PERATURAN DAERAH DAN KAITANNYA
DENGAN PENYAKIT SOSIAL DI MASYARAKAT
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hukum
adalah sebuah ketentuan sosial yang mengatur perilaku mutual antar manusia,
yaitu sebuah ketentuan tentang serangkaian peraturan yang mengatur perilaku
tertentu manusia dan hal ini berarti sebuah sistem norma[1].
Teori hukum menurut Hans Kelsen tersebut menunjukkan apresiasi yang tinggi
terhadap eksistensi dari kehidupan sosial yang tentu tidak bisa dilepaskan dari
norma-norma dan kaidah yang ada.
Manusia
sebagai bagian dari kehidupan masyarakat tentu akan bersinergi dengan dinamika
sosial yang terjadi. Tidak jarang bahwa dalam proses interaksi sosial tersebut pada
akhirnya dapat menimbulkan friksi-friksi tertentu yang dapat mengakibatkan munculnya pelbagai penyakit sosial. Penyakit
sosial pada prinsipnya merupakan suatu kondisi tingkah laku individu dan
masyarakat yang telah bergeser pada norma-norma atau kaidah yang ada. Pada
umumnya prilaku kontradiktif tersebut hanya dilakukan oleh segolongan minoritas
masyarakat namun akibat dari penyakit sosial tersebut dapat menimbulkan dampak
yang luas bagi masyarakat lainnya.
Keterkaitan
masalah (interdepence) yang terjadi
tentu tidak sepenuhnya membuat
sekelompok masyarakat mayoritas menjadi kacau (chaos). Dinamika yang terjadi pada masyarakat pada prinsipnya
telah membuat masyarakat itu sendiri dapat mengantisipasi keadaan baik dengan meletakkan
dasar-dasar kearifan lokal, mengkaitkan norma agama atau bahkan menegakkan
norma hukum. Oleh sebab itulah maka norma-norma dan kaidah yang ada selalu bisa
mengikuti perkembangan zaman dalam mengatur tingkah laku di masyarakat.
Berdasarkan hukum positif di Indonesia, pengaturan
mengenai yuridiksi penegakan hukum mengenai pengaturan masalah sosial selain
diselenggarakan oleh pemerintah pusat juga diselenggarakan secara otonom pengaturannya
kepada pemerintah daerah. Peraturan daerah adalah salah satu bentuk kewenangan
yang dimiliki oleh pemerintah daerah
untuk mengatur ketentuan-ketentuan tertentu di daerah dapat memuat
sanksi-sanksi sebagaimana layaknya undang-undang namun sanksi tersebut bersifat
limitatif. Beberapa pengaturan daerah tersebut berwenang untuk membuat peraturan
daerah untuk mengatasi persoalan sosial di daerah masing-masing. Namun apakah,
secara yuridiksi baik kompetensi dan urgensi peraturan daerah dapat mengatur
secara penuh permasalahan penyakit sosial masih menjadi suatu kontradiksi. Untuk
itulah Penulis mencoba mengkaji masalah dalam suatu makalah yang berjudul “Yuridiksi
Peraturan Daerah Dalam Kaitannya Dengan Penyakit Sosial”.
B. Rumusan
Masalah
Pokok permasalahan dalam Makalah yang
berjudul “Yuridiksi Peraturan Daerah Dalam Kaitannya Dengan Penyakit Sosial”
adalah :
- Bagaimana yuridiksi peraturan daerah apabila dikaitkan dengan penyakit sosial ?
- Faktor-faktor apa saja yang menjadi indikator ketidakefektifan peraturan daerah apabila dikaitkan dengan penyakit sosial ?
C. Tujuan
Penulisan
Pada dasarnya, tujuan dari pembuatan
makalah yang berjudul “Yuridiksi Peraturan Daerah Dalam Kaitannya Dengan
Penyakit Sosial” bertujuan untuk :
1. Melaksanakan
salah satu tugas yang diberikan kepada Perancang Peraturan; dan
2. Bahan
tersier untuk mengetahui indikator Peraturan Daerah Dalam Kaitannya Dengan
Penyakit Sosial
D. Metedologi
Penelitian
Pada dasarnya makalah yang berjudul “Yuridiksi
Peraturan Daerah Dalam Kaitannya Dengan Penyakit Sosial” menggunakan metodologi
penelitian Deskriptif Kualitatif, yaitu memadukan Data Primer (Peraturan
Perundang-Undangan), Data Sekunder (Literatur Hukum) dan Data Tersier (media
internet) sehingga dapat dihasilkan bahan analistis komparasi yang deskriptif.
E. Manfaat
Penelitian
Penulisan makalah yang berjudul “Yuridiksi
Peraturan Daerah Dalam Kaitannya Dengan Penyakit Sosial” diharapkan dapat
memberikan manfaat bagi :
1. Penulis
sebagai bahan pembelajaran dalam meningkatkan pemahaman dan kapasitas Penulis
dalam lingkup mengetahui yuridiksi berbasis kompetensi dan urgensi suatu peraturan daerah dalam kaitannya dengan penyakit sosial; dan
2. Khalayak luas terutama di
Kantor Wilayah kementerian Hukum dan HAM Bengkulu.
BAB II
PENYAKIT
SOSIAL
Dekadensi moral yang terjadi di Indonesia pada dasarnya merupakan
suatu respon imparsial dari masyarakat yang kurang merasakan pemerataan hasil
pembangunan. Tentu saja ekspektasi tersebut secara apriori lahir akibat
ketidakberdayaan pemerintah dalam mewujudkan apa yang menjadi salah satu tujuan
negara sebagaimana termuat dalam preambule
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945) yaitu
mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Pluralisme permasalahan yang
terjadi dapat menimbulkan beberapa dampak negatif yang dapat merugikan
masyarakat, baik materiil, fisik maupun
psikologis.
Salah satu bentuk konkrit dari ketidak merataannya
pembangunan di tengah masyarakat adalah timbulnya beragam penyakit sosial atau
penyimpangan sosial (deviasi sosial). Salah satu sumber mendefinisikan penyakit
sosial (deviasi sosial) sebagai suatu bentuk prilaku (perbuatan) yang tidak
sesuai dengan kaidah dan norma yang hidup tumbuh berkembang di lingkungan
masyarakat. Berdasarkan pengertian tersebut, secara implisit dapat kita artikan
bahwa segala sesuatu yang bertentangan dengan norma yang selama ini menjadi
kearifan lokal dan diakui sebagai pengendali tingkah laku manusia adalah suatu
gejala sosial yang dapat menimbulkan berbagai jenis penyakit masyarakat. Adapun
beberapa norma yang diakui sebagai (control
of posture) pengendali tingkah laku di tengah masyarakat apabila dilihat
dari sanksinya terbagi menjadi sebagai berikut :
1. Tata
Cara (usage);
Suatu bentuk
perbuatan yang apabila tidak dilaksanakan hanya akan dikenakan sanksi yang
ringan, seperti menggunakan sendok dengan tangan kiri.
2. Kebiasaan
(folkways);
Cara bertindak yang
digemari oleh masyarakat sehingga dilakukan secara berulang-ulang, seperti
mengucapkan salam ketika bertemu dengan sekelompok atau individu lain.
3. Tata
Kelakuan (Mores);
Norma yang bersumber
dari ajaran filsafat, doktrin, agama atau ideologi yang dianut oleh segolongan
masyarakat.
4. Adat
(Custom); dan
Norma yang menjadi
landasan dan tata cara hidup yang berasal dan diperuntukkan bagi masyarakat dan
mengikat kuat dalam diri masyarakat tersebut. Tidak jarang dalam norma adat,
pelanggarnya dikenakan hukuman yang keras.
5. Hukum
(laws).
Norma yang bersifat
Selain
norma tersebut, klasifikasi norma berdasarkan sumber atau asal usulnya bisa
dibagi kedalam beberapa sub kelompok yaitu adalah norma kesopanan, norma
kesusilaan, norma agama dan norma hukum[1].
Berbagai penyakit sosial sangat dirasakan dapat membawa
destabilisasi keamanan dan ketertiban masyarakat bahkan dalam banyak kasus
dapat berujung pada pelanggaran hukum. Harus diakui, menurut Soejono Soekanto[2], pada
prinsipnya penyakit sosial timbul akibat terjadinya persinggungan dengan
norma-norma yang hidup di tengah masyarakat. Penyakit sosial tersebut dilatar
belakangi oleh faktor-faktor berikut :
1. Faktor
Ekonomi;
Kemiskinan,
Pengangguran, dan lain-lain.
2. Faktor
Budaya;
Perceraian,
Kenakalan Remaja, dan lain-lain.
3. Faktor
Psikologis; dan
Penyakit Menular,
Keracunan Makanan, dan lain-lain.
4. Faktor
Psikologis.
Penyakit Syaraf, Aliran
Sesat, dan lain-lain.
Dalam perkembangaannya, penyakit sosial juga mengalami
ameliorasi (bersegi luas) pemakanaan istiah. Dahulu, penyakit sosial identik
dengan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan norma kesusilaan dan
kesopanan yang bersifat konvensional seperti beberapa diantaranya prilaku
minuman keras, bermain judi, narkoba, dan prostitusi. Namun, saat ini penyakit
sosial tidak hanya terdiri dari perilaku sebagaimana yang telah disebutkan,
bahkan lebih subyektif lagi, penyakit sosial bisa berupa kenakalan remaja, penyebaran
HIV/AIDS, penyimpangan seksual (swinger/heteroseks/homoseks),
bahkan budaya korupsi oleh beberapa kalangan sudah dianggap sebagai salah satu contoh
bentuk penyakit sosial. Pergeseran pemahaman penyakit sosial tersebut diduga
cenderung dapat dipengaruhi oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, akulterasi
budaya, dan dinamika politik kebangsaan.
Persoalan penyakit sosial juga erat kaitannya dengan
permasalahan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Jika dikaji lebih
subyektif, banyak bentuk penyakit sosial yang melanggar hak asasi manusia yang
merupakan hak dasar yang dimiliki oleh manusia sebagaimana yang disebutkan
dalam Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 28 A- Pasal 28 J, Pasal 29, Pasal 31,
Pasal 33 dan Pasal 34 UUD NRI Tahun 1945. Secara lebih rinci persinggungan
dengan Hak Asasi Manusia sebagai akibat dari munculnya penyakit sosial juga
terdapat pada substansi pasal per pasal Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia.
Telah cukup jelas bahwa pada hakikatnya penyakit sosial ternyata
memiliki keterkaitan yang erat dengan norma-norma yang ada di masyarakat. Penentangan
terhadap norma-norma sekaligus nilai-nilai yang hidup, tumbuh kembang di
masyarakat merupakan suatu bentuk awal dari timbulnya berbagai penyakit sosial.
Semakin variasinya jenis, akibat, dan dampak dari munculnya penyakit sosial
maka akan semakin kuat juga komitmen masyarakat untuk memperbaiki dan
mempertegas norma-norma dan hukum yang diakui pada masyarakat. Bahkan, tidak
jarang untuk mengantisipasi penyakit sosial tersebut, masyarakat membuat
kaidah-kaidah sendiri. Hal tersebut merupakan suatu bentuk konklusi keinginan masyarakat
yang tidak ingin lingkungannya terancam dengan adanya penyakit sosial.
BAB III
PERATURAN DAERAH
Sebagai negara dengan bentuk kesatuan, Indonesia telah
melakukan beberapa perubahan yang cukup urgensial dalam penyelenggaraan bentuk
dan sistem tata pemerintahan. Salah satu bentuk tersebut adalah perubahan
sistem pemerintahan yang sebelumnya menganut sistem pemerintahan sentralisasi
namun pada akhirnya menerapkan sistem pemerintahan desentralisasi (transfer of authority), yaitu suatu pelimpahan
kewenangan (atributif) penyelenggaraan pemerintahan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah (daerah otonom). Berdasarkan hal tersebut, pemerintahan
daerah diberikan kewenangan untuk bertindak sebagai pembuat kebijakan (policy making) dan pelaksana kebijakan (executing making).
Pemerintah daerah merupakan penyelenggaraan urusan
pemerintahan di daerah yang menganut asas otonom dan tugas pembantuan dengan pemberian
prinsip ekonomi seluas-luasnya dalam sistem dan konsep Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana yang dimaksud oleh Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Unsur-unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah terdiri
dari Gubernur, Bupati, atau Walikota, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan perangkat
daerah. Cukup menarik dan akan menjadi
bahan kajian dalam penulisan makalah ini adalah menenai Peraturan Daerah
(Perda) yang merupakan salah satu produk hukum sekaligus produk politik yang
dihasilkan pemerintahan daerah.
Berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah bahwa Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut
dengan Perda terdiri dari peraturan daerah provinsi dan/atau peraturan daerah
kota. Mekanisme disahkannya suatu Peraturan Daerah adalah melalui penetapan
kepala daerah setelah sebelumnya disetujui bersama antara Kepala Pemerintahan
Daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terkait. Sebagaimana sifat atributifnya,
seperti Undang-Undang, Peraturan Daerah juga diberikan kewenangan untuk memuat
ancaman denda, pidana, dan kurungan namun bersifat limitatif, terhadap denda paling
banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta
rupiah) dan ancaman pidana tidak boleh lebih dari 6 (enam) bulan penjara.
Pengaturan yuridis yang berkaitan dengan peraturan
daerah mulai dari definisi, substansi atau materi hingga tahapan pengundangan
dan penyebarluasan tertuang dalam peraturan-peraturan berikut, yaitu :
1. Pasal
18 ayar (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah;
3. Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; dan
4. Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2007 tentang Pengesahan,
Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-Undangan.
Secara yuridis formal, eksistensi dari Peraturan Daerah
disebutkan pada Pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan yaitu :
1. Undang-Undang
Dasar 1945;
2. Ketetapan
Majelis Pemusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang
dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan
Pemerintah;
5. Peraturan
Presiden;
6. Peraturan
Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota.
Dalam perkembangannya pasca diterbitkannya Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, peraturan daerah tidak hanya berupa
pemerintah daerah provinsi dan kabupaten kota, namun muncul peraturan daerah
khusus yang dinamakan Qanun, yaitu peraturan daerah baik provinsi maupun
kabupaten atau kota untuk mengatur peneyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam (NAD) sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2006 tentang Pemerintah Aceh. Selain itu, peraturan daerah khusus juga dimiliki
oleh Provinsi Papua yang disebut sebagai Perdasus dan Perdasi yang khusus untuk
melaksanakan pasal-pasal tertentu pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Namun apapun bentuknya, pada
dasarnya baik Qanun, Perdasus dan Perdasi secara substansi tetap merupakan
suatu peraturan yang sama tingkatannya dengan peraturan daerah.
Sekalipun peraturan daerah merupakan peraturan yang
merupakan atribusi (pelimpahan wewenang)
dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, peraturan daerah
tetaplah suatu peraturan yang secara hierarki terikat dengan asas pembentukan
peraturan perundang-undangan seperti peraturan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (lex superior derogat legi
inferiori) atau peraturan yang baru meniadakan peraturan yang lama ( lex posterior derogat legi
priori). Sebagai bagian dari produk hukum dalam tataran negara
konstitusi, Peraturan Daerah tidak dapat dibuat melebihi kewenangannya (over authority). Peraturan Daerah juga dapat
dilakukan pengujian (judicial review)
terhadap peraturan diatasnya apabila ditemui dugaan pelanggaran konstitusional
yang merugikan pihak-pihak tertentu.
Peraturan daerah yang baik adalah peraturan daerah yang
dapat menjamin, melindungi, mengakomodir kebutuhan masyarakat, dan mampu menjawab
hambatan yang ditemui oleh masyarakat sekaligus mampu menunjang jalannya
penyelenggaraan pemerintah daerah baik secara ekonomis maupun politis. Oleh
karena itu, idealnya suatu peraturan daerah harus dapat menyesuaikan diri
dengan dinamika sosial sehingga suatu peraturan daerah dapat bertahan lama dan dapat
menjadi salah satu regulasi sentral yang akan benar-benar melekat dalam setiap
individu di masyarakat.
PEMBAHASAN
A.
Bagaimana
yuridiksi peraturan daerah apabila dikaitkan dengan penyakit sosial ?
Fenomena
maraknya peraturan daerah yang diterbitkan oleh setiap pemerintah daerah
provinsi dan pemerintah daerah kabupaten atau kota di Indonesia pasca
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah ternyata
cukup meyakinkan publik bahwa peraturan daerah punya tendensi yang kuat untuk
menjawab kebutuhan konkrit dan faktual masyarakat. Padahal sebelumnya,
segolongan masyarakat dan sebagian perangkat daerah nyaris frustasi dengan
penerapan sistem sentralisasi yang dalam prakteknya banyak menimbulkan
ketimpangan dan permasalahan sosial di daerah. Harus diakui bahwa peraturan
daerah di era kekinian secara implisit telah memberikan suatu imunitas khusus
bagi daerah untuk menjalankan pemerintahnnya sendiri. Suatu “angin segar” bagi
kemajuan daerah.
Tentu
saja, berbagai rencana pemerintah daerah untuk menyelenggarakan sistem
pemerintahan secara otonom menjadi terbuka lebar. Pluralisme permasalahan di
daerah menjadi cukup terakomodir dan teratasi dalam suatu bingkai hukum yang
bernama peraturan daerah. Berbagai peraturan daerah pada akhirnya diterbitkan
dalam karakteristik permasalahan yang beragam seperti salah satunya adalah
peraturan daerah yang berkaitan dengan penyakit sosial. Secara ekstrintik,
dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah telah bergerak dalam 2 (dua) gerbong lalu
lintas konstitusi yaitu melaksanakan undang-undang sekaligus menegakkan peraturan
daerah.
Pada
umumnya, tidak sedikit pemerintah daerah yang meregulasikan berbagai permasalahan
penyakit sosial di masyarakat-nya dalam bentuk peraturan daerah. Masalah ini menjadi menarik jika menilik bahwa
kemungkinan penyebab diangkatnya permasalahan penyakit sosial dalam banyak
peraturan daerah dikarenakan suatu kebutuhan mendesak suatu masyarakat lokal,
adanya karakteristik khusus suatu daerah, atau bahkan sebagai bentuk campur
tangan dan kepentingan politik kekuasaan. Terebih lagi, apabila dikomparasikan
dengan kaidah-kaidah hukum yang secara substansi belum sepenuhnya diatur dalam
hukum positif, ternyata bisa diatur oleh peraturan daerah. Suatu nilai positif
terhadap eksistensi peraturan daerah.
Pada
hakikatnya, suatu peraturan daerah merupakan peraturan yang dibuat atas
persetujuan bersama antara Kepala Daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
yang tentu lebih memahami kondisi riil masyarakat dan daerahnya daripada
pemerintah pusat. Pemahaman terhadap kondisi riil tersebut tentu akan lebih
efisien dan efektif hasilnya bagi
masyarakat dan pemerintah daerah apabila telah dilakukan pengkajian yang
sistematis dan ilmiah terhadap peta permaslaahan sosial di masyarakat. Beberapa
bentuk dan kerakteristik tema yang berbeda dari peraturan daerah adalah sebagai
beriktu :
a. Peraturan
Daerah Kabupaten Buleleng Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penanggulangan Pelacuran ;
b. Peraturan
Daerah Kota Sambas Nomor 3 Tahun 2004 tentang Larangan Pelacuran dan Pornografi;
c. Peraturan
Daerah Kota Medan Nomor 6 Tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan dan
Pengemisan Serta Praktek Susila; dan
d. Peraturan Daerah
Kabupaten Sleman Nomor 8 Tahun 2007 tentang Pelarangan Pengedaran,
Penjualan dan Penggunaan Minuman Beralkohol.
Sepintas,
peraturan daerah yang mengangkat tema penyakit sosial merupakan suatu keharusan
dan kebutuhan hukum pemerintah daerah dan masyarakat lokal. Namun apakah
permasalahan penyakit sosial telah sesuai dengan yuridiksi peraturan daerah. Tentu
akan lebih matang dan komplementer apabila kita juga mencoba untuk mengkaji
dari sisi yang berseberangan.
Untuk
menentukan apakah suatu peraturan daerah memang dapat mengangkat tema yang
berkaitan dengan penyakit sosial tidak bisa dilakukan dengan membatasi
pemahaman substansi secara kausalitas. Pemahaman ini diperlukan karena penyakit
sosial merupakan abstraksi yang memiliki makna bias dalam pendefinisiannya.
Sebagaimana diketahui, bahwa ada banyak karakteristik penyakit sosial yang bisa
diakomodir dalam suatu peraturan daerah. Tentu saja, perlakuan terhadap suatu
karakteristik peraturan daerah semisal mengenai larangan meminum minuman
beralkohol di suatu daerah, tentu akan berbeda atau belum tentu diterima oleh
kondisi di daerah lain. Perbedaan perspektif suatu masyarakat di suatu daerah
tentu juga akan menjadi suatu diferensial tersendiri. Boleh saja suatu daerah
menganggap bahwa minuman beralkohol adalah suatu kebiasaan (eninformentable) yang mengakar di lingkungan masyarakat di suatu
daerah namun belum tentu kondisi tersebut dapat diterima oleh kondisi masyarakat
daerah lain. Pada prinsipnya, kondisi tersebut terjadi dapat disebabkan tingkat
kereligiusan suatu daerah atau faktor lainnya.
Secara
apriori, penyakit sosial tentu tidak hanya berupa perbuatan meminum minuman
beralkohol namun juga ada jenis tindakan (handling)
lain. Pembahasan mengenai yuridiksi peraturan daerah atau bagaimana ruang
lingkup otoritas suatu peraturan daerah dalam kaitannya dengan penyakit sosial
tidak dapat diterjemahkan dengan cara sederhana seperti mengkaji beberapa jenis
penyakit sosial. Tentu penyakit sosial tidak hanya berupa larangan meminum
minuman keras akan tetapi ada perbuatan lain yang tentu berangkat berdasarkan
latar belakang dan fislosofi kedaerahan. Oleh sebab itu, untuk menghindari ketidakobjektifan
penilaian, maka mutlak diperlukan pengkajian substansi masalah secara
komperhensif.
Pelimpahan
wewenang untuk membuat dan melaksanakan kebijakan yang diberikan terhadap
peraturan daerah tidak lantas dapat membuat suatu peraturan daerah dapat
membuat dan melaksanakan kebijakan lokal secara luas. Jika hendak mengakomodasi
penyakit sosial, maka idealnya suatu peraturan daerah harus benar-benar dapat menentukan
apakah telah sesuai dengan kompetensi hukum yang ada. Beberapa pengaturan dalam
peraturan daerah in casu telah diatur oleh peraturan yang lebih tinggi
yaitu Undang-Undang. Beberapa penyakit sosial seperti meminum minuman
beralkohol, kenakalan remaja yang mengakibatkan bentrok fisik, atau
permasalahan pornografi, dan lainnya telah diatur oleh Undang-Undang.
Permasalahan tersebut bahkan secara yuridis formal pada dasarnya merambah ranah
pidana dan perdata. Pengaturan mengenai kenakalan remaja seperti maraknya
bentrok fisik sebetulnya telah diatur dalam hukum pidana khusus (ius specialis) yaitu di dalam
Undang-Undang Nomor 03 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Begitu juga dengan permasalahan
pornografi di suatu daerah, sebetulnya sudah diatur oleh Undang-Undang Nomor 44
Tahun 2008 tentang Pornografi.
Pada
dasarnya, penyakit sosial merupakan penyakit bangsa yang tentu pegaturannya
tidak cukup hanya diakomodir oleh suatu peraturan daerah. Timbulnya penyakit
sosial di masyarakat adalah tanggung jawab pemerintah dalam segi luas sebagai
tiang penyelenggara negara. Persoalan seperti kebiasaaan meminum minuman
beralkohol, kenakalan remaja, maraknya pornografi, bahkan budaya korupsi tentu
harus dipandang sebagai persoalan besar yang menjadi tanggung jawab negara dan
tidak cukup untuk diatur dalam peraturan daerah. Memang, dalam prakteknya
peraturan daerah banyak sekali yang mengangkat persoalan sosial konkrit yang
ada di masyarakat. Namun. kita harus
menyadari bahwa tidak semua peraturan daerah dapat berjalan dengan konsisten
mengingat perbedaan karakteristik di setiap daerah sehingga dikhawatirkan dapat
menimbulkan kontradiksi dalam setiap tahapan pengundangan hingga
pemberlakuannya peraturan daerah.
Berdasarkan
hal tersebut, peraturan daerah pada dasarnya dapat memberi pengaturan tersendiri
tentang penyakit sosial di daerah namun yuridiksi tersebut tidak mutlak
dimiliki. Terhadap penyakit sosial tertentu yang sudah ada pengaturannya secara
tegas dalam Undang-Undang maka suatu peraturan daerah tidak diperlukan lagi. Peraturan
daerah yang berkaitan dengan pelacuran, minuman keras, aliran sesat, dan yang
lain sebagainya tidak memiliki kompetensi absolut untuk diakomodir dalam suatu
peraturan daerah karena beberapa permasalahan yang timbul dari adanya penyakit
sosial merupakan tanggah jawab pemerintah secara nasional. Peraturan daerah bukan
produk hukum sebagai buah delegasi Undang-Undang, akan tetapi merupakan
kewenangan atributif dari pemerintah pusat yang idealnya suatu pemerintah
daerah dapat dengan cermat melihat peta permasalahan penyakit sosial di
masing-masing daerah. Tentu dalam teknis pembuatan suatu peraturan daerah,
pemerintah daerah juga harus memeperhatikan pososi tawar pemerintah terkait
dengan pemasukan daerah.
B.
Faktor-faktor
apa saja yang menjadi indikator ketidakefektifan peraturan daerah apabila
dikaitkan dengan penyakit sosial ?
Peraturan daerah tidak secara umum dapat mengakomodir
penyakit sosial yang yang terdapat di berbagai daerah. Ada restriksi khusus
yang memang tidak bisa diatur oleh peraturan daerah karena meruapakan masalah
nasional. Sedianya pembuatan
peraturan daerah harus memperhatikan segi kemanfaatan, keberdayagunaan dan optimalisasi
sehingga suatu peraturan daerah dapat memberikan kontribusi pada pemerintah
daerah dan masyarakat.
Sekalipun peraturan daerah cukup responsif untuk meminimalisir
potensi penyakit masyarakat yang ada di masyarakat namun tidak semua peraturan
daerah dapat mengangkat tema yang berkaitan dengan penyakit sosial. Hal
tersebut disebabkan oleh :
1. Proses
akulturasi budaya antara masing-masing daerah;
Seiring
dengan meningkatnya kemajuan ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi dan budaya
serta maka akan menjadi kohern dengan kemajuan pembangunan suatu daerah.
Berdasarkan hal tersebut, tidak dapat dihindari lagi jika suatu daerah akan
terbuka dengan masyarakat lain dan menjadikan setiap daerah menjadi masyarakat
sosio heterogenik. Kurang efektif jika pemerintah daerah terkait memuat kebijakan yang hanya
menguntungkan salah satu golongan masyarakat.
2. Secara
substantif telah diatur oleh peraturan yang lebih tinggi; dan
Peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi pada dasarnya memberikan pengaturan yang
general sehingga kemudian ditindaklanjuti secara lebih rinci oleh peraturan
yang ada dibawahnya. Namun, dalam kondisi tertentu, peraturan yang lebih tinggi
terkandung telah memberikan pengaturan tegas seperti pengaturan tentang perbuatan
pidana yang tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ataupun Hukum
Pidana Khusus (poenale sanctie) sehingga
tidak perlu lagi diatur oleh peraturan dibawahnya.
3. Sejumlah
penyakit sosial yang merupakan permasalahan hukum kebangsaan.
Tidak
bisa dipungkiri lagi apabila ada beberapa penyakit sosial secara general
merupakan persoalan yang harus di selesaikan secara komperhensif. Seperti salah
satunya adalah permaslaahan pornografi. Sebagaimana bangsa yang beradab dan
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian, tentunya bangsa Indonesia perlu untuk
memfiltrasi tata nilai yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Oleh sebab
itu, untuk penyakit sosial tertentu maka terkadang pengaturan yuridis dalam
bentuk peraturan daerah akan tidak efektif dilaksanakan mengingat setiap daerah
bisa saja membuat suatu materi muatan peraturan daerah yang menyimpang.
Peraturan daerah yang berkaitan dengan
penyakit sosial merupakan salah satu permasalahan yang cukup sensitif. Bahkan,
Peraturan Daerah Kota Tanggerang Nomor 07 Tahun 2005 tentang Pelarangan
Pengedaran Minuman Beralkohol dicabut oleh Kementerian Dalam Negeri dengan
alasan bahwa peraturan daerah tersebut bertentangan dengan peraturan yang lebih
tunggi. Untuk itu, sebelum membuat suatu peraturan idealnya harus
benar-benar mencermati aspek sosiologis, yuridis dan filosofis sehingga baik
dari segi teknik penyusunan, substansi maupun sistematika peraturan dapat
diterima dengan baik oleh masyarakat.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan
Bab IV tentang Pembahasan, dapat disimpulkan bahwa peraturan daerah yang
merupakan produk hukum daerah sebagai hasil persetujuan politis antara
Pemerintah Daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah memiliki sifat
atributif untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan di daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Kewenangan tersebut memberikan koridor kewenangan
yang cukup luas bagi pemerintah daerah untuk mengatur kehidupan dan segi
tingkah laku sesuai dengan karakteristik masyarakat lokal termasuk mengatasi
penyakit sosial. Namun, ternyata tidak semua penyakit sosial dapat diatur oleh
peraturan daerah. Hal tersebut diakibatkan beberapa faktor berikut, yaitu :
1. Proses
akulturasi budaya antara masing-masing daerah;
2. Secara
substantif telah diatur oleh peraturan yang lebih tinggi; dan
3. Sejumlah
penyakit sosial yang merupakan permasalahan hukum kebangsaan.
B. SARAN
Penulis mengharapkan
agar makalah ini dapat menjadi sumber pelengkap (fakultatief) para Perancang Peraturan Perudang-Undangan agar dapat
mencermati dengan lebih substansif terhadap muatan materi peraturan daerah agar
tidak menabrak aturan yang lebih tinggi dan merupakan permasalahan sosial yang
bersifat lokal sehingga dapat berdaya laku efektif di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 2006, hlm 24.
Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya, Jakarta,
2007, hlm 98.
Wikipedia Bahasa Indonesia yang
berjudul “Penyimpangan Sosial” yang diunduh melalui website http://id.wikipedia.org/wiki/Perilaku_menyimpang
pada tanggal 26 Mei 2012.
Artikel Internet yang berjudul “Pengertian
dan Jenis Norma” yang diunduh melalui website www.organsiasi.org
pada tanggal 22 Mei 2012.
Artikel Internet yang berjudul
“Definisi, Penyebab dan Macam-Macam Penyakit Sosial” yang diunduh melalui
website www.c3i.sabda.org
pada tanggal 22 Mei 2012.
Artikel Internet yang berjudul
“Asas-Asas Otonomi Daerah” yang diunduh melalui website www.elfi-indra.blogspot.com
pada tanggal 23 Mei 2012.
Makalah yang dibuat oleh Himawan Estu
Bagijo, Staf Pengajar Universitas Airlangga yang berjudul ‘Pembentukan Peraturan Daerah” berformat Pdf
yang diunduh melalui media internet pada tanggal 24 Mei 2012.
Peraturan
Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah
Daerah
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 01 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan
Peraturan Perundang-Undangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar