REFORMASI
BIROKRASI BADAN PERADILAN SEBAGAI UPAYA MENUJU HUKUM SEBAGAI PANGLIMA
Oleh :
JISI NASISTIAWAN, SH., MH
Perancang Madya
Kanwil Kementerian Hukum dan HAM
Bengkulu
A.
PENDAHULUAN
Masalah
penegakan hukum harus menjadi tekad semua instansi penegak hukum dan semua
aparat penegak hukum, dimulai dari Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan.
Penegakan hukum dijadikan suatu gerakan nasional dan aparat penegak hukum
secara bersama. Penanganan kasus-kasus hukum tidak bisa dilakukan secara sendiri-sendiri,
dengan dilakukan kerjasama dan saling mendukungdi antara instansi penegak hukum
diharapkan dapat ditegakkannya hukum.
Medio Mei 1998, terjadi peristiwa ketatanegaraan besar yaitu mundurnya
Soeharto dari kursi presiden RI. Bersamaan dengan itu runtuh
pulal pandangan bahwa
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) bernilai keramat[1] dan tidak dapat diubah. UUD 1945 tidak lagi dianggap sebagai
sesuatu yang sakral yang tidak dapat diubah. Pada tahun 1999 tepatnya pada tanggal 19 Oktober 1999, ditetapkanlah
perubahan UUD 1945 tersebut. Secara berturut-turut hingga terakhir adalah amandemen ke empat yang ditetapkan pada tanggal 10
Agustus 2002. Tentunya ini bukan merupakan amandemen yang benar-benar
terakhir. Amandemen sewaktu-waktu bisa
dilakukan lagi kalau ternyata ada pasal dalam UUD
1945 yang tidak cocok lagi dengan perkembangan
politik, atau muncul aspirasi baru dari masyarakat[2]
Amandemen yang telah dilaksanakan oleh MPR, ternyata telah mempengaruhi sistem politik dan sistem ketatanegaraan Indonesia[3]. Dalam amandemen tersebut ada beberapa lembaga baru yang dibentuk oleh UUD 1945, dan adapula lembaga yang kemudian dihapus. Selain itu pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia lebih banyak diatur, serta berbagai perubahan-perubahan lainnya[4].
Dalam bidang kekuasaan yudikatif,
terdapat perubahan yang cukup signifikan, yang mengatur bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan[5].
Kekuasaan kehakiman ini dilakukan oleh dua lembaga negara[6]
yaitu Mahkamah Agung beserta badan peradilan dibawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer dan
lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Agung merupakan pelaksana
kekuasaan kehakiman yang tugasnya berada dalam lingkup hukum yaitu mengadili
pada tingkat kasasi menilai dan juga menguji peraturan perundang-undangan
dibawah undang-undangan terhadap undang-undang.
Dalam rangka mewujudkan peradilan yang bebas dan mandiri, pemerintah dan
DPR telah membentuk UU Nomor 35 Tahun 1999 yang merevisi UU Nomor 14 Tahun 1970
tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman dan terakhir telah diubah kembali
menjadi UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dimana dalam
ketentuannya mengatur mengenai penyatuan seluruh badan peradilan secara
organisatoris, administratif dan finansial berada dibawah kekuasaan Mahkamah
Agung. Pengalihan tersebut dilatarbelakangi oleh adanya anggapan bahwa
pembinaan lembaga peradilan oleh eksekutif sebagaimana selama ini, maka memberi
peluang bagi eksekutif melakukan intervensi dan berkembangnya KKN dalam proses
peradilan[7].
Jika selama ini berkembang suatu opini
bahwa kebebasan lembaga peradilan sering terhalang karena adanya intervensi lembaga
diluar lembaga peradilan atau dari penguasa, maka dengan adanya peradilan satu
atap dibawah Mahkamah Agung tentunya diharapkan dapat meningkatkan kemandirian
dan kebebasan lembaga peradilan dalam menjalankan tugas yudikatif.
Namun hendaknya kebijakan ini segera
diikuti dengan perbaikan dan pembenahan berbagai persoalan yang selama ini
meliputi lembaga Mahkamah Agung, mulai dari persoalan sarana prasarana
peradilan yang minim, hingga kepada personel hakim dan tenaga teknis peradilan
lainnya yang sudah merupakan rahasia umum jika banyak oknum-oknum pejabat
lembaga peradilan tersebut terkait dan terindikasi melakukan KKN dalam
penyelesaian suatu perkara atau istilahnya jual beli perkara.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka
reformasi birokrasi menjadi suatu keniscayaan untuk memulai kembali perbaikan
citra lembaga peradilan yang terpuruk dan berpredikat sebagai terkorup.
Reformasi birokrasi ini meliputi banyak hal terutama menyangkut segi pelayanan
peradilan, maupun dari segi sumber daya manusia yang berada dalam lingkungan
badan peradilan itu sendiri.
B. Reformasi Birokrasi Badan Peradilan Dan Implikasinya
Terhadap Penegakan Hukum Di Indonesia
Penegakan
hukum sangat penting, sebab tanpa penegakan yang tegas, hukum tidak akan berperan sebagai sarana yang efektif dari
pembaharuan masyarakat dan sarana mengatur tertib penyelenggaraan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Menegakkan hukum bukanlah hal yang
mudah, tetapi bukan pula hal yang tidak mungkin dilaksanakan[8].
Setelah puluhan tahun supremasi hukum
dan keadilan yang didambakan oleh masyarakat tak jua kunjung datang, bahkan
keterpurukan hukum di Indonesia semakin menjadi-jadi. Kepercayaan masyarakat
terhadap law enforcement semakin memburuk, tidak sekedar pada tingkat bad trust society tetapi sudah pada
tingkat worst trust society[9].
Sementara itu gejala dalam
masyarakatpun turut berperan dalam tidak berjalannya hukum. Untuk menyelesaikan
perkara yang tengah dihadapinya, mereka tidak segan-segan untuk mengeluarkan
sejumlah uang agar dapat bebas atau memenangkan suatu perkara.
Keadaan ini tentunya sangat disayangkan
terjadi dalam negara yang disebut sebagai negara hukum, dan harus segera
diperbaiki. Konsep negara hukum harus segera dilaksanakan sebagaimana kehendak
UUD 1945. Upaya ini tentunya juga untuk menjamin tegaknya demokrasi dan
keadilan dalam negara Indonesia.
Indonesia telah memilih hukum sebagai
dasar bagi pemerintahannya. Negara hukum sebagaimana dimaksudkan oleh UUD 1945
adalah negara berdasarkan hukum. Konsep rechtsstaat ini merupakan dasar yang
baik bagi hak-hak asasi manusia. Hanya di negara hukum, hak asasi manusia
dijamin sebagaimana kemandirian peradilan, due
process of law (asas legalitas) dan judicial
review[10].
Lawrence Meir Friedman[11]
dalam bukunya American Law : An
Introduction mengemukakan bahwa hukum mempunyai tiga elemen penting yaitu :
1.
Structure (tatanan kelembagaan)
Struktur adalah rangka atau
kerangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Di
Indonesia struktur sistem hukum adalah termasuk struktur institusi penegak hukum yaitu kepolisian, kejaksaan,
dan pengadilan.
2.
Substance
(materi hukum)
Materi hukum adalah aturan, norma dan
perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi juga berarti
yang dihasilkan oleh orang yang berada
didalam sistem hukum, mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru
yang mereka susun, termasuk juga hukum yang hidup (living law).
3.
Legal Culture (budaya hukum)
Budaya hukum adalah sikap manusia
terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta
harapannya. Pemikiran dan pendapat ini sedikit banyak menentukan jalannya
proses hukum. Dengan kata lain, kultur hukum adalah suasana pikiran sosial dan
kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari dan
disalahgunakan.
Sedangkan menurut Badan Pembinaan Hukum
Nasional, unsur-unsur sistem hukum adalah[12]
:
1.
Materi hukum (tatanan hukum), termasuk didalamnya ialah :
a.
Perencanaan hukum
b.
Pembentukan hukum
c.
Penelitian hukum, dan
d.
Pengembangan hukum.
Untuk membentuk materi hukum harus diperhatikan politik
hukum yang telah ditetapkan yang dapat berbeda dari waktu ke waktu karena
adanya kepentingan dan kebutuhan.
2.
Aparatur Hukum yakni mereka yang mempunyai tugas dan fungsi
:
a.
penyuluhan hukum
b.
penerapan hukum
c.
penegakan hukum, dan
d.
pelayanan hukum
Adanya aparatur hukum tertentu tidak bisa dilepaskan
kaitannya dengan politik hukum yang dianut.
3.
Sarana dan Prasarana hukum
4.
Budaya hukum yang dianut oleh warga masyarakat, termasuk
para pejabatnya.
5.
Pendidikan hukum.
Permasalahan hukum yang dihadapi oleh
bangsa Indonesia adalah berkaitan dengan unsur-unsur sistem hukum sebagaimana
dimaksud oleh Friedman atau BPHN.
C.F.G. Sunaryati Hartono[13]
menyatakan jika kita melihat hukum itu sebagai suatu sistem yang terdiri dari
banyak faktor yang saling berkaitan dan saling pengaruh mempengaruhi,
sedemikian rupa sehingga apabila salah satu faktor tidak berfungsi, maka sebuah
sistem hukum tidak berfungsi sebagaimana mestinya, atau apabila salah satu
faktor berubah, maka semua faktor dari sistem Hukum itu juga harus diubah agar
Sistem Hukum itu tetap berfungsi.
Dalam rangka pemecahan permasalahan
hukum sebagaimana telah diuraikan di atas, maka Mahkamah Agung sebagai induk
dari lembaga peradilan yang ada di Indonesia, telah berupaya membenahi
kelembagaan peradilan menuju peradilan yang bersih melalui program reformasi
birokrasi di lingkungan Mahkamah Agung. Reformasi birokrasi diperlukan dalam rangka memangkas
prosedur birokrasi yang tidak strategis, merampingkan struktur organisasi,
memperkuat sistem pembinaan dan pengawasan internal maupun ekternal, memberikan
akses yang luas bagi masyarakat melakukan pengawasan[14].
Reformasi birokrasi di tubuh Mahkamah
Agung harus meliputi dua hal utama yaitu administrasi publik dan pelayanan
publik. Kedua isu sentral tersebut merupakan pokok permasalahan yang selama ini
menjadi bahan pembicaraan masyarakat, akademisi dan praktisi hukum baik di
seminar-seminar dan workshop-workshop tentang hukum baik di dalam maupun di
luar negeri. Carut-marut dunia hukum di negeri ini tidak terlepas dari sistem
administrasi publik dan pelayanan publik yang selama ini dianut oleh Mahkamah
Agung itu sendiri. Selain dari kedua hal tersebut kebijakan publik yang selama
ini menaungi dan memayungi Mahkamah Agung pun perlu dikaji secara mendalam
untuk menemukan suatu akar masalah yang selama ini menyelimuti Mahkamah Agung
baik secara kelembagaan maupun sumber daya manusia[15].
Walaupun secara formal Reformasi
Birokrasi di Mahkamah Agung dimulai sejak ditetapkannya Mahkamah Agung
sebagai salah satu instansi percontohan pelaksanaan RB pada tahun 2008,
sejatinya Reformasi Birokrasi di Mahkamah Agung sudah dimulai
sejak tahun 2003, ketika diterbitkannya Cetak Biru (Blueprint) Pembaruan Peradilan sebagai pedoman kegiatan-kegiatan di
Mahkamah Agung[16].
Ada 5 (lima) hal yang disebutkan dalam Blueprint Pembaruan Peradilan 2003 ini,
yaitu pembaruan-pembaruan dalam bidang :
1.
Manajemen Sumber Daya Manusia,
2.
Manajemen Keuangan,
3.
Manajemen Teknologi Informasi,
4.
Manajemen Perkara, dan
5.
Manajemen Pengawasan.
Dalam
perkembangannya, Cetak Biru ini mengalami penyempurnaan, apalagi karena
terdorong oleh penunjukan Mahkamah Agung sebagai salah satu instansi percontohan pelaksanaan Reformasi Birokrasi tahun 2008.
Setelah
dikaji melalui proses yang panjang dan banyak melibatkan pemangku kepentingan (stakeholder), Cetak Biru ini pada tahun
2010 secara resmi dikembangkan, antara lain dengan ditentukannya Visi Mahkamah Agung yang baru, yaitu “Terciptanya Badan Pengadilan
di Indonesia Yang Agung”. Dalam Cetak Biru itu disusun pula Misi Mahkamah Agung yang
baru, yaitu :
1.
Menjaga kemandirian badan peradilan,
2.
Memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan kepada pencari
keadilan,
3.
Meningkatkan kualitas kepemimpinan badan peradilan, dan
4.
Meningkatkan kredibilitas & transparansi badan
peradilan.
Cetak
Biru Pengembangan ini juga ditentukan sebagai acuan pengembangan dan pembaruan
MA selama 25 tahun ke depan, yaitu sejak 2010 sampai 2035. Dalam prakteknya,
disusun pula rencana-rencana strategis lima tahunan, yang kemudian dibreak-down menjadi
perencanaan-perencanaan tahunan.
Dalam rangka mempercepat pelaksanaan reformasi birokrasi di tubuh
Mahkamah Agung maka dikeluarkannya program Quick Wins sebagai program unggulan yang harus
segera dilakukan setelah ditetapkan sebagai instansi percontohan Reformasi Birokrasi,
yang dari waktu ke waktu terus diupayakan pelaksanaannya baik di
lingkungan Mahkamah Agung sendiri, maupun di
pengadilan-pengadilan. Pelaksanaan Quick Wins terdiri dari :
1.
Transparansi putusan peradilan,
2.
Pengembangan Teknologi Informasi
3.
Implementasi pedoman perilaku hakim,
4.
Pendapatan Negara Bukan Pajak, PNBP, dan
5.
Analisa pekerjaan, evaluasi pekerjaan dan
remunerasi/tunjangan kinerja.
Saat ini capaian yang telah
dihasilkan
seperti publikasi putusan pada situsweb MA dan pengadilan-pengadilan, putusan
pada AsianLII, pembangunan situsweb di pengadilan-pengadilan, pembangunan
Information Desk, termasuk meja pengaduan, di MA dan pengadilan-pengadilan,
sosialisasi dan diklat PPH, pencantuman biaya kepaniteraan sebagai PNBP pada
biaya perkara, penyusunan diskripsi pekerjaan tiap pegawai, pelaksanaan
remunerasi dan lainnya[17].
Namun demikian, hasil yang telah dicapai tersebut belum sepenuhnya
dianggap berhasil oleh sebagian kalangan. Seperti yang dirilis oleh Indonesia Corruption Wacth (ICW). Gagalnya reformasi itu, menurut ICW,
terlihat dengan perbaikan mahkamah yang berdasar pada cetak biru pembaharuan MA
tahun 2003. Terutama pada sektor pelayanan publik dengan konsentrasi pada dua bidang yaitu
pelayanan perkara dan pengelolaan keuangan. Pada bidang
pelayanan, masyarakat
masih kesulitan untuk mengakses pada pelayanan perkara. Keterbukaan perkara sejatinya
diwujudkan melalui publikasi di situs putusan.net, tetapi isinya tidak up to date. Salinan putusan, masih sulit untuk didapatkan seperti pada
putusan kasus korupsi dengan terdakwa Rahardi Ramelan yang mana salinan
putusan baru didapat setelah dua tahun divonis[18]. Terkait
dengan pengelolaan keuangan, MA masih tertutup. Hal ini terkait dengan tidak
adanya laporan keuangan yang menimbulkan dugaan kuat adanya rekening liar di
MA. Menurut temuan Badan Pemeriksa Keuangan tahun 2005 terdapat lima rekening
atas nama Bagir Manan, mantan Ketua MA. "Ternyata tahun 2008 Departemen
Keuangan mengungkapkan adanya 102 rekening bermasalah di MA. Departemen Keuangan
sendiri telah angkat tangan dan telah melaporkannya ke Komisi Pemberantasan
Korupsi[19].
Berbagai kemungkinan yang diungkapkan oleh ICW mengenai tidak
berhasilnya reformasi birokrasi ini patut menjadi catatan bagi pimpinan di
Mahkamah Agung sebagai suatu kritik yang membangun dalam rangka perbaikan
konsep maupun pelaksanaan reformasi birokrasi. Adanya beberapa kasus yang
melibatkan hakim, setidaknya menjadikan gambaran bahwa perlu ada perbaikan
mentalitas sumber daya manusia pada Mahkamah Agung, karena sebagaimana
ditegaskan oleh Bagir Manan bahwa martabat hakim ditentukan juga oleh tatanan
lingkungan yang menawarkan berbagai godaan yang dapat menurunkan martabatnya,
yang karenanya tidak layak baginya menjadi hakim[20].
Proses perbaikan
Mahkamah Agung baik secara kelembagaan maupun sumber daya manusia mutlak
diperlukan bagi pembangunan hukum indonesia ke depan. Maju atau mundurnya suatu
bangsa salah satunya terletak pada Hakim sebagai pelaksana atau corong
Undang-Undang yang berada pada garis terdepan. Para Hakim adalah penafsir
Undang-Undang secara nyata (in concreto)
di lapangan sehingga tindak-tanduk, pola prilaku hakim baik dalam proses
persidangan dan pengambilan putusan secara langsung maupun tidak langsung akan
membentuk wajah hukum Indonesia.
Demikian pula dalam hal layanan publik atas kemudahan akses terhadap putusan dan jadual persidangan, serta keterbukaan masalah keuangan, konsep transparansi ini sangat diperlukan untuk menghapuskan budaya korupsi, kolusi dan nepotisme di lembaga peradilan.
Demikian pula dalam hal layanan publik atas kemudahan akses terhadap putusan dan jadual persidangan, serta keterbukaan masalah keuangan, konsep transparansi ini sangat diperlukan untuk menghapuskan budaya korupsi, kolusi dan nepotisme di lembaga peradilan.
C.
KESIMPULAN
Reformasi Birokrasi di lingkungan
Mahkamah Agung adalah merupakan suatu hal yang harus segera diperbaiki dan
dilaksanakan untuk memperbaiki citra Mahkamah Agung yang sempat terpuruk karena
pengaruh kinerja para aparat lembaga peradilan tersebut yang terkesan lamban
dan korup. Perbaikan birokrasi mencakup bidang administrasi kelembagaan,
pelayanan publik, dan sumber daya manusia yang meliputi hakim, panitera, dan
staf.
DAFTAR
PUSTAKA
A.A Oka Mahendra,
Reformasi Pembangunan Hukum Dalam
Perspektif Peraturan Perundang-Undangan, Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2006.
Achmad
Ali, Keterpurukan Hukum Di Indonesia
(Penyebab dan Solusinya), Penerbit Ghalia Indonessia,
Jakarta 2002.
Akbar, Reformasi Birokrasi di MA dan Pengadilan di Bawahnya:
Banyak Hal Yang Telah Dilakukan, diunduh dari situs http://www.pa-sukoharjo.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=310:reformasi-birokrasi-di-ma-dan-pengadilan-di-bawahnya-banyak-hal-yang-telah-dilakukan&catid=38:pa-sukoharjo&Itemid=53
Arry Anggadha, Purborini , Reformasi Birokrasi Mahkamah Agung
Gagal, Pelayanan
Publik Dan Keterbukaan Penanganan Perkara Masih Jauh Di Bawah Harapan. Diunduh dari
situs http://nasional.vivanews.com/news/read/19328-reformasi_birokrasi_mahkamah_agung_gagal
C.F.G.
Sunaryati Hartono, Peranan Hakim Dalam
Proses Pembentukan Hukum, Dalam Majalah Hukum Nasional Nomor 1, 2003 BPHN,
2003.
Harun
Al Rasyid, Membangun Indonesia Baru
dengan Undang-Undang Dasar Baru (Menanti Kelahiran Republik Kelima), dalam
Naskah UUD 1945 Sesudah Empat Kali di Ubah oleh MPR, Penerbit Universitas
Indonesia (UI-Press), Jakarta, 2004.
Oemar Seno Adji dan Indriyanto Seno
Adji, Peradilan Bebas, & Contempt of
Court, Diadit Media, Jakarta, 2007
Romli
Atmasasmita, Menata Kembali Masa Depan
Pembangunan Hukum Nasional, Dalam Majalah Hukum Nasional Nomor 1, 2003,
BPHN, 2003
Sabela Gayo, Reformasi Birokrasi Mahkamah Agung, diunduh dari situs http://www.alabaspos.com/view.1114.868.Reformasi-Birokrasi-Mahkamah-Agung-.html
Satya Arinanto,
Kumpulan Materi Transparansi Politik Hukum (bahan ajar).
Sunarno,
Implikasi Kelembagaan Atas Sistem
Peradilan Satu Atap Pada Mahkamah Agung, Makalah pada Rapat
koordinasi/Workshop Mahkamah Agung, Medan, 2004.
Taufiqurrohman
Syahuri, Hukum Konstitusi, Proses Dan
Prosedur Perubahan UUD Di Indonesia 1945-2002 Serta Perbandingannya dengan
Konstitusi Negara Lain, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2004.
Todung
Mulya Lubis, In Search Of Human Right,
Legal Political Dilemmas Of Indonesia’s, A Dissertation Submitted to Boalt
Hall Law School in Partial Fulfillment of the Candidacy for the Degree of Juris
Sciente Doctor, Berkeley, California, 1990.
[1] Taufiqurrohman Syahuri, Hukum Konstitusi, Proses Dan Prosedur
Perubahan UUD Di Indonesia 1945-2002 Serta Perbandingannya dengan Konstitusi
Negara Lain, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2004, hal. 1.
[2] Harun Al Rasyid, Membangun Indonesia Baru dengan
Undang-Undang Dasar Baru (Menanti Kelahiran Republik Kelima), dalam Naskah
UUD 1945 Sesudah Empat Kali di Ubah oleh MPR, Penerbit Universitas Indonesia
(UI-Press), Jakarta, 2004 hal. 163.
[3] Romli Atmasasmita, Menata Kembali Masa Depan Pembangunan Hukum
Nasional, Dalam Majalah Hukum Nasional Nomor 1, 2003, BPHN, 2003 hal. 1
[4] Lihat UUD 1945 yang telah
diamandemen
[5] Republik Indonesia, UUD
1945 Pasal 24 ayat 1 amandemen ketiga
[6] Republik Indonesia, UUD
1945 Pasal 24 ayat 2 amandemen ketiga
[7] Sunarno, Implikasi Kelembagaan Atas Sistem Peradilan
Satu Atap Pada Mahkamah Agung, Makalah pada Rapat koordinasi/Workshop
Mahkamah Agung, Medan, 2004.
[8] A.A Oka Mahendra, Reformasi Pembangunan Hukum Dalam Perspektif
Peraturan Perundang-Undangan, Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2006, hal.
262.
[9] Achmad Ali, Keterpurukan Hukum Di Indonesia (Penyebab
dan Solusinya), Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta 2002, hal. 10
[10] Todung Mulya Lubis, In Search Of Human Right, Legal Political
Dilemmas Of Indonesia’s, A Dissertation Submitted to Boalt Hall Law School
in Partial Fulfillment of the Candidacy for the Degree of Juris Sciente Doctor,
Berkeley, California, 1990.
[11] Achmad Ali, Op.Cit, hal. 7-9
[12] Satya Arinanto, Kumpulan Materi Transparansi Politik Hukum
(bahan ajar).
[13] C.F.G. Sunaryati Hartono, Peranan Hakim Dalam Proses Pembentukan Hukum,
Dalam Majalah Hukum Nasional Nomor 1, 2003 BPHN, 2003 hal. 7
[14]Sabela Gayo, Reformasi Birokrasi Mahkamah Agung, diunduh dari situs http://www.alabaspos.com/view.1114.868.Reformasi-Birokrasi-Mahkamah-Agung-.html
[15] Ibid
[16] Akbar, Reformasi Birokrasi di MA dan Pengadilan di Bawahnya:
Banyak Hal Yang Telah Dilakukan, diunduh dari situs http://www.pa-sukoharjo.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=310:reformasi-birokrasi-di-ma-dan-pengadilan-di-bawahnya-banyak-hal-yang-telah-dilakukan&catid=38:pa-sukoharjo&Itemid=53
[17] Ibid.
[18]Arry Anggadha, Purborini ,
Reformasi
Birokrasi Mahkamah Agung Gagal, Pelayanan Publik Dan
Keterbukaan Penanganan Perkara Masih Jauh Di Bawah Harapan. Diunduh dari situs http://nasional.vivanews.com/news/read/19328-reformasi_birokrasi_mahkamah_agung_gagal
[19] Ibid
[20] Oemar Seno Adji dan
Indriyanto Seno Adji, Peradilan Bebas,
& Contempt of Court, Diadit Media, Jakarta, 2007, hal. 15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar