KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM PERSPEKTIF
HUKUM DAN HAM
OLEH :
JISI NASISTIAWAN
A. PENDAHULUAN
Salah satu hal penting yang telah
menjadi perhatian serius oleh pemerintah pada era reformasi adalah diangkatnya
masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), diantaranya kekerasan yang
dilakukan oleh suami-isteri atau kekerasan oleh orang tua terhadap anak, untuk
diatur dengan suatu undang-undang. Hal ini mengingat bahwa KDRT adalah suatu
bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia dan kejahatan terhadap kemanusiaan,
juga merupakan tindakan diskriminasi[1].
Berbagai hasil riset menemukan bahwa tindak
kekerasan terhadap perempuan merupakan ancaman yang terus menerus bagi
perempuan di manapun di dunia, dan domestic
violence yang diterjemahkan sebagai kekerasan dalam rumah tangga menempati
posisi yang penting dari tindak kekerasan tersebut[2]. Domestic
violence bukanlah isu yang baru, hanya memang selama berabad-abad isu ini
tidak pernah dimunculkan ke permukaan tetap tinggal sebagai skeleton in the closet. Sebagai salah satu bentuk kejahatan, Domestic violence menimbulkan
penderitaan fisik dan emosional yang diakibatkan oleh tindak kekerasan yang
dilakukan oleh orang dekat dan cenderung
berlangsung lama serta memiliki dampak yang lebih mendalam pada para
korban, dibandingkan dengan tindak kekerasan yang dilakukan orang lain.[3]
Perhatian yang
serius terhadap kekerasan dalam rumah tangga ini kemudian menjadi salah satu objek dalam perkembangan politik hukum di Indonesia yaitu pembentukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang selanjutnya disebut UU PKDRT. Penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga adalah jaminan yang diberikan negara untuk
mencegah terjadi tindak kekerasan dalam rumah tangga. Pandangan negara tersebut dilandasi oleh adanya
keinginan untuk melindungi korban kekerasan
dalam rumah tangga dan menindak pelaku kekerasan dalam
rumah tangga, sehingga kasus
kekerasan dalam rumah tangga dapat diminimalisir.
Kehadiran UU PKDRT diharapkan dapat dijadikan sebagai perangkat hukum yang
memadai, yang didalamnya antara lain mengatur mengenai pencegahan, perlindungan
terhadap korban, dan penindakan terhadap pelaku KDRT, dengan tetap menjaga
keutuhan demi keharmonisan keluarga. Dengan demikian, hal ikhwal KDRT bukan
lagi menjadi sesuatu yang dianggap privat tetapi sudah menjadi isu publik, maka
dalam penanganannya pun diharapkan dapat dilakukan secara proporsional
sebagaimana upaya perlindungan terhadap korban dan penanganan terhadap pelaku.
Hal ini pun sudah dijamin perlindungannya dalam konstitusi kita, yakni,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945[4].
Sebagai sebuah negara yang menjadikan
hukum sebagai panglima, negara wajib melindungi setiap warga negaranya dari
segala bentuk kekerasan dan pelanggaran hak-haknya, seperti
yang diamanatkan pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia Tahun 1945 beserta perubahannya selanjutnya disebut UUD 1945. Pasal
28G (1) UUD 1945 menyatakan “ bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah
kekuasaannya serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari rasa ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang yang merupakan hak
asasi”. Pasal 28H (2) UUD 1945 menyatakan “setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus
untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan
keadilan”. Selain menjadi tanggung
jawab negara, hal tersebut juga menjadi kewajiban masyarakat untuk mencegah
terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga.
Ketentuan-ketentuan
yang memberikan jaminan konstitusi terhadap hak asasi manusia itu sangat
penting dan dianggap merupakan salah satu ciri pokok dianutnya prinsip negara
hukum di suatu negara[5],
dimana negara bertanggungjawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan hak-hak asasi manusia. Namun disamping hak-hak asasi manusia, harus
pula dipahami bahwa setiap orang memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang
juga bersifat asasi. Setiap orang dimanapun ia berada harus dijamin hak-hak
dasarnya. Pada saat bersamaa, setiap orang dimanapun ia berada, juga wajib
menjunjung tinggi hak-hak asasi orang lain sebagaimana mestinya[6].
Berpegang pada
konsep hak asasi manusia di atas, maka dapat dipastikan bahwa segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga adalah merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan kejahatan terhadap
martabat kemanusiaan. Oleh karenanya
upaya pencegahan dan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga harus senantiasa
diupayakan oleh setiap elemen negara termasuk masyarakatnya.
Berkenaan dengan
pokok pikiran di atas, tulisan ini difokuskan pada beberapa permasalahan sebagai berikut :
1.
Bagaimanakah
konsep kekerasan dalam rumah tangga dalam hubungannya dengan hak asasi manusia ?
2.
Bagaimanakah
konsep Pencegahan dan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Tataran Legislasi
Indonesia ?
3.
Upaya
apa saja untuk mencegah tindak kekerasan dalam rumah tangga?
B.
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM HUBUNGANNYA
DENGAN HAK ASASI MANUSIA
Dalam mendefinisikan kekerasan saat
ini masih sulit, karena belum ada kesepakatan dalam mendefinisikan kekerasan.
Pengertian kekerasan berbeda dari satu individu ke individu lain, dari suatu
negara ke negara lain dan dari budaya satu ke budaya lain. Kekerasan dalam
bentuk verbal dan emosional tidak dianggap sebagai kekerasan pada beberapa
budaya atau negara. Demikian pula kekerasan fisik pada tingkat tertentu,
terutama terhadap hubungan pelaku – korban tertentu, juga dianggap bukan
kekerasan pada budaya atau negara tertentu[7].
Menurut Harkristuti Harkrisnowo[8],
setidaknya ada perspektif untuk memandang tindak kekerasan dari segi
pemahamannya. Pertama adalah perspektif yang sempit, yang merumuskan tindak kekerasan sebagai suatu kekerasan yang
bersifat fisik, jasmaniah belaka, sehingga pembuktiannya juga mempunyai
karakteristik yang berifat material belaka.
Perspektif kedua memandang tindak
kekerasan dalam arti yang lebih luas
mencakup tidak hanya kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan psikologis dan
ekonomis. Keluasan perspektif ini didasari pada pemikiran bahwa perilaku
kekerasan non fisik mempunyai dampak yang tidak lebih kecil dibanding dengan
kekerasan fisik, baik pada wanita yang menjadi korban langsung maupun terhadap
keluarganya.
Neil Alan Weiner[9] mendefinisikan kekerasan sebagai ancaman, usaha atau penggunaan
kekuatan fisik yang dilakukan oleh seseorang atau lebih yang menimbulkan luka
baik secara fisik maupun non fisik , terdiri dari tindakan memaksakan kekuatan
fisik atau kekuasaan kepada pihak lain.
Herkuntanto[10]
memberikan pengertian kekerasan terhadap orang lain, yaitu violance, yang dapat diartikan sebagai : (a) Unjust of unwarranted
exercised of force with the
accompaniment of vehemence, outrage or fury, (b) physical force unlawfully
exercised, abuse of force, that force is employed against common right, against
laws and against public liberty, (c) the exertion of any physical force so as
to injure, damage or abuse.
Untuk
menentukan adanya tindakan kekerasan, dalam norma hukum pidana diatur tentang
kejahatan terhadap tubuh dan jiwa yang terdapat dalam Buku I KUHP Pasal 90 tentang pengertian luka berat, yaitu
penyakit atau luka yang tidak dapat diharapkan akan dapat sembuh secara
sempurna, atau yang karenanya menimbulkan bahaya bagi jiwa, ketidak cakapan
untuk melaksanakan kegiatan jabatan aatu pekerjaan secara terus menerus,
kehilangan kegunaan dari suatu panca indra, cacat, lumpuh, terganggunya akal
sehat selama waktu lebih dari empat minggu, keguguran atau matinya janin
seorang wanita.
Dalam konsep rumah tangga,
pengertian kekerasan dalam rumah tangga lebih spesifik lagi. Kekerasan dalam
rumah tangga dapat didefinisikan sebagai “Domestic
violence occurs when a family member, partner or expartner attempt to
psychologically dominate or harm the other. The term “intimate partner violence
(IVP) is often used synonymously, other term have included “wife beating”,
“wife battering”, “relationship violence”, “domestic abuse”, “spousal abuse”,
and “family violence” with some legal jurisdiction having specific definitions.[11]
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga
yang bahagia, aman tentram dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah
tangga. Oleh karena itu setiap orang di lingkup rumah tangganya dalam
melaksanakan hak dan kewajiban harus di.dasari oleh kesepahaman setiap anggota
rumah tangga tersebut.
Untuk mewujudkan hal tersebut tergantung pada
setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama tergantung pada kadar
kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang. Keutuhan dan kerukunan
rumah tangga dapat terganggu jika
kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat
terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidaknyamanan atau
ketidak adilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Untuk mencegah dan melindungi korban
dari pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga perlu pengaturan yang
secara spesifik telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Namun dalam pelaksanaannya peraturan
ini sangat sulit diterapkan mengingat
adanya mitos yang dipegang oleh institusi keluarga. Salah satu muatannya
ditekankan bahwa istri berkewajiban mengabdi pada suami sebagai kepala
keluarga. Bentuk pengabdian itu, antara lain menjaga nama baik sekaligus
diartikan sebagai nama baik keluarga, maka melaporkan tindak-tanduk suami yang
tidak berkenan dengan hati istri selalu ditafsirkan oleh masyarakat, suatu
pelanggaran terhadap nama baik keluarga. Hanya istri yang tidak baiklah yang akan melakukan hal itu. Dalam filsafat
hidup orang Jawa, umpamanya, dikenal kata-kata “olo meneng, becik meneng” (baik
– buruk orang harus tetap tutup mulut) atau “swarga nunut neraka katut”
(istilahnya baik buruk suami istri harus tetap mengikutinya).
Selain itu
ada anggapan bahwa suami melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebagai
salah satu bukti dari rasa cintanya pada
istri dan anaknya. Anggapan ini berasal dari stereotype seksual laki-laki yang
antara lain menempatkan jenis kelamin sebagai makhluk agresif, kuat terbiasa
dengan cara-cara yang berkualitas dan berkuantitas kekerasan dalam
menyelesaikan masalah, akibatnya dalam penyelesaian masalah yang dianggap
berkaitan dengan cintanya pada istri dan anak-anak. Cara-cara kekerasan
merupakan hal yang dilegimitasikan secara sosial. Sedangkan perempuan adalah
pihak yang patut disalahkan, kalau mengalami kekerasan fisik/atau seksual dalam
hubungan suami istri, anggapan ini tercermin dalam ungkapan kata sehari-hari
yang sering kita dengar misalnya, enggak
bakalan laki-laki ngegebukin bininya kalau bukan ulah bininya, atau lakinya
benar-benar cinta sama bininya, tapi bininya enggak tahu diri. Ya pantas aja
kalau laki-lakinya jadi kesal, dikasih tabok deh bininya buat kasih pelajaran.
Disamping
itu sering terjadi suami (pelaku) mengalami kekerasan pada masih
kecilnya/remaja yang dilakukan orang tua terhadap dirinya. Pengalaman pahit ini
membekas dalam hidupnya dan secara tidak sengaja, kekerasan yang dialaminya itu
tampil ketika dia berhadapan dengan masalah sekarang,. Kekerasan dilampiaskan
pada orang-orang terdekat pada dirinya (istri dan anak) yang diketahuinya betul
bahwa mereka tidak akan menentangnya atau berbalik menuntut melawannya.
Masalah
ketergantungan ekonomi pada suami menyebabkan istri merasa tidak perlu
melaporkan perbuatan suami, karena kalau suami ditahan, ditangkap sebagai
pelaku kekerasan dalam rumah tangga akan berdampak buruk terhadap kehidupan
ekonomi keluarga. Anggapan-anggapan ini dinternalisasikan pada perempuan secara
terus-menerus sebagai suatu kebenaran yang tidak boleh disangkal atau
dipertanyakan lagi. Maka bukan suatu hal yang mengherankan, kalau ada perempuan
yang mempersalahkan dirinya sendiri, rasa ikut bertanggung jawab terhadap
kekerasan yang dialaminya, merasa takut. Sikap dan pandangan masyarakat yang
menempatkan kekerasan dalam rumah tangga sebagai isu privat yang harus
diselesaikan secara privat. Dengan demikian kekerasan dalam rumah tangga tidak
dilihat sebagai suatu kejahatan terhadap kemanusiaan dan akibatnya tidak ada
dalam buku laporan resmi kejahatan.
C.
PENCEGAHAN DAN PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH
TANGGA DALAM TATARAN LEGISLASI INDONESIA
1.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
Konsepsi HAM dan
demokrasi dalam perkembangannya sangat terkait dengan konsepsi negara hukum.
Dalam sebuah negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan
manusia. Hukum dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang
berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah negara hukum
menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi disamping
merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan
demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi.[12]
Sebagaimana telah berhasil dirumuskan dalam naskah Perubahan Kedua UUD
1945, ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia telah mendapatkan jaminan konstitusional
yang sangat kuat dalam Undang-Undang Dasar. Sebagian besar materi Undang-Undang
Dasar ini sebenarnya berasal dari rumusan Undang-Undang yang telah disahkan
sebelumnya, yaitu UU tentang Hak Asasi Manusia. Jika dirumuskan kembali, maka
materi yang sudah diadopsikan ke dalam rumusan Undang-Undang Dasar 1945
mencakup 27 materi berikut[13]:
1.
Setiap orang berhak untuk hidup
serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
2.
Setiap orang berhak membentuk
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
3.
Setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.
4.
Setiap orang berhak bebas dari
perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
5.
Setiap orang bebas memeluk
agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara
dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
6.
Setiap orang berhak atas
kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan
hati nuraninya.
7.
Setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
8.
Setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan
sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran
yang tersedia.
9.
Setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda
yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak
asasi.
10.
Setiap orang berhak untuk bebas
dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan
berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
11.
Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
12.
Setiap orang berhak mendapat
kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang
sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
13.
Setiap orang berhak atas
jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia
yang bermartabat.
14.
Setiap orang berhak mempunyai
hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang
oleh siapapun.
15.
Setiap orang berhak
mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat
pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni
dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat
manusia.
16.
Setiap orang berhak untuk
memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa dan negaranya.
17.
Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum.
18.
Setiap orang berhak untuk
bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja.
19.
Setiap orang berhak atas status
kewarganegaraan.
20.
Negara, dalam keadaan apapun,
tidak dapat mengurangi hak setiap orang untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,
hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
21.
Negara menjamin penghormatan
atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional selaras dengan perkembangan
zaman dan tingkat peradaban bangsa.
22.
Negara menjunjung tinggi
nilai-nilai etika dan moral kemanusiaan yang diajarkan oleh setiap agama,
dan menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan menjalankan
ajaran agamanya.
23.
Perlindungan, pemajuan,
penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama
pemerintah.
24.
Untuk memajukan, menegakkan dan
melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang
demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan.
25.
Untuk menjamin pelaksanaan
Pasal 4 ayat (5) tersebut di atas, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen menurut
ketentuan yang diatur dengan undang-undang.
26.
Setiap orang wajib menghormati
hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
27.
Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Adanya
jaminan ini mengisyaratkan bahwa UUD 1945 sebagai konstitusi negara menghendaki
agar setiap warga negaranya menghormati hukum dan HAM. Salah satu bentuk dari
jaminan yang diberikan oleh negara kepada warga negaranya adalah jaminan untuk
bebas dari segala tindak kekerasan, termasuk terhadap kemungkinan kekerasan
dalam lingkup rumah tangga yang menunjukkan peningkatan kasus dari waktu ke
waktu.
2.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang
Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Wanita (Convention On The Elimination Of
All Forms Of Discrimination Against Women).
Indonesia
telah meratifikasi Konvensi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan, dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang
Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Wanita (Convention On The Elimination Of
All Forms Of Discrimination Against Women/CEDAW). Konvensi tersebut, pada dasarnya mewajibkan kepada
setiap negara pihak untuk melakukan langkah-langkah yang tepat, termasuk
pembuatan undang-undang di semua bidang, khususnya di bidang politik, sosial,
ekonomi, dan budaya, untuk menjamin perkembangan dan kemajuan perempuan
sepenuhnya, dengan tujuan untuk menjamin mereka melaksanakan dan menikmati
hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok atas dasar persamaan dengan
laki-laki.
CEDAW telah memberikan arti ’diskriminasi’ secara komprehensif
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 CEDAW bahwa ”Dalam Konvensi ini
istilah ”diskriminasi terhadap perempuan” berarti setiap pembedaan,
pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin
yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau
menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak asasi manusia dan
kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil
atau apapun lainnya bagi kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka
atas dasar persamaan hak laki-laki dan perempuan.”
Unsur-unsur yang terkandung dalam istilah ”diskriminasi” tersebut meliputi:
1.
Ideologi, berupa asumsi-asumsi berbasis gender tentang peran dan kemampuan
perempuan;
2.
Tindakan, pembedaan perlakuan, pembatasan atau pengucilan perempuan;
3.
Niat, diskriminasi langsung atau tidak langsung;
4.
Akibat;
5.
Pengurangan atau penghapusan pengakuan, penikmatan, penggunaan hak
dan kebebasan,
6.
Diskriminasi dalam semua bidang (politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil,)
dan oleh setiap pelaku.
Unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian diskriminasi tersebut sangat
jelas digambarkan adanya pembedaan perlakuan berupa pengucilan atau pembatasan
terhadap perempuan (atas dasar jenis kelamin) yang mempunyai ‘pengaruh’
atau ‘tujuan’ untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan,
atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan lainnya.
Dalam perjalanannya, pengertian diskriminasi sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Pasal 1 CEDAW mengalami perkembangan yang cukup positif,
hal mana bahwa bentuk kekerasan terhadap perempuan juga menjadi cakupan dalam
pengertian diskriminasi terhadap perempuan. Hal ini sebagaimana
ditetapkan Komite CEDAW dalam Rekomendasi Umum Nomor 19 Tahun 1993
(Sidang ke-11, Tahun 1992) tentang Kekerasan terhadap Perempuan (Violence
Against Women), diantaranya mengemukakan mengenai bentuk-bentuk
diskriminasi yang menghalangi kaum perempuan dalam mendapatkan hak-hak
kebebasannya yang setara dengan laki-laki. Butir 1 dari latar belakang
Rekomendasi Umum Nomor 19 Tahun 1993 tentang Kekerasan terhadap Perempuan,
menyatakan bahwa: “Kekerasan berbasis gender adalah sebuah bentuk
diskriminasi yang secara serius menghalangi kesempatan wanita untuk menikmati
hak-hak dan kebebasannya atas dasar persamaan hak dengan laki-laki”.
Selanjutnya, Butir ke-6 Ulasan Umum Rekomendasi Umum Nomor 19 Tahun
1993 tentang Kekerasan terhadap Perempuan juga menegaskan bahwa :
“Konvensi dalam Pasal 1, menetapkan definisi tentang diskriminasi
terhadap perempuan. Definisi diskriminasi itu termasuk juga kekerasan
berbasis gender, yaitu kekerasan yang langsung ditujukan kepada seorang
perempuan, karena dia adalah perempuan atau hal-hal yang memberi akibat pada
perempuan secara tidak proporsional. Hal tersebut termasuk tindakan-tindakan
yang mengakibatkan kerugian atau penderitaan fisik, mental dan seksual
atau ancaman-ancaman seperti itu, paksaan dan perampasan kebebasan lainnya.
Kekerasan berbasis gender bisa melanggar ketentuan tertentu dari Konvensi,
walaupun ketentuan itu tidak secara spesifik tentang kekerasan”.
Sebagai negara pihak yang telah meratifikasi CEDAW, maka dalam rangka
melakukan pembaharuan dan peninjauan hukum beserta kebijakan-kebijakan
pelaksanaannya, Indonesia terus melakukan upaya-upaya untuk pembentukan
perundang-undangan baru atau penyempurnaannya melalui “reformasi hukum, yakni,
pembaharuan sistem hukum secara mendasar dengan memperbaiki apa yang dipandang
jelek atau salah dari sistem hukum tersebut agar menjadi benar dan lebih baik
dalam rangka mewujudkan cita-cita kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara”.
3.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
selanjutnya disebut UU HAM, definisi Hak Asasi Manusia
adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang,
demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia[14].
Dalam
undang-undang
ini pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia ditentukan dengan berpedoman pada
Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB, konvensi PBB tentang penghapusan segala bentuk
diskriminasi terhadap wanita, konvensi PBB tentang hak-hak anak dan berbagai
instrumen internasional lain yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia, Pancasila, UUD 1945, dan TAP MPR RI Nomor
XVII/MPR/1998.
Adapun asas-asas dasar yang terkandung dalam UU HAM adalah sebagai
berikut :
1.
Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung
tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara
kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi,
dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan,
kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.
2.
Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan
martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati murni
untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam semangat
persaudaraan.
3.
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan
perlakuan yang sama di depan hukum.
4.
Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia
dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.
5.
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan
pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
6.
Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak
menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan
martabat kemanusiaannya di depan hukum.
7.
Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan
yang adil dari pengadilan yang obyektif dan tidak berpihak.
8.
Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang
rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan
kekhususannya.
9.
Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan
kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh
hukum, masyarakat, dan Pemerintah.
10.
Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak
atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
11.
Setiap orang berhak untuk
menggunakan semua upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua
pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh hukum Indonesia dan hukum
internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima negara Republik
Indonesia.
Berkaitan dengan hak-hak perempuan dan anak untuk
memperoleh perlindungan dari tindak kekerasan dalam rumah tangga, pengaturan
dalam UU HAM dapat dilihat dalam Pasal 45 yang berbunyi “hak wanita
dalam Undang-undang ini adalah hak asasi manusia. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 50 diatur bahwa wanita yang telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk
melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya.
Selain itu dapat pula dilihat dalam Pasal 51 ayat (1) yang
mengatur bahwa seorang istri selama dalam ikatan
perkawinan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan suaminya atas
semua hal yang berkenaan dengan kehidupan perkawinannya, hubungan dengan
anak-anaknya dan hak pemilikan serta pengelolaan harta bersama.
Khusus mengenai anak, pengaturan ini dapat diketahui dari
ketentuan Pasal 58 sebagai berikut :
(1) Setiap
anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan
fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama
dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain maupun yang
bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut.
(2) Dalam hal orang tua,
wali, atau pengasuh anak melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau
mental, penelantaran, perlakuan bentuk, dan pelecehan seksual termasuk
pemerkosaan, dan atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi, maka
harus dikenakan pemberatan hukuman.
4. Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Upaya
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga secara khusus mendapatkan landasan
yuridisnya seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004.
Beberapa pengertian yang cukup penting yang terdapat dalam undang-undang
ini yaitu sebagai berikut :
a.
Pasal
1 angka 1, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama terhadap perempuan, yang berakibat timbulnya kesesangraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, phisikologis dan/atau penelantaran
rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga.
b.
Pasal
5, Setiap orang dilarang melakukan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya,
dengan cara kekerasan fisik, psikis, seksual atau penelantaran rumah tangga
c.
Pasal 9, setiap orang dilarang menelantarkan orang
dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya wajib
atau karenanya persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan,
perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
Berdasarkan
pengertian tersebut diatas, terminologi
Kekerasan Dalam Rumah Tangga mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : (1)
dapat berupa kekerasan fisik maupun non fisik, (2) dapat dilakukan secara aktif
maupun secara pasif, (3) dikehendaki oleh pelaku, (4) ada
akibat/kemungkinan akibat yang merugikan
pada korban yang tidak dikehendaki oleh korban dan dilakukan di lingkup yang
berkaitan dalam rumah tangga.
D.
UPAYA UNTUK MENCEGAH TINDAK KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA
Tindak kekerasan dalam rumah tangga yang selama ini menunjukkan gejala
peningkatan meskipun sesungguhnya telah ada aturan hukum dalam bentuk
perundang-undangan yang mengaturnya. Peningkatan kasus kekerasan dalam rumah
tangga merupakan gejala sosial yang tidak bisa dihindari. Gejala ini tentunya tidak bisa dibiarkan
terus menerus terjadi terjadi karena pada akhirnya akan menjadi catatan buruk
bagi penegakan hukum dan HAM yang sedang didengungkan oleh pemerintah terutama
berkaitan dengan perlindungan terhadap kaum perempuan dan anak-anak. Untuk itu
perlu segera dicarikan upaya pemecahan yang cepat dan tepat untuk mencegah
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Upaya-upaya pencegahan tindak kekerasan
dalam rumah tangga yang dilakukan tentunya harus disesuaikan dengan kondisi
yang terjadi di lapangan sehingga penyelesaiannya dapat lebih terarah dan
efektif. Beberapa hal yang dapat dijadikan solusi dari permasalahan kekerasan
dalam rumah tangga selanjutnya akan diuraikan dibawah ini.
Pemahaman
karakter masing-masing pasangan suami isteri baik pada masa sebelum menikah
ataupun setelah menikah. Memahami karakter seseorang sangat penting untuk dapat
memahami kepribadian seseorang. Dengan memahami karakter dan kepribadian
masing-masing calon pasangan yang akan atau sudah menikah, maka akan tercipta
kesepahaman antar sesama pasangan tersebut. Ini akan berkaitan erat dengan masa
setelah pernikahan itu terjadi. Seseorang yang memutuskan menikah dengan calon
pasangannya tanpa melalui proses atau tahap pengenalan pribadi masing-masing,
akan lebih besar kecenderungan terjadi tindak kekerasan dalam rumah tangga.
Sedangkan jika sebelumnya telah terjadi proses pengenalan diri pribadi
masing-masing maka tindak kekerasan itu dapat diperkecil, karena telah ada
interaksi antar calon pasangan tersebut.
Interaksi
sebagaimana diungkapkan oleh Kimball
Young dan Raymond, W. Mack yang dikutip oleh Soerjono Soekanto[15]
dengan istilah interaksi sosial, dianggap merupakan kunci dari semua kehidupan
sosial, karena tanpa interaksi sosial, tak akan mungkin ada kehidupan bersama.
Kehidupan bersama itu baru akan terjadi apabila orang perorangan atau kelompok
saling bekerja sama, saling berbicara dan seterusnya untuk mencapai suatu
tujuan bersama.
Dengan
adanya interaksi tersebut, maka seseorang akan sadar bahwa ada pihak lain yang
menyebabkan perubahan-perubahan dalam perasaan maupun syaraf orang-orang yang
bersangkutan. Demikian pula halnya dengan suatu perkawinan yang dalam Pasal 1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah merupakan ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.
Tujuan yang mulia ini tentunya akan
tercapai jika sebelum perkawinan tersebut berlangsung, telah ada interaksi
antar calon pasangan suami isteri. Tanpa interaksi sebagaimana dimaksudkan,
maka tidak akan terjadi pengenalan pribadi masing-masing calon pasangan suami
isteri, dan tanpa adanya pengenalan pribadi akan sulit terwujud kesepahaman
berumah tangga.
Upaya yang kedua adalah dengan
menghindari perkawinan di usia muda. Menciptakan pemahaman terhadap resiko
negatif perkawinan usia muda kepada masyarakat dengan akar budaya yang kuat
memang sulit, namun dengan bimbingan yang dilakukan secara intensif dan berkesinambungan,
harapan tersebut bukan hal yang mustahil untuk dilakukan.
Pengawasan terhadap perilaku
pergaulan anak muda perlu dilakukan baik oleh orang tua maupun masyarakat
lingkungan sekitar, agar tidak terjerumus dalam perilaku seks bebas. Pembatasan
pergaulan remaja memang tidak serta merta dapat dilakukan secara keras, namun
dilakukan dalam tahap-tahap kewajaran sehingga tidak menimbulkan kekesalan dan
perbuatan nekat dari anak karena merasa terkekang dan dibatasi pergaulannya.
Upaya yang
ketiga, adalah pembinaan perilaku anak-anak dalam keluarga. Perilaku anak yang
nakal dapat mempengaruhi orang tua untuk melakukan tindak kekerasan dalam rumah
tangga, meskipun dalam jumlah yang kecil tidak selamanya tindak kekerasan yang
dialami oleh seorang anak dalam suatu keluarga disebabkan oleh perilakunya yang
nakal. Pembinaan perilaku anak haruslah dimulai sejak anak-anak tersebut masih
pada masa kanak-kanak. Yang harus diwaspadai adalah pada masa peralihan dari
masa kanak-kanak menuju fase masa remaja. Pada masa peralihan ini sifat
anak-anak mulai menunjukkan perubahan sikap yaitu sikap penurut dan patuh
menjadi pembantah, penentang, tidak penurut, dekil, dan keras kepala[16].
Pada masa ini orang tua tidak perlu menunjukan resistensi yang berlebihan
terhadap anak, harus mampu membatasi diri untuk tidak bertindak dengan
kekerasan dan bertindak arif dalam menghadapi anak-anak yang menunjukkan gejala
nakal.
Perbuatan
yang membahayakan hendaknya dilarang dengan suatu bujukan atau ucapan yang enak
didengar atau secara bergurau. Kekeliruan yang dilakukan dalam pembinaan anak
akan mengakibatkan pertumbuhan psikis yang sukar dikendalikan. Anak tersebut
bisa menjadi pengganggu, sulit menyesuaikan diri dengan situasi dan
kadang-kadang sulit bergaul.
Selain
itu, pembinaan watak anak yang dilakukan dengan kekerasan secara berulang-ulang
akan secara psikologis mengakibatkan traumatik mendalam bagi perkembangan jiwa
anak tersebut. Dampak buruknya adalah kecenderungan seseorang yang diperlakukan
dengan keras selama ia masih kecil atau kekerasan yang sering dilihatnya dalam
lingkup keluarganya, akan mengakibatkan sang anak pada usia dewasa atau ketika
sudah berpotensi untuk melakukan tindak kekerasan seperti yang dialaminya.
Upaya yang
keempat adalah dengan membatasi tayangan media elektronik/televisi yang berbau
kekerasan atau media cetak yang memuat berita proses terjadinya tindak
kekerasan. Pembatasan tayangan atau berita yang mengandung unsur kekerasan
perlu diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan agar ada ketegasan
dan kepastian hukum serta memberikan perlindungan bagi penonton atau pembaca
dari berita atau tayangan yang bersifat kekerasan atau tidak layak untuk
disajikan secara umum.
Sensor
film dan rekaman video, utamanya tayangan yang bermuatan sadisme harus semakin
diperketat sehingga dampak negatif yang dapat mempengaruhi timbulnya ide atau
gagasan untuk melakukan tindak kekerasan dapat dicegah secara dini.
Masyarakatpun dapat berpartisipasi dengan menghindari tayangan yang menonjolkan
kekerasan, terutama bila pada saat itu terdapat anak-anak.
Bimbingan
kepada anak-anak pada saat menonton siaran televisi atau membaca suatu berita
di media cetak oleh orang tua, merupakan salah satu cara yang cukup efektif
dalam menyaring acara atau berita yang baik dan layak tonton bagi anak-anak.
Dengan demikian anak-anak akan terhindar dari tontonan yang dapat membahayakan
perkembangan jiwa dan emosinya.
Upaya yang
kelima adalah dengan menciptakan pemahaman terhadap ajaran agama secara benar.
Pemahaman terhadap ajaran agama apapun tidak bisa dilakukan secara
sepotong-sepotong melainkan harus secara menyeluruh agar tidak terjadi
kesalahan dalam memahami aturan agama.
Ada proses yang sebaiknya harus
dilewati sebelum melakukan tindakan keras terhadap kaum perempuan yang dikhawatirkan
nuzusnya atau tidak taat. Pertama adalah dengan menasehatinya. Menasehati
seorang perempuan berarti telah memberikan bimbingan kepada mereka agar segera
kembali ke jalan Allah dan patuh kepada suaminya. Apabila nasehat yang
diberikan tidak berhasil, maka selanjutnya terhadap perempuan tersebut dapat
pisah tempat tidur sebagai bentuk hukuman kepadanya. Dan apabila inipun tidak berhasil, maka
terhadap mereka dapat dipukul. Ini merupakan upaya terakhir yang dilakukan jika
kedua cara terdahulu benar-benar tidak dapat mengubah tingkah laku kaum
perempuan.
Selain itu, harus dipahami pula
bahwa Allah, SWT melalui perantaraan Nabi Muhammad SAW telah menaikkan derajat
kaum perempuan sebagai kaum yang harus dihormati keberadaannya dari perlakuan
yang merendahkan harkat dan martabatnya sebagaimana yang terjadi pada zaman
jahiliyah.
Peran para ulama dan tokoh agama
dalam menciptakan pemahaman ajaran agama yang benar berkaitan dengan perlakuan
terhadap perempuan sangat penting dalam hal ini. Dakwah dan khotbah keagamaan
untuk meningkatkan kadar keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
perlu terus diintensifkan baik frekuensi maupun intensitasnya, agar masyarakat
tergerak dan mampu mengendalikan diri untuk tidak melakukan perbuatan atau
tindak kekerasan dalam rumah tangga.
Upaya keenam adalah dengan melakukan
sosialisasi tentang peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan kekerasan dalam rumah tangga. upaya
ini harus terus menerus dilakukan untuk menciptakan pemahaman masyarakat
tentang peraturan perundang-undangan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga. sosialisasi ini dilakukan oleh berbagai elemen, baik oleh pemerintah,
para tokoh agama dan tokoh masyarakat, serta lembaga swadaya masyarakat yang
menangani masalah wanita dan anak-anak. Berbagai bentuk kegiatan sosialisasi
dapat dilakukan diantaranya dengan melalui kegiatan penyuluhan yang dilakukan
langsung kepada masyarakat, atau melalui sosialisasi di media elektronik.
Melalui
kegiatan sosialisasi ini diharapkan peran serta masyarakat dalam melakukan
upaya pencegahan dan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga akan meningkat,
mengingat bahwa upaya penghapusan ini tidak dapat dilakukan hanya oleh
pemerintah saja, namun oleh berbagai elemen lainnya seperti unsur masyarakat.
Terakhir
adalah melalui upaya pembentukan dan penegakan hukum yang mengatur tentang
pencegahan tindak kekerasan dalam rumah tangga. sebagaimana diketahui bahwa
upaya pembentukan hukum telah dilakukan oleh Pemerintah bersama Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dengan telah diundangkannya Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Undang-undang ini telah berhasil ”menggiring” tindak kekerasan dalam rumah
tangga dari wilayah pribadi menjadi wilayah publik yang dapat dipidana. Sanksi
pidana yang diatur didalamnya telah cukup berat. Selain itu ruang lingkup
kekerasan dalam rumah tangga diperluas sehingga korban kekerasan dalam rumah
tangga tidak hanya meliputi kaum perempuan dan anak-anak saja, namun terhadap
seluruh orang yang berada dalam satu keluarga termasuk pembantu rumah tangga.
Namun
sayangnya dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 ini diatur bahwa tindak pidana kekerasan dalam lingkup rumah tangga merupakan tindak
pidana delik aduan. Dalam
konsepsi ini, pelaku tindak kekerasan dalam rumah tangga baru dapat diproses
jika sudah ada pengaduan dari korban atau orang lain yang diberikan kuasa oleh
korban untuk mewakili membuat pengaduan kepada pihak kepolisian, artinya pihak
kepolisian tidak berwenang untuk menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga
tanpa ada pengaduan terlebih dahulu dari korban atau kuasanya. Selain itu,
pengaduan yang telah ditangani oleh kepolisian sewaktu-waktu dapat dicabut jika
pihak korban tidak ingin melanjutkan kasus tersebut. Untuk itu perlu kiranya
ditelaah kembali apakah lebih
menguntungkan apabila kekerasan dalam rumah tangga tersebut digolongkan kepada
delik aduan atau kepada delik laporan.
Berkaitan dengan penegakan hukum, hendaknya setiap kasus kekerasan dalam
rumah tangga dapat diselesaikan melalui jalur hukum, serta kepada pelakunya
diberikan hukum maksimal untuk menimbulkan efek jera. Perlu keseriusan dan
perhatian segenap aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan dalam
rumah tangga. Selama ini beberapa kasus yang ditangani oleh pihak kepolisian
akhirnya dapat diselesaikan secara damai dan tidak sampai ke pengadilan karena
pengaduan dicabut oleh korban dengan beragam alasan. Namun apabila kasus
tersebut diteruskan ke pengadilan, terkadang hukuman yang dijatuhkan sangat
ringan sehingga efek jera yang diharapkan tidak tercapai.
Penegakan hukum dapat berhasil apabila ada ketegasan hukum. Seorang pelaku
tindak kekerasan dalam rumah tangga akan lebih baik jika dihukum dengan hukuman
maksimal. Efek jera yang diharapkan dengan adanya hukuman maksimal yang
dijatuhkan akan berlaku tidak hanya kepada pelaku tindak kekerasan dalam rumah
tangga saja, namun juga akan berpengaruh pada orang lain yang berpotensi untuk
melakukan tindak kekerasan. Dengan demikian maka orang akan enggan untuk
melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga mengingat hukuman yang harus
dihadapi sangat berat. Upaya pemberatan hukum ini dapat dilakukan dengan upaya
pemisahan hasil pemeriksaan dan pentahapan penyidangan perkaranya sehingga
dihasilkan hukuman komulatif yang bernilai berat.
E. PENUTUP
Dari uraian-uraian pembahasan tersebut di atas,
maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.
Kekerasan dalam rumah
tangga adalah bentuk kekerasan yang terjadi ketika anggota keluarga, mitra atau orang lain dalam keluarga mencoba secara psikologis untuk mendominasi atau
membahayakan lainnya. Istilah "kekerasan orang dekat sering digunakan secara sinonim, dengan istilah lain seperti "pemukulan terhadap istri", "pemukulan istri", "kekerasan hubungan", "kekerasan dalam rumah tangga", "penyalahgunaan pasangan", dan "kekerasan keluarga" dengan beberapa yurisdiksi hukum
memiliki definisi khusus. Kekerasan dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak
asasi manusia yaitu hak untuk mendapatkan rasa aman dan berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk
kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan
seksual.
2.
Dalam rangka pencegahan
dan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, Indonesia telah melakukan
berbagai upaya hukum diantaranya dengan memasukkan pengaturan tentang HAM dalam
UUD 1945, meratifikasi konvenan internasional, serta pembentukan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai hak asasi manusia melalui UU Nomor 39
Tahun 2009 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
3.
Upaya
yang dapat dilakukan untuk mencegah tindak kekerasan dalam
rumah tangga diantaranya sebagai
berikut :
a.
Pemahaman
karakter masing-masing pasangan suami isteri baik pada masa sebelum menikah
ataupun setelah menikah.
b.
menghindari perkawinan di usia
muda.
c.
pembinaan
perilaku anak-anak dalam keluarga.
d.
Upaya
yang keempat adalah dengan membatasi tayangan media elektronik/televisi yang
berbau kekerasan atau media cetak yang memuat berita proses terjadinya tindak
kekerasan.
e.
Upaya
yang kelima adalah dengan menciptakan pemahaman terhadap ajaran agama secara benar.
f.
sosialisasi tentang peraturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan kekerasan dalam rumah tangga.
g.
pembentukan
hukum dan penegakan hukum yang mengatur tentang pencegahan tindak kekerasan
dalam rumah tangga.
DAFTAR PUSTAKA
Balitbang HAM, Pelaksanaan
Advokasi Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Hukum
dan HAM, Jakarta, 2006.
Harkristuti
Harkrisnowo, Menyimak RUU Perlindungan
Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dalam Jurnal Legislasi
Indonesia-Volume 1 Nomor 1 Juli 2004, Direktorat Jenderal Peraturan
Perundang-Undangan Kementerian Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta,
2004.
Harkristuti Harkrisnowo, Strategi
Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan Terhadap Wanita Suatu Tanggapan
Atas Makalah Utama, dalam Himpunan Hasil Diskusi Panel Tentang Langkah
Penanggulangan Dan Pencegahan Tindak Kekerasan Terhadap Wanita, Diselenggarakan
Oleh Ditjen Badan Peradilan Umum dan TUN Dep. Kehakiman bekerjasama dengan
Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, Jakarta, 1997.
Herkuntanto, Kekerasan
Terhadap Perempuan Dan Sistem Hukum Pidana,
Alumni, Bandung, 2006.
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia,
Edisi Revisi, Konstitusi Press, Jakarta, 2005.
Jimly
Asshidiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar
Demokrasi, Serpihan Pemikiran Hukum,
Media, dan HAM, Konstitusi Press, Jakarta, 2005.
Mudjiati, Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Suatu Tantangan Menuju Sistem Hukum Yang Responsif Gender diunduh dari situs www.djpp.depkumham.go.id, tanggal 28 Nopember 2012.
R. Abdul Djamali, Psikologi Dalam
Hukum, Armico,Bandung, 1984.
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu
Pengantar, Cet. 28, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1999.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Wanita (Convention On The
Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women).
Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
[1] Mudjiati, Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Suatu Tantangan Menuju Sistem Hukum Yang Responsif Gender diunduh dari situs www.djpp.depkumham.go.id, tanggal 28 Nopember 2012.
[2] Harkristuti Harkrisnowo, Menyimak RUU Perlindungan Terhadap Korban
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dalam Jurnal Legislasi Indonesia-Volume 1
Nomor 1 Juli 2004, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, 2004, Hlm. 23
[3] Ibid, Hlm, 24
[4] Mudjiati, Ibid.
[5] Jimly Asshidiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi,
Serpihan Pemikiran Hukum, Media, dan HAM,
Konstitusi Press, Jakarta, 2005, Hlm. 238.
[6] Ibid, Hlm. 239.
[7] Balitbang HAM, Pelaksanaan Advokasi Terhadap Korban
Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Hukum dan HAM, Jakarta, 2006.
Hlm. 9
[8] Harkristuti Harkrisnowo, Strategi Pencegahan dan Penanggulangan
Tindak Kekerasan Terhadap Wanita Suatu Tanggapan Atas Makalah Utama, dalam
Himpunan Hasil Diskusi Panel Tentang Langkah Penanggulangan Dan Pencegahan
Tindak Kekerasan Terhadap Wanita, Diselenggarakan Oleh Ditjen Badan Peradilan
Umum dan TUN Dep. Kehakiman bekerjasama dengan Kantor Menteri Negara Urusan
Peranan Wanita, Jakarta, 1997, Hlm. 74
[9] Balitbang HAM, Ibid
[10] Herkuntanto, Kekerasan
Terhadap Perempuan Dan Sistem Hukum Pidana,
Alumni, Bandung, 2006, Hlm. 226
[11] Dikutip dari pengertian domestic_violence, Balitbang HAM, Ibid
Hlm.10
[12] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi
& Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, Hlm. 152-162.
[13] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi,
Op.Cit Hlm. 230-234
[14] Lihat Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Definisi yang sama tercantum pula dalam UU
No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
[15] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Cet. 28,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1999, Hlm. 67
[16] R. Abdul Djamali, Psikologi Dalam Hukum, Armico,Bandung,
1984, Hlm. 44-45
Tidak ada komentar:
Posting Komentar