PERANAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA
DALAM PENEGAKAN PERATURAN DAERAH
Oleh : Hero Herlambang Bratayudha, SH
(Perancang Pertama Peraturan Perundang-Undangan)
Mengulang bahasan
kerusuhan Koja yang terjadi antara ahli waris/warga yang berkaitan dengan makam
mbah priok dengan aparat yang menewaskan 3 (tiga) orang Satpol PP dan
segenap permasalahan serupa sungguh tidak dimaksud untuk membuka kembali luka
lama. Tragedi tersebut hingga saat ini masih menyisakan permasalahan terutama
terkait dengan peranan sesungguhnya Satpol PP sebagai aparat penegak peraturan
daerah, yang perlu segera untuk diatasi dan dicari solusi. Terlebih lagi jika
Satpol PP, dalam setiap tugasnya sering dilibatkan terlalu jauh dalam apapun upaya
pemerintah daerah untuk atas nama menegakkan regulasi lokal. Ulasan singkat
dalam artikel ini penting dikemukakan untuk memberi gambaran yang obyektif dan
adil akan peranan Satpol PP sesungguhnya berdasarkan regulasi dan paradigma
sesungguhnya yang terjadi di masyarakat.
A. Satuan Polisi Pamong Praja
Pamong Praja berasal dari kata Pamong dan
Praja, Pamong artinya pengasuh yang berasal dari kata Among yang juga mempunyai
arti sendiri yaitu mengasuh. Mengasuh anak kecil misalnya itu biasanya
dinamakan mengemong anak kecil, sedangkan Praja adalah pegawai negeri. Pangreh
Praja atau Pegawai Pemerintahan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pamong
Praja adalah Pegawai Negeri yang mengurus pemerintahan Negara. Definisi lain
Polisi adalah Badan Pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban
umum atau pegawai Negara yang bertugas menjaga keamanan. Berdasarkan definisi tersebut
diatas dapat disimpulkan bahwa Polisi Pamong Praja adalah Polisi yang mengawasi
dan mengamankan keputusan pemerintah di wilayah kerjanya.
Dalam penjelasan (Definisi) Ketentuan Umum
yang terdapat dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah, diketahui bahwa Satuan Polisi Pamong Praja adalah aparatur
Pemerintah Daerah yang melaksanakan tugas Kepala Daerah dalam memelihara dan
menyelenggarakan ketenteraman dan ketertiban umum, menegakkan Peraturan Daerah
dan Keputusan Kepala Daerah. Dalam Pasal 1 angka 8 Peraturan Pemerintah Nomor 06 Tahun 2010
tentang Satuan Polisi Pamong Praja, Pengertian Satuan Polisi Pamong
Praja, yang selanjutnya disingkat Satpol PP, adalah bagian perangkat daerah
dalam penegakan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman
masyarakat. Mencermati hal tersebut maka jelas dapat
dicermati bahwa kedudukan hukum Polisi Pamong Praja dalam hierarki peraturan
perundang-undangan secara yuridiksi tegas dan jelas diatur.
Dalam sejarahnya Satpol PP bukanlah barang
baru semata mata buah dari proses otonomi daerah. Satuan Polisi Pamong Praja
(Satpol PP) telah ada sejak zaman VOC masa pemerintahan Gubernur Jenderal
Pieter Both di Batavia. Melihat kondisi pada masa itu, ketentraman dan ketertiban
di Batavia sangat dibutuhkan. Untuk menjaga dan mencegah serangan massiv dari
tentara Inggris dan penduduk lokal maka dibentuklah Baillaw yaitu sejeis Polisi yang merangkap tugas Jaksa dan Hakim
yang membantu menyelesaikan perselisihan
yang terjadi antara VOC dengan warga dan untuk memelihara ketertiban dan
keamanan antara warga itu sendiri. Kemudian pada masa kepemimpinan Raaffles,
dikembangkanlah Bailluw dengan dibentuk Satuan lainnya yang disebut Besturrs Politie atau Polisi Pamong
Praja yang bertugas membantu Pemerintah di Tingkat Kawedanan yang bertugas
menjaga ketertiban dan ketenteraman serta keamanan warga. Begitu juga pada ada
masa Kemerdekaan tepatnya sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
Polisi Pamong Praja tetap menjadi bagian Organisasi dari Kepolisian karena
belum ada Dasar Hukum yang mendukung keberadaan Polisi Pamong Praja sampai
dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1948.
