Senin, 04 Maret 2013

TAP MPR dalam Peraturan Perundang-Undangan

EKSISTENSI
KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT
DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
  
Latar Belakang

Adanya perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) telah membawa perubahan mendasar dalam kehidupan ketatanegaraan kita. Salah satu perubahan tersebut ialah terjadinya perubahan struktur kelembagaan negara yang berlaku di Negara Republik Indonesia.
Lembaga negara merupakan lembaga pemerintahan negara yang berkedudukan di pusat yang fungsi, tugas, dan kewenangannya diatur secara tegas dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945). Sebelum dilakukan perubahan terhadap UUD 1945 terdapat enam lembaga tinggi/tertinggi negara, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi Negara dan Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Agung (MA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sebagai lembaga tinggi negara. Pasca perubahan UUD 1945, terdapat 8 (delapan) lembaga negara yang diberi­kan kekuasaan secara langsung oleh konstitusi[1] dengan kedudukan yang sama dan sejajar, yaitu Presiden, MPR, DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), BPK, MA, dan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY).
MPR diberikan kedudukan yang sama dan sejajar dengan lembaga negara lain dapat diartikan bahwa MPR bukan satu-satunya lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat, setiap lembaga yang mengemban tugas-tugas politik negara dan pemerintahan adalah pelaksana kedaulatan rakyat dan harus tunduk dan bertanggung jawab kepada rakyat. Hal tersebut dapat dilihat dari ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 setelah perubahan yang berbunyi: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Sebagai pembanding, rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan me­nyatakan bahwa “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
Berubahnya kedudukan, tugas, dan wewenang MPR tersebut memang tidak berarti menghilangkan peran penting MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Kewenangan MPR diatur dalam UUD 1945 yaitu:
a.    mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar (Pasal 3 ayat (1) UUD 1945);
b.   melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan hasil pemilihan umum dalam Sidang Paripurna MPR (Pasal 3 ayat (2) UUD 1945);
c. memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD (Pasal 3 ayat (3) UUD 1945);
d. melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jaba­tannya; memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diajukan Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari (Pasal 8 ayat (2) UUD 1945); dan
e.  memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya, dari dua paket calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang paket calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan sebelumnya, sampai habis masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu tiga puluh hari (Pasal 8 ayat (3) UUD 1945).

Dengan demikian, MPR merupakan lembaga negara yang mempunyai eksistensi dalam sebuah bangunan Negara dan MPR secara konstitusional diberikan fungsi dan wewenang sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dan Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Meskipun fungsi dan kewenangan MPR hanya sebatas yang tercantum dalam pasal-pasal dan ayat-ayat diatas, namun pada hakekatnya substansi yang diatur didalamnya menyangkut hal-hal yang sangat penting dan mendasar dalam kehidupan bernegara. Selain itu, substansi yang diatur terkait dengan rujukan hukum tertinggi di Indonesia yaitu UUD 1945 dan terkait dengan kekuasaan eksekutif tertinggi yaitu Presiden dan Wakilnya.

Pokok Permasalahan

Berdasarkan uraian di atas maka dalam makalah ini permasalahan yang akan dibahas yaitu mengenai bagaimana eksistensi Tap MPR dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang PPembentukan Peraturan Perundang-undangan? 


Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Di Indonesia

   Sejak 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memulai sejarahnya sebagai sebuah bangsa yang masih muda dalam menyusun pemerintahan, politik, dan administrasi negaranya. Landasan berpijaknya adalah ideologi Pancasila yang diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri beberapa minggu sebelumnya dari penggalian serta perkembangan budaya masyarakat Indonesia dan sebuah UUD 1945 (sebelum perubahan) baru ditetapkan keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

  Sebelum adanya perubahan terhadap UUD 1945 lembaga negara terdiri dari lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara. Konsepsi penyelenggaraan negara yang demokratis oleh lembaga-lembaga negara tersebut sebagai perwujudan dari Sila Keempat Pancasila yang mengedepankan prinsip demokrasi perwakilan. Kehendak untuk mengejawantahkan aspirasi rakyat dalam sistem perwakilan, untuk pertama kalinya dilontarkan oleh Bung Karno, pada pidatonya tanggal 01 Juni 1945. Muhammad Yamin juga mengemukakan perlunya prinsip kerakyatan dalam konsepsi penyelenggaraan negara.

   Begitu pula dengan Soepomo yang mengutarakan idenya akan Indonesia merdeka dengan prinsip musyawarah dengan istilah Badan Permusyawaratan. Ide ini didasari oleh prinsip kekeluargaan, dimana setiap anggota keluarga dapat memberikan pendapatnya.

    Dalam rapat Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, Soepomo menyampaikan bahwa ‘’Badan Permusyawaratan’’ berubah menjadi ‘’Majelis Permusyawaratan Rakyat’’ dengan anggapan bahwa majelis ini merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, yang mana anggotanya terdiri atas seluruh wakil rakyat, seluruh wakil daerah, dan seluruh wakil golongan. Konsepsi Majelis Permusyawaratan Rakyat inilah yang akhirnya ditetapkan dalam Sidang PPKI pada acara pengesahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amandemen).

  1. Masa Orde Lama (1945-1965)
Pada awal masa Orde Lama, MPR belum dapat dibentuk secara utuh karena gentingnya situasi saat itu. Hal ini telah diantispasi oleh para pendiri bangsa dengan Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum perubahan) menyebutkan, Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional.

Pada masa berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (1949-1950) dan Undang-Undang Dasar Sementara (1950-1959), lembaga MPR tidak dikenal dalam konfigurasi ketatanegaraan Republik Indonesia.

Di tengah perdebatan yang tak berujung pangkal, pada tanggal 22 April 1959 Pemerintah menganjurkan untuk kembali ke UUD 1945, tetapi anjuran ini pun tidak mencapai kesepakatan di antara anggota Konstituante.

Dalam suasana yang tidak menguntungkan itu, tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang berisikan :
a.    Pembubaran Konstituante;
b. Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUD Sementara 1950; dan
c.    Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).

Untuk melaksanakan Pembentukan MPRS sebagaimana diperintahkan oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959 yang mengatur Pembentukan MPRS sebagai berikut :
a.  MPRS terdiri atas Anggota DPR Gotong Royong ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan;
b.   Jumlah Anggota MPRS ditetapkan oleh Presiden;
c.   Yang dimaksud dengan daerah dan golongan-golongan ialah Daerah Swatantra Tingkat I dan Golongan Karya;
d. Anggota tambahan MPRS diangkat oleh Presiden dan mengangkat sumpah menurut agamanya di hadapan Presiden atau Ketua MPRS yang dikuasakan oleh Presiden; dan
e.  MPRS mempunyai seorang Ketua dan beberapa Wakil Ketua yang diangkat oleh Presiden.

Pada tanggal 30 September 1965 terjadi peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI. MPRS yang pembentukannya didasarkan pada Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan selanjutnya diatur dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959, setelah terjadinya pemberontakan G-30-S/PKI, Penetapan Presiden tersebut dipandang tidak sesuai lagi.

Rakyat yang merasa telah dikhianati oleh peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI mengharapkan kejelasan pertangungjawaban Presiden Soekarno mengenai pemberontakan G-30-S/PKI berikut epilognya serta kemunduran ekonomi dan akhlak. Tetapi, pidato pertanggungjawaban Presiden Soerkarno yang diberi judul ”Nawaksara” ternyata tidak memuaskan MPRS sebagai pemberi mandat. Ketidakpuasan MPRS                diwujudkan dalam Keputusan MPRS Nomor 5 Tahun 1966 yang meminta Presiden Soekarno melengkapi pidato pertanggungjawabannya.

Walaupun kemudian Presiden Soekarno memenuhi permintaan MPRS dalam suratnya tertangal 10 januari 1967 yang diberi nama “Pelengkap Nawaksara”, tetapi ternyata tidak juga memenuhi harapan rakyat.

Dalam kaitan itu, MPRS mengadakan Sidang Istimewa untuk memberhentikan Presiden Soekarno dari jabatan Presiden/Mandataris MPRS dan memilih/mengangkat Letnan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden/Mandataris sesuai Pasal 3 Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966, serta memerintahkan Badan Kehakiman yang berwenang untuk mengadakan pengamatan, pemeriksaan, dan penuntutan secara hukum.

  1. Masa Reformasi (1999- sekarang)
Bergulirnya reformasi yang menghasilkan perubahan konstitusi telah mendorong para pengambil keputusan untuk tidak menempatkan MPR dalam posisi sebagai lembaga tertinggi. Setelah reformasi, MPR menjadi lembaga negara yang sejajar kedudukannya dengan lembaga-lembaga negara lainnya, bukan lagi penjelmaan seluruh rakyat Indonesia yang melaksanakan kedaulatan rakyat.

Adanya Perubahan terhadap UUD 1945 yang telah dilakukan sebanyak 4 (empat) kali[2] telah mendorong penataan ulang posisi lembaga-lembaga negara terutama mengubah kedudukan, fungsi dan kewenangan MPR yang dianggap tidak selaras dengan pelaksanaan prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat sehingga sistem ketatanegaraan dapat berjalan optimal.

Pasal 1 ayat (2) yang semula berbunyi: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”, setelah perubahan UUD 1945 diubah menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Dengan demikian pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak lagi dijalankan sepenuhnya oleh sebuah lembaga negara, yaitu MPR, tetapi melalui cara-cara dan oleh berbagai lembaga negara yang ditentukan oleh UUD 1945.

Tugas, dan wewenang MPR secara konstitusional diatur dalam Pasal 3 UUD 1945, yang sebelum maupun setelah perubahan salah satunya mempunyai tugas mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar sebagai hukum dasar negara yang mengatur hal-hal penting dan mendasar. Oleh karena itu dalam perkembangan sejarahnya MPR dan konstitusi yaitu UUD 1945 mempunyai keterkaitan yang erat seiring dengan perkembangan ketatanegaraan Indonesia.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Hierarkhi Peraturan Perundang-undangan

Dalam sejarahnya, mulai dari berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara 1950 sampai dengan UUD 1945 baik sebelum maupun sesudah dilakukan perubahan, UUD 1945 tidak mengatur secara jelas mengenai hierarki peraturan perundang-undangan. Namun demikian UUD 1945 hanya mengatur mengenai 3 (tiga) jenis peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) dan Peraturan Pemerintah (PP). [3]

Hierarkhi peraturan perundang-undangan pertama kali diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang Dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 mengatur bahwa jenis peraturan-peraturan Pemerintah Pusat terdiri dari Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri.[4] Dengan demikian berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1950, Tap MPR belum masuk dalam hierarkhi peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya hierarkhi peraturan perundang-undangan diatur dalam Lampiran II Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia dengan urutan UUD 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden. Selain itu diatur juga beberapa jenis peraturan pelaksanaan seperti Peraturan Menteri dan Instruksi Menteri.[5] Pada saat itu Tap MPR memuat garis-garis besar dalam bidang legislative yang dilaksanakan dengan undang-undang dan memuat pula garis-garis besar bidang eksekutif yang dilaksanakan dengan Keputusan Presiden.[6] Dengan demikian Tap MPR mulai dimasukkkan dalam hierarkhi peraturan perundang-undangan.

Pada tahun 2000 ditetapkan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan yang mencabut Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia. Dalam Tap MPR Nomor IIII/MPR/2000, hierarki peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 2 yaitu UUD 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah. Kemudian Pasal 3 ayat (2) Tap MPR Nomor III/MPR/2000 mengatur bahwa Tap MPR merupakan putusan MPR pengemban kedaulatan rakyat yang ditetapkan dalam sidang-sidang MPR.[7] Tap MPR tetap dimasukkan dalam hierarki peraturan perundang-undangan karena pada saat itu MPR masih merupakan lembaga tertinggi negara pemegang kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan yang mengatur bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Pada Tahun 2004 Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan dicabut dan digantikan dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, hierarki peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dengan urutan UUD 1945, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah. Dengan demikian berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004, Tap MPR tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya tanggal 12 Agustus 2011 disahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU No. 12 Tahun 2011) yang mencabut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam UU ini hierarki peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) sebagai berikut:
1.   UUD 1945;
2.   Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3.   Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4.   Peraturan Pemerintah;
5.   Peraturan Presiden;
6.   Peraturan Daerah Provinsi; dan
7.   Peraturan Daerah Kabupaten.

Dimasukkannya kembali Tap MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan telah banyak menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat. Salah satu latar belakang dimasukkannya kembali Tap MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan adalah untuk mewadahi beberapa Tap MPR yang sampai sekarang masih berlaku berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002.

Berlakunya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.

Adanya perubahan terhadap UUD 1945 juga mempengaruhi aturan-aturan yang berlaku menurut UUD 1945 dan mengakibatkan perlunya dilakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Kemudian berdasarkan Aturan Tambahan Pasal I UUD 1945 Majelis Permusyawaratan Rakyat melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003 dan pada tanggal 7 Agustus 2003 ditetapkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002 (Tap MPR No. I Tahun 2003).

Tap MPR No. I Tahun 2003 mengatur mengenai materi dan status hukum atas Tap MPRS dan Tap MPR Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, dimana secara garis besar dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
  1. Tap MPRS dan TAP MPR yang dinyatakan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (Pasal 1);
  2. Tap MPRS dan TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan masing-masing (Pasal 2);
  3. Tap MPRS dan TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil pemilihan umum tahun 2004 (Pasal 3);
  4. Tap MPRS dan TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang (Pasal 4);
  5. Tap MPRS dan TAP MPR yang dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib yang baru oleh MPR hasil pemilihan umum tahun 2004 (Pasal 5); dan
  6. Tap MPRS dan TAP MPR yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat einmalig (final), telah dicabut maupun telah selesai dilaksanakan.
Dengan demikian masih terdapat beberapa Tap MPRS maupun Tap MPR yang sampai sekarang masih berlaku, yaitu Tap MPRS dan TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan masing-masing sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Tap MPR No. I Tahun 2003.

Tap MPRS dan Tap MPR yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan masing-masing antara lain :
  1. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan      seluruh ketentuan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 ini, kedepan diberlakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi, dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan Pemerintah berkewajiban mendorong keberpihakan politik ekonomi yang lebih memberikan kesempatan dukungan dan pengembangan ekonomi, usaha kecil menengah, dan koperasi sebagai pilar ekonomi dalam membangkitkan terlaksananya pembangunan nasional dalam rangka demokrasi ekonomi sesuai hakikat Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur tetap berlaku sampai dengan terlaksananya ketentuan dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor V/MPR/1999.
  4. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002 merupakan Ketetapan MPR pengunci dari seluruh Ketetapan MPRS dan MPR. Di masa mendatang MPR tidak lagi berwenang mengeluarkan garis-garis besar daripada haluan negara dalam bentuk ketetapan MPR sebagaimana masa lalu dikarenakan perubahan sistem ketata negaraan dimana MPR hanya menjadi lembaga negara yang sejajar dengan lembaga negara lainnya dan bukan lembaga tertinggi negara lagi. Untuk menghindari kekosongan hukum akibat perubahan sistem ketata negaraan ini maka Aturan Tambahan Pasal I memerintahkan MPR untuk melakukan peninjauan yang digunakan sebagai payung hukum status seluruh Ketetapan MPRS dan MPR.
  5. Selain Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor I/MPR/2003, MPR juga mengeluarkan ketetapan terakhir MPR yaitu Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor II/MPR/2003 tentang Perubahan Kelima atas Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor      II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang juga hanya berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia hasil Pemilihan Umum 2004. Ketetapan MPR yang terakhir kalinya ini juga ditetapkan di Jakarta pada hari yang sama yaitu tanggal 7 Agustus 2003.

Kesimpulan
Dari beberapa uraian diatas, kami mengambil kesimpulan antara lain :
1.  Salah satu Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berkekuatan hukum adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang melarang Partai Komunis Indonesia (PKI) dan penyebaran faham komunisme, marxisme dan leninisme.

2.      Hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia telah berubah, hal ini terjadi pasca direvisinya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dimana salah satu materi yang berubah adalah dimasukannya kembali Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) ke dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan.

3.    Masuknya kembali Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) ke dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan, dimaksudkan agar TAP MPR memiliki dasar hukum karena realitasnya masih terdapat sejumlah TAP MPR yang berlaku dan mempunyai hukum mengikat.

4.      Kedepan MPR tidak lagi berwenang menerbitkan TAP MPR yang bersifat mengatur (regeling), ini terjadi Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dimana MPR tidak lagi memiliki kewenangan menetapkan Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

SARAN
1. Sebaiknya Kedepan MPR tidak lagi diberi wewenang untuk menerbitkan TAP MPR yang bersifat mengatur (regeling), karena kewenangan membentuk Peraturan Perundang-Undangan adalah kewenangan dari lembaga eksekutif dan legislatif.


DAFTAR PUSTAKA

  1. Mohammad Pan Faiz, Lembaga Negara dan Sistem Penyelenggaraan Kekuasaan Negara Sesudah Perubahan UUD 1945 (Deskripsi Struktur Ketatanegaraan RI “Setelah” Amandemen UUD 1945), Jakarta: 2009.
  2. Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan), Yogyakarta: Kanisius, 2007.
  3. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
  4. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002.
  5. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor II/MPR/2003 tentang Perubahan Kelima atas Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.

Sumber Arikel : Koleksi Perancang Peraturan Kanwil Kemenkumham Bengkulu.

[1] Pan Faiz Mohammad, Lembaga Negara dan Sistem Penyelenggaraan Kekuasaan Negara Se­sudah Perubahan UUD 1945 (Deskripsi Struktur Ketatanegaraan RI “Setelah” Amandemen UUD 1945), Jakarta: 2009.
[2] Perubahan Pertama UUD 1945 ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999, Perubahan Kedua UUD 1945 ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000, Perubahan Ketiga ditetapkan pada tanggal 9 November 2001, dan Perubahan Keempat ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002.
[3] UU diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan dan setelah perubahan diatur dalam Pasal 20 UUD 1945. Perpu diatur dalam 22 ayat (1) UUD 1945 sebelum maupun sesudah perubahan. Sedangkan PP diatur dalam Pasal 5 ayat (2) UUS 1945 sebelum maupun sesudah perubahan.
[4] Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan, Yogyakarta, Kanisius, 2007, hal. 70-71.
[5] Ibid, hal. 72.
[6] Ibid, hal. 73.
[7] Ibid, hal. 87.


Tidak ada komentar:

Hero Herlambang Bratayudha, SH - Rayhan Yusuf Mirshab