Selasa, 26 Februari 2013

Hak Asasi Manusia Wartawan

Wartawan dan Hak Asasi Manusia
30 September 2010
Wartawan dan Hak Asasi Manusia

OLEH : AGUS PURWANTO *)

Dalam tahun 2010 sampai dengan saat ini (Agustus 2010) setidaknya telah 42 wartawan di seluruh dunia tewas dalam menjalankan tugas jurnalistiknya, bahkan dalam tahun 2007 terdapat 172 wartawan tewas, setelah sebelumnya - tahun 2006 - sebanyak 168 wartawan juga tewas. Sementara di Indonesia, baru saja kita dikejutkan dengan tewasnya Ridwan Salamun, wartawan Sun TV yang tengah meliput bentrok antar warga di kota Tual Maluku Tenggara, hari Sabtu 21 Agustus 2010. "Ridwan yang terjebak di tengah massa tiba-tiba dibacok dari belakang lalu dianiaya oleh sekelompok warga bersenjata tanpa ada yang yang menolong", demikian tulis Viva News yang dilansir dalam beritanya tanggal 22 Agustus 2010.

Kematian Ridwan adalah contoh yang semakin memperpanjang kekerasan yang dilakukan oleh oknum atau orang yang tidak dikenal kepada para wartawan dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya. Sebelumnya ada Udin wartawan Bernas Yogyakarta, Anak Agung Prabangsa Wartawan Radar Bali, Marlon Mra-mra wartawan TV Mandiri Papua, Ardiansah Matarais wartawan Merauke TV dan sebagainya. Akan terlampau panjang kalau di tulis semua disini. Setidaknya, menurut AJI (Aliansi Jurnalis Indonesia) dalam tahun 2010 ini terdapat 40 kasus kekerasan dialami wartawan Indonesia, setelah sebelumnya ada sekitar 38 kasus.

Kondisi ini tentu memprihatinkan, karena wartawan adalah insan pers yang bertugas mencari, mengumpulkan dan mengolah informasi menjadi berita untuk disiarkan melalui media massa, baik cetak maupun elektronik, sehingga naluri manusia untuk tahu dan memberitahu dapat terpenuhi oleh tugas yang mulia ini. Tugas wartawan merupakan bagian dari kebebasan menyampaikan pendapat yang merupakan hak yang paling mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang dilindungi hukum, baik hukum internasional maupun nasional.

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pasal 19 misalnya menyatakan, bahwa "setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima, menyampaikan keterangan-keterangan, pendapat dengan cara apapun serta dengan tidak memandang batas-batas". Begitupun dalam pasal 19 ayat (2) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik menyatakan, bahwa "setiap orang berhak mengemukakan pendapat, hak itu harus meliputi kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan semua jenis pemikiran terlepas dari pembatasan-pembatasan, secara lisan, tulisan atau cetakan dalam bentuk karya seni atau melalui sarana lain yang menjadi pilihannya sendiri."

Kemudian, dalam konstitusi kita pasal 28 menegaskan, bahwa "kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang". Ketentuan ini telah ditindaklanjuti dengan Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 23 ayat (2) yang tegas menyatakan, bahwa "setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa". Dalam Undang-undang Pokok Pers dalam pasal 2 dengan lebih tegas menyatakan, bahwa "kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum".

Dengan demikian, maka kebebasan pers yang diaktualisasikan melalui tugas-tugas jurnalistik oleh para wartawan telah dengan dan tegas dijamin pelaksanaannya. Pertanyaannya, bagaimanakah kebebasan menyatakan pendapat termasuk oleh wartawan tersebut dilaksanakan? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan pasal 19 ayat (3) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang menyatakan, bahwa "palaksanaan hak-hak yang diberikan (tersebut di atas pasal 19 ayat 2) menimbulkan kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab khusus. Oleh karena itu dapat dikenai pembatasan-pembatasan tertentu, tetapi hal ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan hukum dan hanya sepanjang diperlukan untuk :a) menghormati hak-hak dan nama baik orang lain, dan b) melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau kesusilaan umum".

Begitupun dalam pasal 70 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan, bahwa "dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis". Secara lebih spesifik pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menyatakan, bahwa "pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah".

Menghormati asas praduga tak bersalah berarti berita harus fakta bukan dusta. Bila muncul opini, tetapi informasinya tidak jelas atau samar-samar, maka pers atau wartawan hendaknya mampu mengendalikan diri untuk tidak memberitakannya. Namun bila khilaf atau salah telah dilakukan wartawan/pers, dapat ditempuh dengan menggunakan hak jawab atau hak koreksi sebagaimana diatur dalam pasal 5 ayat 2 dan 3 Undang-undang Pokok Pers. Jalur lain dapat ditempuh dengan mediasi yang diperankan oleh Dewan Pers, dan jaur hukum yang diperankan oleh aparat penegak hukum (pengadilan). Layak juga dikembangkan adalah jalur rekonsiliasi atau perdamaian. Dengan demikian akan terjadi pembelajaran bersama antara media massa (wartawan) dan masyarakat, dan bukun dengan cara kekerasan apalagi pembunuhan.

*) Kasubdit Legislasi dan Harmonisasi HAM

Direktorat Kerjasama HAM, Ditjen HAM

Tidak ada komentar:

Hero Herlambang Bratayudha, SH - Rayhan Yusuf Mirshab