Secara definitif Polisi Pamong Praja
mengalami beberapa kali pergantian nama namun tugas dan fungsinya sama, adapun
secara rinci perubahan nama dari Polisi Pamong Praja dapat dikemukakan sebagai
berikut :
1. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1
Tahun 1948 pada tanggal 30 Oktober 1948 didrikanlah Detasemen Polisi Pamong
Praja Keamanan Kapanewon yang pada tanggal 10 Nopember 1948 diubah namanya
menjadi Detasemen Polisi Pamong Praja.
2. Tanggal 3 Maret 1950 berdasarkan Keputusan
Mendagri No.UP.32/2/21 disebut dengan nama Kesatuan Polisi Pamong Praja.
3. Pada Tahun 1962 sesuai dengan Peraturan
Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah No. 10 Tahun 1962 nama Kesatuan
Polisi Pamong Praja diubah menjadi Pagar Baya.
4. Berdasarkan Surat Menteri Pemerintahan
Umum dan Otonomi Daerah No.1 Tahun 1963 Pagar Baya dubah menjadi Pagar Praja.
5. Setelah diterbitkannnya UU No.5 Tahun 1974
tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, maka Kesatuan Pagar Praja diubah
menjadi Polisi Pamong Praja, sebagai perangkat daerah.
6. Dengan Diterbitkannya UU No.22 Tahun 1999
nama Polisi Pamong Praja diubah kembali dengan nama Satuan Polisi Pamong Praja,
sebagai Perangkat Daerah.
7. Terakhir dengan diterbitkannya UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, lebih memperkuat keberadaan Satuan
Polisi Pamong Praja sebagai pembantu Kepala Daerah dalam menegakkan Peraturan
Daerah dan Penyelenggaraan Ketertiban umum dan ketenteraman Masyarakat dibentuk
Satuan Polisi Pamong
7.
B. Produk Hukum Daerah.
Produk hukum daerah merupakan instrumen
penegakan aturan di daerah yang terdiri dari beberapa peraturan daerah, seperti
Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah, Keputusan Kepala Daerah, Peraturan
Desa. Produk hukum daerah dapat berupa peraturan yang bersifat regulasi maupun
teknis prosedural untuk menjalankan peraturan perundang-undangan di atasnya.
Sebagai suatu produk hukum daerah,
peraturan daerah diakui sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan.
Dalam Ketentuan Umum Undang-Undang 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan secara impisit dapat
disimpulkan bahwa Peraturan Daerah adalah peraturan perunang-undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota dengan persetujuan
Gubernur/Bupati. Berdasarkan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah, Peraturan daerah selanjutnya disebut
Perda
adalah
peraturan
daerah provinsi dan/atau peraturan daerah
kabupaten/kota.
merunut pada definisi tersebut, maka kewenangan yang diberikan oleh
undang-undang kepada unsur penyelenggara pemerintahan di daerah cukup luas untuk mengatur daerah
secara regulasi.
Berbeda dengan
Peraturan Daerah, produk hukum daerah lainnya, Peraturan Kepala Daerah
merupakan peraturan yang dibentuk oleh Kepala Daerah untuk melaksanakan
perintah dalam Peraturan Daerah. Sedangkan Keputusan Kepala Daerah merupakan
teknis pengaturan internal yang dibentuk Kepala Daerah dalam rangka menjalankan
perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan Desa,
sekalipun tidak banyak diregulasikan di tingkat Kelurahan atau Desa namun
dimungkinkan untuk dibentuk berdasarkan kondisi dan kebutuhan Desa dan sebagai
bentuk pelaksanaan lebih lanjut yang bersifat teknis untuk mengatur Desa.
Produk hukum
daerah dalam proses pembentukannya dilaksanakan melalui mekanisme dan prosedur
tersendiri. Produk hukum daerah dibentuk berdasarkan inisiatif dari unsur
legislatif dan eksekutif sebagai pemegang kekuasaan politik di daerah.
Pemebentukan produk hukum daerah khususnya Peraturan Daerah dilakukan melalui
berbagai tahapan, yaitu perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan,
pengundangan hingga penyebarluasan. Bahkan tahapan evaluasi juga menjadi salah
satu garda pengawal perjalanan peraturan daerah yang menjadi salah satu
barometer keberlakuan peraturan perundang-undangan di daerah.
Produk hukum di
daerah dibentuk bukan semata berdasarkan atas pelaksanaan dari penjabaran atau
perintah (delegasi) peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Namun,
lebih dari itu, aspirasi dan kebutuhan khusus yang merupakan karakteristik
diferensial di suatu daerah juga menjadi salah satu tolak ukur pembentukan
peraturan daerah (Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Daerah). Miris, berdasarkan fakta yang ada, banyak sekali
peraturan daerah yang dibentuk hanya sebagai penjabaran dari peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi yang padahal sudah cukup mengatur. Bahkan
beberapa dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tersebut merupakan
peraturan konvensional yang tidak membutuhkan pendelegasian lebih lanjut oleh
Peraturan perundang-undangan lainnya. Idealnya pembentukan peraturan daerah dapat
menampung kondisi berciri khas dari suatu daerah tidak hanya mengcopy paste peraturan yang sudah ada.
Produk hukum daerah sebagaimana
yang disebutkan terdiri dari beberapa peraturan, khususnya peraturan daerah
memilii legitimasi tersendiri yang berifat imperatif yang diberikan
undang-undang yaitu pencantuman sanksi baik sanksi keperdataan maupun sanksi
pidana. Sekalipun penerapan sanksi yang dibatasi, kewenangan pemberian sanksi
dapat dijadikan suatu legitimasi khusus yang diberikan kepada daerah untuk
mengatur daerahnya sendiri. Selain itu,
kontrol sosial juga menjadi aspek penting pembentukan peraturan daerah. Dalam
pembentukan Peraturan Daerah, masyarakat dapat berperan serta memberikan
masukan terkait dengan potensi permasalahan yang terjadi di daerahnya. Hal ini
dimungkingkan karena setiap Peraturan Daerah yang diundangkan baik secara
langsung maupun tidak langsung bersinggungan dengan kepentingan masyarakat.
Kontrol sosial juga dapat berupa evaluasi sosial masyarakat terhadap Peraturan
Daerah yang telah diundangkan.
C. Peranan Satuan Polisi Pamong Praja Dalam Penegakan
Peraturan Daerah
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) memiliki kedudukan dan peranan yang
cukup luas sebagai salah satu perangkat dan aparatur pemerintah daerah.
Berdasarkan Pasal 148 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah diketahui bahwa Satpol PP bertugas membantu kepala daerah dalam menegakkan Perda
dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Berdasarkan Pasal 6 Peraturan Pemerintah
Nomor 06 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja diketahui bahwa secara
spesifik Satpol PP memiliki kewenangan sebagai berikut :
a.
melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap
warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas
Perda dan/atau peraturan kepala daerah;
b.
menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum
yang mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;
c.
fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas
penyelenggaraan perlindungan masyarakat;
d.
melakukan tindakan penyelidikan terhadap
warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah;
dan
e.
melakukan tindakan administratif terhadap warga
masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda
dan/atau peraturan kepala daerah.
Berdasarkan beberapa kewenangan yang disebutkan, jelas
bahwa Satpol PP dapat dianggap sebagai salah satu bodyguard pemberlakuan dan penegakan suatu Peraturan Daerah selain
unsur penyelenggara pemerintah daerah terkait dan masyarakat itu sendiri. Namun
secara organisasi dapat dipahami bahwa Satpol PP merupakan organisasi yang
dibentuk untuk menjalankan dan menegakkan Produk hukum daerah termasuk
Peraturan Daerah. Melihat kewenangan yang begitu besar terhadap Satpol PP tentu
membuat badan/institusi tersebut memiliki tanggung jawab besar dalam perjalanan
suatu peraturan daerah. Kewenangan tersebut juga menuntut Satpol PP untuk
berperan aktif dalam proses pembentukan peraturan daerah.
Dalam Pasal 148 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah, disebutkan bahwa salah satu
tugas Satpol PP yaitu membantu menegakkan peraturan daerah dan
serangkaian tindakan ligitasi lainnya seperti dapat melakukan penyelidikan
hingga tindakan administratif. Kewenangan yang cukup luas tersebut semestinya
dapat dimanfaatkan secara penuh oleh Satpol PP. Namun pada faktanya, masih
banyak tugas dan kewenangan sebagai penegak peraturan daerah yang terkesan belum
dioptimalkan oleh Satpol PP. Masih banyak tugas yang penegakan peraturan daerah
yang masih belum sepenunya dijalankan, ambil contoh penindakan penertiban hewan
ternak, penindakan pelanggaran masalah persampahan, penindakan masalah
adminsitratif internal dan eksternal instansi lainnya, penindakan masalah keamanan dan ketertiban umum dan tugas lain
yang melibatkan peranan Satpol PP secara luas didalam muatan materi peraturan
daerah. Disamping itu, dalam berhadapan dengan sekelompok masyarakat, masih
banyak sekali terjadi persinggungan yang terjadi antara Satpol PP dengan
masyarakat yang dalam beberapa kasus sampai menimbulkan korban jiwa. Sungguh
suatu kesan konotatif bagi Satpol PP.
Semestinya, jika dikaji secara obyektif, tidak
maksimalnya peranan Satpol PP hingga pertentangan yang banyak terjadi di
masyarakat pada hulu muaranya bersumber dari kesalahpahaman dalam memahami serangkaian
aturan yang diberlakukan. Berdasarkan kewenangan, tentu tidak ada yang
meragukan tugas dan peranan Satpol PP dalam berperan serta menegakkan Peraturan
Daerah. Di sisi lainnya, masyarakat juga diduga belum memahami secara penuh
tugas dan fungsi Satpol PP sebagai penegak peraturan daerah disamping peraturan
daerah yang bersinggungan langsung dengan kepentingan sekelompok masyarakat. Justru
sebagai salah satu buah manis dari otonomi daerah, kewenangan yang ada pada
Satpol PP tersebut pada dasarnya sudah cukup luas dan dapat dipertanggung
jawabkan. Kesalahpahaman tersebut jika tidak dibenahi maka dikhawatirkan dapat
berimplikasi makin buruk dimasyarakat. Terang saja jika dalam menjalankan
tugasnya, Satpol PP seakan memegang pisau bermata dua, disatu sisi menegakkan
perintah peraturan daerah yang belum tentu melibatkan Satpol PP dalam proses
pembentukannya. Sedangkan di sisi lain juga harus berhadapan dengan masyarakat
sendiri yang juga kemungkinan kurang mendapat sosialisasi penuh dari peraturan
daerah yang dibentuk.
Peraturan Daerah yang dibentuk mencakup aspek yang cukup
luas dan beragam, mulai dari regulasi yang mengatur organisasi dan tata kerja
instansi pemerintah sendiri hingga aspek umum dan sosial lainnya. Hal ini
menjadikan peranan dan tanggung jawab Satpol PP semakin bertambah. Berdasarkan
hal tersebut, menurut Penulis dan sebagai salah satu referensi proses
penyelarasan antara tugas dan kewenangan Satpol PP sebagai penegak peraturan
daerah maka perlu memperhatikan dan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
a.
Peraturan Daerah yang dibentuk minim sosialisasi;
Dalam
banyak kasus, peraturan daerah yang dibentuk memuat hak dan kewajiban
masyarakat serta sanksi yang membutuhkan peranan Satpol PP sebagai fungsi
pengawasan dan penegakan. Peraturan terebut tidak jarang sebelum diterbitkan tidak
diuji publikkan terlebih dahulu kepada masyarakat. Setelah diundangkan juga kurang
dilakukan sosialisasi, sehingga peranan sosialisasi peraturan daerah juga
menjadi perhatian penting yang dikedepankan oleh Satpol PP.
b.
Peraturan Daerah yang disusun tidak banyak yang melibatkan perwakilan
Satpol PP;
Dalam
rapat pembahasan suatu rancangan peraturan daerah yang di dalamnya ada memuat
peranan Satpol PP, jarang sekali pihak legislator/pemerakaarsa mengundang
perwakilan dari Satpol PP untuk dilibatkan daam pembahasan peraturan daerah.
Pandangan yang salah kaprah yang terjadi ialah ketika sudah mahfum bahwa apapun
peraturan daerah yang dibuat oleh legislator tidak mesti melibatkan Satpol PP,
karena secara otomatis penegakan perda yang diterbitkan adalah tanggung jawab
Satpol PP. Padahal, Satpol PP merupakan organisasi mandiri yang lebih mengerti
kekurangan dan kelebihan yang ada dalam instansinya.
c.
Masih terbatasnya jumlah personil Satpol PP;
Semakin
gencarnya peraturan daerah yang diterbitkan yang membutuhkan penegakan Satpol
PP terkadang tidak didukung dengan semakin bertambahnya jumlah/kuantitas personel
Satpol PP di suatu daerah. Hal ini tentu menjadi kerepotan tersendiri bagi
Satpol PP yang tentu tidak dapat melaksanakan tugas penegakan peraturan daerah
tersebut secara serentak yang semakin bertambah banyak diterbitkan.
d.
Regulasi yang belum memadai terkait dengan status dan kedudukan hukum
Satpol PP;
Penegelolaan
organisatoris Satpol PP secara teknis mengacu pada ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 06 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja. Kegiatan
hukum Satpol PP menjadi salah tingkah ketika harus berhadapan dengan elit
masyarakat atau pemerintahan yang melakukan pelanggaran peraturan daerah atau
penegakan disiplin. Pola eselonisasi Satpol PP (Tipe A dan Tipe B) tentu
menjadi bumerang dalam penegakan peraturan daerah di tingkat Kabupaten. Tidak
seluruh pelanggaran yang dapat ditindak oleh Satpol PP. Pelanggaran dan
kejahatan yang sifatnya konvensional tentu merupakan kewenangan aparatur
penegakan hukum lainnya. Untuk itu regulasi batasan yang jelas perlu juga
diatur secara tersendiri.
e.
Kurangnya pemahaman masyarakat dalam menginterprestasikan peraturan daerah
yang khususnya baru dibentuk;
Tidak
dapat dipungkiri bahwa tidak semua masyarakat yang melek hukum. Salah satu dari
penyebab hal tersebut selain dari kurang sosialisasi dan uji publik dari segenap
perangkat daerah terkait, yang harus diakui juga bahwa tidak semua masyarakat
yang tidak dapat menerima diberlakukannya suatu peraturan daerah. Tingkat
kepatuhan masyarakat menjadi minim. Tidak jarang dalam hal ini, Satpol PP yang
notabene hanya menjalankan tugas harus berhadapan secara frontal dengan
masyarakat. Tentunya tindakan persuasif dalam kasus tersebut menjadi prioritas
utama Satpol PP dalam berhadapan dengan masyarakat.
f.
Masih minimnya kualitas SDM Satpol PP;
Sebagai
suatu lembaga independen yang bertanggung jawab langsung kepada Kepala Daerah,
Satpol PP idealnya juga dihuni beberapa personil yang memiliki kompetensi
khusus dan kualitas tertentu terutama dalam berhadapan dengan masyarakat dan
permasalahan terkait advokasi penegakan peraturan daerah.
g.
Masih belum terjalinnya kerjasama yang berlanjut antara Satpol PP dengan
satuan penegakan hukum lainnya.
Penegakan
peraturan daerah membutuhkan kerjasama antar instansi tidak terkecuali terhadap
instansi penegakan hukum konvensional lainnya seperti Kepolisian, Kejaksaan
bahkan Pengadilan. Mencermati dari fungsi dan kewenangan secara luas yang
diberikan oleh Undang-Undang, semstinya ada banyak jalinan silaturahmi berlanjut
yang terbentuk antara Satpol PP dengan aparatur hukum tersebut. Tentunya demi
terciptanya keselarasan tatanan kehidupan di masyarakat, segenap aparatur dapat
bekerja sama termasuk menghilangkan ego sektoral masing-masing. Disamping itu,
ada banyak pula kasus pelanggaran peraturan daerah yang mestinya diperiksa dan
diselesaikan hingga tingkat pengadilan. Namun, sayangnya, tidak banyak yang
dimediakan terkait dengan tindak lanjut pelanggaran peraturan derah.
Tentunya ada banyak koreksi dan evaluasi terkait dengan dinamika
Satpol PP sebagai suatu Lembaga yang mestinya mendapatkan predikat baik di
masyarakat. Namun tentunya koreksi dan evaluasi tersebut membutuhkan niat dan
kerjasama yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak.
Peraturan Daerah yang berhasil dibentuk oleh setiap pemerintah
daerah sangat beragam dan dari segi
kuantitas memiliki progresifitas yang semakin meningkat setiap tahunnya.
Menyikapi hal tersebut, tentu menjadi dilematis tersendiri bagi instansi Satpol
PP yang diberikan kewenangan luas dalam penegakan produk hukum daerah. Untuk
itu, diharapkan agar evaluasi dan rekonsiliasi secara terpadu terkait dengan
peningkatan eksistensi dan kinerja Satpol PP perlu segera dilaksanakan berbagai
pihak.
D. Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan :
Pasal 148 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan
Peraturan Pemerintah Nomor 06 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja memberikan
mandat yang cukup tegas bagi eksistensi Satuan Polisi Pamong Praja. Beragam
permasalahan yang timbul hendaknya dapat dihindarkan apabila memperhatikan hal
tersebut :
1.
Peraturan Daerah yang dibentuk minim sosialisasi;
2.
Peraturan Daerah yang disusun tidak banyak melibatkan perwakilan Satpol PP;
3.
Masih terbatasnya jumlah personil Satpol PP;
4.
Regulasi yang belum memadai terkait dengan status dan kedudukan hukum
Satpol PP;
5.
Kurangnya pemahaman masyarakat dalam menginterprestasikan peraturan daerah
yang khususnya baru dibentuk;
6.
Masih minimnya kualitas SDM Satpol PP; dan
7.
Masih belum terjalinnya kerjasama yang berlanjut antara Satpol PP dengan
satuan penegakan hukum lainnya.
Saran
:
Untuk memaksimalkan peran sesungguhnya dari Satpol PP maka
dibutuhkan koordinasi berbagai pihak dan kerjasama antara instansi terkait
dengan penegakan peraturan daerah.
Daftar Pustaka :
1.
Penulisan Hukum berjudul “Peranan Satuan Polisi
Pamong Praja (Satpol PP) Dalam Penegakan Peraturan Daerah di Kota Medan oleh
Arwin Hasibuan, Universitas Muslim Nusantara Medan, 2013.
2.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2005.
3.
Kompas
berjudul : Rusuh Koja-Dua Anggota DPRD Jadi Korban Satpol PP, 100-an Luka,
tanggal 14 April 2010.
4.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah.
5.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Peraturan Perundang-Undangan.
6.
Peraturan Pemerintah Nomor 06 Tahun 2010 tentang
Satuan Polisi Pmong Praja.
7.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun
2011 tentang Pedoman dan Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar