kerepotan tersendiri bagi Satpol PP yang tentu tidak dapat melaksanakan tugas penegakan peraturan daerah tersebut secara serentak yang semakin bertambah banyak diterbitkan.
d.   Regulasi yang belum memadai terkait dengan status dan kedudukan hukum Satpol PP;
Penegelolaan organisatoris Satpol PP secara teknis mengacu pada ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 06 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja. Kegiatan hukum Satpol PP menjadi salah tingkah ketika harus berhadapan dengan elit masyarakat atau pemerintahan yang melakukan pelanggaran peraturan daerah atau penegakan disiplin. Pola eselonisasi Satpol PP (Tipe A dan Tipe B) tentu menjadi bumerang dalam penegakan peraturan daerah di tingkat Kabupaten. Tidak seluruh pelanggaran yang dapat ditindak oleh Satpol PP. Pelanggaran dan kejahatan yang sifatnya konvensional tentu merupakan kewenangan aparatur penegakan hukum lainnya. Untuk itu regulasi batasan yang jelas perlu juga diatur secara tersendiri.
e.    Kurangnya pemahaman masyarakat dalam menginterprestasikan peraturan daerah yang khususnya baru dibentuk;
Tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua masyarakat yang melek hukum. Salah satu dari penyebab hal tersebut selain dari kurang sosialisasi dan uji publik dari segenap perangkat daerah terkait, yang harus diakui juga bahwa tidak semua masyarakat yang tidak dapat menerima diberlakukannya suatu peraturan daerah. Tingkat kepatuhan masyarakat menjadi minim. Tidak jarang dalam hal ini, Satpol PP yang notabene hanya menjalankan tugas harus berhadapan secara frontal dengan masyarakat. Tentunya tindakan persuasif dalam kasus tersebut menjadi prioritas utama Satpol PP dalam berhadapan dengan masyarakat.
f.     Masih minimnya kualitas SDM Satpol PP;
Sebagai suatu lembaga independen yang bertanggung jawab langsung kepada Kepala Daerah, Satpol PP idealnya juga dihuni beberapa personil yang memiliki kompetensi khusus dan kualitas tertentu terutama dalam berhadapan dengan masyarakat dan permasalahan terkait advokasi penegakan peraturan daerah.
g.    Masih belum terjalinnya kerjasama yang berlanjut antara Satpol PP dengan satuan penegakan hukum lainnya.
Penegakan peraturan daerah membutuhkan kerjasama antar instansi tidak terkecuali terhadap instansi penegakan hukum konvensional lainnya seperti Kepolisian, Kejaksaan bahkan Pengadilan. Mencermati dari fungsi dan kewenangan secara luas yang diberikan oleh Undang-Undang, semstinya ada banyak jalinan silaturahmi berlanjut yang terbentuk antara Satpol PP dengan aparatur hukum tersebut. Tentunya demi terciptanya keselarasan tatanan kehidupan di masyarakat, segenap aparatur dapat bekerja sama termasuk menghilangkan ego sektoral masing-masing. Disamping itu, ada banyak pula kasus pelanggaran peraturan daerah yang mestinya diperiksa dan diselesaikan hingga tingkat pengadilan. Namun, sayangnya, tidak banyak yang dimediakan terkait dengan tindak lanjut pelanggaran peraturan derah.
Tentunya ada banyak koreksi dan evaluasi terkait dengan dinamika Satpol PP sebagai suatu Lembaga yang mestinya mendapatkan predikat baik di masyarakat. Namun tentunya koreksi dan evaluasi tersebut membutuhkan niat dan kerjasama yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak.
Peraturan Daerah yang berhasil dibentuk oleh setiap pemerintah daerah sangat beragam  dan dari segi kuantitas memiliki progresifitas yang semakin meningkat setiap tahunnya. Menyikapi hal tersebut, tentu menjadi dilematis tersendiri bagi instansi Satpol PP yang diberikan kewenangan luas dalam penegakan produk hukum daerah. Untuk itu, diharapkan agar evaluasi dan rekonsiliasi secara terpadu terkait dengan peningkatan eksistensi dan kinerja Satpol PP perlu segera dilaksanakan berbagai pihak.
D.   Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan :
Pasal 148 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 06 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja memberikan mandat yang cukup tegas bagi eksistensi Satuan Polisi Pamong Praja. Beragam permasalahan yang timbul hendaknya dapat dihindarkan apabila memperhatikan hal tersebut :
1.    Peraturan Daerah yang dibentuk minim sosialisasi;
2.    Peraturan Daerah yang disusun tidak banyak melibatkan perwakilan Satpol PP;
3.    Masih terbatasnya jumlah personil Satpol PP;
4.    Regulasi yang belum memadai terkait dengan status dan kedudukan hukum Satpol PP;
5.    Kurangnya pemahaman masyarakat dalam menginterprestasikan peraturan daerah yang khususnya baru dibentuk;
6.    Masih minimnya kualitas SDM Satpol PP; dan
7.    Masih belum terjalinnya kerjasama yang berlanjut antara Satpol PP dengan satuan penegakan hukum lainnya.

Saran :
Untuk memaksimalkan peran sesungguhnya dari Satpol PP maka dibutuhkan koordinasi berbagai pihak dan kerjasama antara instansi terkait dengan penegakan peraturan daerah.

Daftar Pustaka :
1.    Penulisan Hukum berjudul “Peranan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Dalam Penegakan Peraturan Daerah di Kota Medan oleh Arwin Hasibuan, Universitas Muslim Nusantara Medan, 2013.
2.    Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2005.
3.    Kompas berjudul : Rusuh Koja-Dua Anggota DPRD Jadi Korban Satpol PP, 100-an Luka, tanggal 14 April 2010.
4.    Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
5.    Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan.
6.    Peraturan Pemerintah Nomor 06 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pmong Praja.
7.    Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2011 tentang Pedoman dan Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja


Tidak ada komentar:

Hero Herlambang Bratayudha, SH - Rayhan Yusuf Mirshab