PELAKSANAAN
PENEGAKAN HUKUM
DI INDONESIA SUATU KAJIAN FILSAFAT
Oleh :
CIK YANG, SH
A.
Latar
Belakang
Sebagai
dasar Negara Republik Indonesia ,
Undang-Undang Dasar 1945, memuat sistem pemerintahan negara Indonesia yang berdasarkan
hukum (rechtsstaat) bukan berdasarkan kekuasaan semata (machstaat). Dalam
pembukaan UUD 1945 didalamnya terkandung cita hukum dan
cita moral yang hendak diperjuangkan oleh bangsa dan negara Indonesia [1].
Negara Indonesia
berdasarkan atas hukum mengandung pengertian bahwa negara dan pemerintahan serta
lembaga-lembaga negara lainnya dalam melaksanakan perbuatan atau tindakan
apapun harus didasari oleh kepastian hukum dan harus dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
yang berdasarkan atas hukum, maka setiap hubungan antara seseorang dengan seseorang
lainnya, atau antara seseorang dengan alat-alat pemerintahan dan alat-alat
negara diatur berdasarkan peraturan-peraturan hukum yang berlaku.
Negara
hukum atau rechtsstaat atau rule of law dalam negara-negara modern memandang bahwa
hukum adalah lebih mendasar daripada negara, atau adanya hukum lebih dahulu
daripada negara[2]. Oleh
karena itu hukum dapat mengikat negara.
Dalam
menjalankan pemerintahannya suatu negara bekerja dengan berlandaskan pada
hukum, konstitusi dan berdasarkan pada tata tertib hukum yang sesuai dengan pendapat,
kehendak, dan kepentingan umum. Konsep ini pada dasarnya bertujuan untuk
menjamin tegaknya demokrasi, berjalannya kekuasaan negara yang fundamental dan
hak-hak asasi manusia. Oleh karenanya rule of law telah menempatkan hukum
sebagai panglima dalam penyelenggaraan negara. Namun dalam prakteknya berbeda
dalam kenyataannya, tidak dapat dipungkiri bahwa hukum masih sering diabaikan
baik dalam penyelenggaraan negara maupun dalam hak-hak warga negara. Setelah
puluhan tahun supremasi hukum dan keadilan yang didambakan oleh masyarakat jauh
dari kenyataan, bahkan keterpurukan hukum di Indonesia semakin menjadi-jadi. Kepercayaan
masyarakat terhadap law enforcement semakin memburuk, tidak sekedar pada
tingkat bad trust society tetapi sudah pada tingkat worst trust society[3].
Penegak
hukum yang seharusnya menjadi contoh yang baik dalam penegakan hukum tetapi
ternyata justru banyak yang mengkhianati hukum. Mafia peradilan semakin berani
dan terang-terangan dilakukan oleh aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan
hakim termasuk pengacara dalam menyelesaikan suatu perkara. Ini diakibatkan
oleh lemahnya pengawasan terhadap para aparat penegak hukum itu sendiri, serta
mental Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang sudah menjamur di kalangan
aparat penegak hukum.
Disamping
itu pendorong timbulnya KKN tidak terlepas dari peran serta masyarakat yang
mengakibatkan tidak berjalannya hukum sebagaimana mestinya, dimana untuk
menyelesaikan suatu perkara yang sedang dihadapinya mereka tidak tanggung-tanggung
untuk mengeluarkan sejumlah uang agar dapat bebas atau memenangkan suatu
perkara.
Keadaan
ini tentunya sangat memprihatinkan terjadi dalam negara yang disebut sebagai
negara hukum, untuk itu perlu segera diperbaiki. Konsep negara hukum sebagaimana
kehendak UUD 1945 harus segera dilaksanakan. Upaya ini tentunya juga untuk
menjamin tegaknya demokrasi dan keadilan dalam negara Indonesia . Oleh
karena itu berdasarakan uraian di atas akan dibahas kajian filsafat terhadap pelaksanaan
penegakan hukum di Indonesia .
B. Pengaturan
Hukum Dalam Masyarakat
Perkembangan
masyarakat yang susunannya sudah semakin kompleks serta pembidangan kehidupan yang
semakin maju dan berkembang, menghendaki pengaturan hukum juga harus mengikuti perkembangan
yang demikian itu. Hampir setiap bidang kehidupan sekarang ini kita jumpai
dalam peraturan hukum. Hukum menelusuri hampir semua bidang kehidupan manusia.
Hukum semakin memegang peranan yang sangat penting sebagai kerangka kehidupan
sosial masyarakat modern.
Problematika sosial selalu mempunyai pengaruh yang lebih
besar terhadap hukum daripada terhadap lain-lain aktifitas sosial. Perubahan
dalam nilai-nilai masyarakat mengubah pula dasar-dasar nilai hukum. Dasar-dasar
hukum dengan jelas dipengaruhi oleh dasar politik, ekonomi, kehidupan sosial,
kesusilaan, sebaliknya hukum mempunyai tugas memberi kepadanya bentuk dan
ketertiban[4].
Hukum dalam perkembangannya tidak hanya dipergunakan
untuk mengatur tingkah laku yang sudah ada dalam masyarakat dan mempertahankan
pola-pola kebiasaan yang telah ada. Lebih jauh dari itu hukum telah mengarah kepada
penggunaannya sebagai suatu sarana atau alat. Pemakaian hukum sebagai sarana
amat terasa semenjak kita melakukan pembangunan di segala bidang, seperti yang
terjadi pada zaman orde baru melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (repelita)[5].
Dalam sistem hukum Indonesia
yang berlaku pada saat ini, dari segi materi masih banyak peraturan yang
merupakan produk jaman Belanda yang hingga saat ini masih berlaku[6]
dan menjadi hukum positif bagi bangsa Indonesia . Pemberlakuan hukum
Belanda ini merujuk pada ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang
berbunyi “ segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku,
selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini “. Meskipun UUD
1945 telah diamandemen, keberadaan hukum Belanda tersebut tetap berlaku
berdasarkan ketentuan Pasal I Aturan Peralihan amandemen keempat UUD 1945 yang
berbunyi “ Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku
selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Dalam
peraturan-peraturan hukum Indonesia
saat ini masih banyak dipengaruh oleh hukum kolonial. Hal ini dapat dimaklumi
bahwa bangsa Indonesia
lebih kurang selama 350 tahun berada dalam kekuasaan bangsa penjajah yaitu bangsa
Belanda. Pengaruh hukum kolonial telah merasuki sampai ke sendi-sendi adat
masyarakat Indonesia ,
sehingga hukum adat (adatrecht) yang bersumber dari tatacara dan kebiasaan
masyarakat, ikut terpengaruh. Para founding fathers pada saat itu yang sebagian
besar merupakan lulusan universitas di Belanda, dalam merumuskan konstitusi Indonesia,
dipengaruhi oleh doktrin-doktrin Leiden[7],
doktrin-doktrin ini mempengaruhi pembentukan hukum di Indonesia serta
ideologi bangsa Indonesia.
Akan
tetapi tatanan hukum yang telah berurat dan berakar dalam kehidupan bangsa dan
negara Indonesia
sudah barang tentu sulit untuk dilepaskan begitu saja, walaupun pada
kenyataannya usaha perubahan-perubahan dan pembentukan hukum nasional sudah dilakukan
oleh pemerintah. Indonesia
memilih hukum sebagai dasar bagi pemerintahannya.
C.
Negara Hukum
Negara
hukum sebagaimana dimaksudkan oleh UUD 1945 adalah negara berdasarkan hukum.
Konsep rechtsstaat ini merupakan dasar yang baik bagi hak-hak asasi manusia.
Hanya di negara hukum, hak asasi manusia dijamin sebagaimana kemandirian
peradilan, due process of law (asas legalitas) dan judicial review[8].
Standar
negara hukum menurut International Commission Of Jurist (ICJ) dalam simposium
di Bangkok pada tahun 1965 adalah perlindungan terhadap HAM, peradilan yang
bebas dan tidak berat sebelah, pemilu yang jujur dan bebas, pengakuan terhadap
hak untuk mengeluarkan pendapat, kebebasan berorganisasi, berbeda pendapat, dan
hak untuk memperoleh pendidikan. Oleh karena itu prinsip negara hukum menurut
ICJ adalah :
1.
negara
harus tunduk kepada hukum;
2.
pemerintahan
menghormati hak-hak individu;
3.
peradilan
yang bebas dan tidak memihak.
1.
Konstitusional;
2.
Aturan
Hukum Pemerintahan;
3.
Hukum
harus jujur dan dilaksanakan secara konsisten;
4.
Peradilan
yang bebas;
5.
Hukum
Transparan dan dapat diterima semua golongan;
6.
Penerapan
hukum yang efisien dan tepat waktu;
7.
Perlindungan
Hak Properti dan Ekonomi;
8.
Perlindungan
HAM dan Kekayaan Intelektual;
9.
Hukum
dapat dirubah oleh proses yang telah ditentukan, transparan dan dapat diterima
semua.
Konstitusi
dalam negara-negara modern pada dasarnya telah mencakup tiga hal yang
fundamental yaitu:
1.
adanya
jaminan terhadap hak asasi manusia dan warga negaranya;
2.
ditetapkannya
ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental;
3.
adanya
pembagian dan pembatasan kekuasaan yang juga bersifat fundamental[10].
Sedangkan
CF Strong[11]
menyatakan bahwa apapun bentuknya, sebuah konstitusi sejati mencantumkan
keterangan-keterangan jelas mengenai hal-hal sebagai berikut :
1.
cara
pengaturan berbagai jenis institusi;
2.
jenis
kekuasaan yang dipercayakan kepada institusi-institusi tersebut;
3.
dengan
cara bagaimana kekuasaan tersebut dilaksanakan.
Hukum
dan konstitusi berkaitan erat disebabkan konstitusi merupakan norma atau hukum
dasar bagi penyelenggaraan negara.
Pada
hakikatnya hukum mengandung ide atau konsep-konsep yang abstrak. Sekalipun
abstrak, tapi ia dibuat untuk diimplementasikan dalam kehidupan sosial
sehari-hari. Oleh sebab itu perlu adanya suatu kegiatan untuk mewujudkan
ide-ide tersebut ke dalam masyarakat. Rangkaian kegiatan dalam rangka
mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan merupakan suatu proses penegakan
hukum.[12]
Hukum
mempunyai tiga elemen penting menurut Lawrence Meir Friedman[13]
dalam bukunya American Law : An Introduction, yaitu :
1.
Struktur
(tatanan kelembagaan)
Struktur
adalah rangka atau kerangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi
semacam bentuk dan batasan terhadap
keseluruhan. Di Indonesia struktur sistem hukum adalah termasuk struktur
institusi penegak hukum yaitu
kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
2.
Substance
(materi hukum)
Materi
hukum adalah aturan, norma dan perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem
itu. Substansi juga berarti yang
dihasilkan oleh orang yang berada didalam sistem hukum, mencakup
keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun, termasuk juga
hukum yang hidup (living law).
3.
Legal
Culture (budaya hukum)
Budaya
hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai,
pemikiran, serta harapannya. Pemikiran dan pendapat ini sedikit banyak
menentukan jalannya proses hukum. Dengan kata lain, kultur hukum adalah suasana
pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan,
dihindari dan disalahgunakan.
Menurut
Badan Pembinaan Hukum Nasional, unsur-unsur sistem hukum adalah[14]
:
1.
Materi
hukum (tatanan hukum), termasuk didalamnya ialah :
a.
Perencanaan
hukum
b.
Pembentukan
hukum
c.
Penelitian
hukum, dan
d.
Pengembangan
hukum.
Untuk
membentuk materi hukum harus diperhatikan politik hukum yang telah ditetapkan
yang dapat berbeda dari waktu ke waktu karena adanya kepentingan dan kebutuhan.
2.
Aparatur
Hukum yakni mereka yang mempunyai tugas dan fungsi :
a.
penyuluhan
hukum
b.
penerapan
hukum
c.
penegakan
hukum, dan
d.
pelayanan
hukum
adanya
aparatur hukum tertentu tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan politik hukum
yang dianut.
3.
Sarana
dan Prasarana hukum
4.
Budaya
hukum yang dianut oleh warga masyarakat, termasuk para pejabatnya.
5.
Pendidikan
hukum.
Hukum
pada dasarnya adalah alat perubahan sosial. Hukum dibutuhkan untuk menjadikan
setiap tindakan berpengaruh kepada setiap orang perorangan, kebendaan dan hak[15].
Ilmu hukum mempunyai dua kecenderungan yang sedang
terjadi yaitu; (1) ilmu hukum terbagi-bagi dalam berbagai bidang yang
masing-masing berdiri sendiri, (2) ilmu hukum menumpang pada bidang ilmu
lainnya sehingga seolah-olah bukan suatu ilmu yang berdiri sendiri.
Kecendrungan pertama terlihat dengan terbentuknya ilmu hukum kedalam ilmu yang
bersifat normatif-legalistik, ilmu hukum bersifat empiris, dan ilmu yang
bersifat filosofis. Terkadang penganut ketiga bidang tersebut acapkali saling
menampikkan. Sedangkan kecenderungan kedua tampak dengan semakin kentalnya
sikap yang menganalogikan ilmu hukum dengan sosiologi hukum dan antropologi
hukum[16].
Kecendrungan tersebut tentu mengurangi kemampuan ilmu
hukum itu sendiri dalam menghadapi masalah-masalahnya. Oleh karena itu ilmu
hukum harus bersifat integral. Ilmu hukum adalah suatu sistem. Sebagai suatu
sistem ilmu hukum harus merupakan suatu kebulatan dari seluruh komponen atau
subsistem yang satu sama lainnya saling berkaitan. Hal ini karena adanya
kelemahan dalam ilmu hukum murni secara teoritis (normatif) maupun ilmu hukum
terapan (empiris)[17].
Integralirtas ilmu hukum merupakan kebalikan dari spesialisasi ilmu hukum.
Tetapi spesialisasi ilmu hukum menjadi steril dan dangkal karena seperti halnya
melihat satu sisi mata uang saja dan melupakan sisi lainnya.
D. Penegakan Hukum dalam Kajian Filsafat
Dengan demikian untuk membicarakan hakikat hukum secara
tuntas, maka perlu diketahui tiga tinjauan filsafat yaitu ontologi,
epistimologi dan aksiologi[18].
1.
Tinjauan Ontologi
Secara ontologi yang dapat dipelajari dari hukum adalah
(1) nilai-nilai hukum, seperti keadilan, ketertiban, kepastian hukum dan
lain-lain, (2) kaidah-kaidah hukum baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis, (3) prilaku hukum atau peristiwa hukum.
2.
Tinjauan Epistimologi
Secara
hakikat, ilmu hukum harus disajikan secara integral. Oleh karena itu metode
ilmu hukum harus bersifat integral pula.
Metode hukum pada saat ini sering dibedakan antara metode normatif,
metode sosiologis, dan metode filosofis.
3.
Tinjauan Aksiologi
Secara
aksiologi peran dan fungsi dari ilmu hukum antara lain:
a.
Ilmu hukum berpengaruh dalam pembentukan hukum melalui
penyusunan peraturan perundang-undangan
b.
Ilmu hukum berpengaruh dalam praktik hukum atau
pelaksanaan hukum. Dalam proses peradilan seorang hakim lebih sering memutus
perkara dengan mengambil pendapat ahli hukum sebagai salah satu dasar
pertimbangannya. Begitupun juga penuntut umum dan penasihat hukum sering
mengambil pendapat ahli hukum sebagai penguat argumentasinya dalam mengajukan
tuntutan dan pembelaan.
c.
Ilmu hukum akan berpengaruh atas perkembangan
bidang-bidang lainnya. Dalam suatu sistem hukum yang berusaha untuk mengatur
segala hal atau bidang, maka sistem hukum seperti itu bersifat progressif dan
interventif.
Untuk mengkaji suatu persoalan secara mendalam agar
mengetahui ontologi, epistimologi dan aksiologi sampai pada dasarnya atau yang
disebut dengan hakikat, maka harus dimulai dengan berfikir secara kefilsafatan.
Berfikir secara kefilsafatan dalam konteks filsafat hukum tentunya memiliki
beberapa sifat atau karakteristik khusus yang membedakan dengan ilmu-ilmu lain[19]. Pertama,
filsafat hukum memiliki karakteristik yang bersifat menyeluruh dan
universal. Dengan cara berfikir holistik, tentu akan menambah wawasan dan
belajar menghargai pendapat orang lain. Selain itu filsafat hukum tidak
bersifat bebas nilai. Justru menimba nilai yang berasal dari hidup dan
pemikiran. Kedua, filsafat hukum dalam menganalisis suatu permasalahan
haris secara kritis dan radikal. Oleh karena itu dengan mempelajari hukum dan
memahami filsafat hukum berarti diajak untuk memahami hukum tidak dalam arti
hukum positif belaka. Orang yang mempelajari hukum secara positif belaka tentu
tidak akan mampu memanfaatkan dan mengembangkan hukum secara baik. Ketiga, bersifat
spekulatif. Sifat ini tidak bolah diartikan secara negatif sebagai sifat
gamblang atau gegabah. Sebagaimana ditegaskan oleh Suriasumantri[20],
bahwa semua ilmu yang berkembang saat ini bermula dari sifat spekulatif. Sifat
inilah yang memotifasi orang untuk mempelajari filsafat hukum secara inovatif,
dengan mencari sesuatu yang baru. Secara spekulatif filsafat hukum dengan
pengajuan pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat hukum. Pertanyaan-pertanyaan
inilah yang akan menimbulkan rasa sangsi, rasa ingin tahu, dan rasa terpesona
atas suatu kebenaran yang terkandung dalam suatu persoalan. Apabila
jawaban-jawabannya diperoleh, maka jawaban-jawaban itu disusun dalam suatu
sistem pemikiran yang universal dan radikal[21]. Kempat,
filsafat hukum bersifat reflektif dan kritis. Melalui sifat ini filsafat
hukum berguna untuk membimbing dalam menganalisis masalah-masalah hukum secara
rasional. Analisis inilah yang membantu kita untuk menentukan sikap secara
bijaksana dalam mengahadapi suatu masalah kongkrit[22]. Kelima,
filsafat hukum juga bersifat introsfektif atau menggunakan daya upaya introspektif.
Artinya tidak hanya menjangkau kedalaman
dan keluasan dari permasalahan yang dihadapi tetapi juga mempertanyakan peranan
dari dirinya dan dari permasalahan tersebut. Sifat introspektif dari filsafat
ini sesuai dengan sifat manusia yang
memiliki hakikat dapat mengambil jarak (distansi) tidak hanya pada hal-hal yang berada diluar,
tetapi juga pada dirinya sendiri[23].
Dengan adanya karakter-karakter yang bersifat khusus
diatas menunjukkan arti pentingnya filsafat hukum. Dengan demikian filsafat hukum
dapat dijadikan salah satu alternatif untuk membantu memberikan jalan keluar
atau pemecahan terhadap upaya penegakan hukum di Indonesia. Tentu saja
kontribusi yang dapat diberikan oleh filsafat hukum dalam bentuk konsepsi dan
persepsi terhadap pendekatan yang hendak dipakai dalam penyelesaian
masalah-masalah yang terjadi. Pendekatan mana didasarkan pada sifat-sifat dan
karakter yang melekat pada filsafat hukum itu sendiri[24].
Dengan pendekatan dan analisis filsafat hukum, maka para penegak
hukum dapat bersikap lebih arif dan bijaksana serta mempunyai ruang lingkup
pandangan yang lebih luas dan tidak terkotak-kotak yang memungkinkan dapat
menemukan akar masalahnya. Tahap selanjutnya diharapkan dapat memberikan solusi
yang tepat, karena penegakan hukum di negara
Indonesia ini tidak mungkin dapat dilakukan setengah hati atau hanya melalui
satu bidang tertentu saja, tapi harus meninjau melalui beberpa pendekatan lain
sekaligus (interdisipliner atau multidisipliner).
Dalam
konteks ini diperlukan adanya kerjasama yang baik diantara penegak hukum dan masyarakat.
Semua bekerja bahu-membahu dan menghindari diri dari rasa saling curiga,
kebencian dan permusuhan. Dengan pendekatan dan kerangka berpikir filsafati
seperti di atas, diharapkan dapat membantu kearah penyelesaian persoalan yang
sedang menimpa bangsa Indonesia
saat ini.
Pengaturan
penegakan hukum di Indonesia
kurang menyentuh harapan rakyat yang haus akan keadilan. Apalagi dalam
pelaksanaannya masih sangat jauh dari citra keadilan seperti apa yang
didambakan oleh masyarakat.
Banyaknya
lembaga penegakan hukum di Indonesia
bukan merupakan jaminan akan tegaknya keadilan dalam hukum. Banyak penyimpangan-penyimpangan
terhadap hukum kerap kali terjadi. Sebagai contoh dalam praktek sehari-hari
dimana tindakan aparat penegak hokum yang katanya sebagai pengayom masyarakat sendiri
justru malah membuat masyarakat kecewa bahkan berpihak kepada golongan tertentu
dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat.
Disamping
itu tidak tegasnya peraturan perundang-undangan yang mengatur suatu
permasalahan, mengakibatkan peraturan perundang-undangan tersebut bagaikan
macan ompong yang berani mengaum tetapi tidak mampu untuk menggigit mangsanya, demikian
juga tingkat pengetahuan dan kesadaran hukum masyarakat yang masih jauh dari standar,
hal ini ikut mempengaruhi dalam proses penegakan hukum.
Oleh
karena itu perlu adanya pendekatan yang lebih konfrehensif dan dan integral yaitu dengan pendekatan dan
analisis filsafati. Filsafat dapat
digunakan untuk menjebatani permasalahan tersebut.
Disamping
itu adanya pembinaan dan pengawasan terhadap pentingnya penegakan hukum dalam
masyarakat sehingga dapat menumbuhkan kesadaran hukum baik itu terhadap
masyarakat maupun terhadap para penegak hukum itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad
Ali, 2002, Keterpurukan Hukum Di
Indonesia (Penyebab dan Solusinya), Penerbit Ghalia Indonesia , Jakarta .
Bambang Sutiyoso, 2004, Aktualita Hukum dalam Era
Reformasi, Rajawali Pers, Jakarta.
Barry M. Hager, 1999, The Rule Of Law : A Lexicon for Policy Makers, The Mansfield Center For Facific Affairs.
Darji
Darmodihardjo dan Shidarta, 1995, Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia ,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta .
Esmi Warassih, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT.Suryandaru, Semarang ,
Jain,
MP, 1998, Administrative Law of Malaysia dan Singapore , Kuala Lumpur , Malayan Law
Jornal Pte.Ltd
Musthafa Kamal Pasha, 1988, Pancasila UUD 1945 dan Mekanisme Pelaksanaannya, Mitra Gama Widya, Yogyakarta ,
Peter J Burns, 1999, The Leiden
Legacy : Concepts of Law In Indonesia , PT Pradnya Paramita, Jakarta .
Samidjo, 1986, Ilmu
Negara, Armico, Bandung .
Satya Arinanto,Kumpulan
Materi Transparansi Politik Hukum.
Soetiksno, Mr., 1986, Filsafat Hukum Jilid 2, Pradnya
Paramita, Jakarta.
Srie
Soemantri, 1987, Prosedur dan Sistem
Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung .
Strong, CF,
2004, Konstitusi Konstitusi Politik
Modern, Kajian tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, Nuansa
dan Nusamedia, Bandung ,
Sugiyanto Darmadi, 1998, Kedudukan Ilmu Hukum
dalam Ilmu dan Filsafat, Mandar Maju, Bandung .
Suriasumantri,
1985, Filsafat Hukum Sebuah Pengantar Populer, Sinar Harapan, Jakarta .
Todung
Mulya Lubis, 1990, In Search Of Human
Right, Legal Political Dilemmas Of Indonesia’s, A Dissertation Submitted to
Boalt Hall Law School in Partial Fulfillment of the Candidacy for the Deggre of
Juris Sciente Doctor, Berkeley, California
[1] Musthafa Kamal Pasha,
1988, Pancasila UUD 1945 dan Mekanisme Pelaksanaannya, Mitra Gama Widya, Yogyakarta , hal.106
[3] Achmad Ali, 2002,
Keterpurukan Hukum Di Indonesia (Penyebab dan Solusinya), Penerbit Ghalia Indonesia , Jakarta , hal. 10
[5] Esmi Warassih, 2005, Pranata Hukum Sebuah
Telaah Sosiologis, PT.Suryandaru, Semarang ,
hal 20.
[6] Satya
Arinanto,Kumpulan Materi Transparansi Politik Hukum.
[7] Peter J Burns, 1999,
The Leiden
Legacy : Concepts of Law In Indonesia , PT Pradnya Paramita, Jakarta .
[8] Todung Mulya Lubis,
1990, In Search Of Human Right, Legal Political Dilemmas Of Indonesia’s, A
Dissertation Submitted to Boalt Hall Law School in Partial Fulfillment of the
Candidacy for the Deggre of Juris Sciente Doctor, Berkeley, California.
[9] Barry M. Hager, 1999,
The Rule Of Law : A Lexicon for Policy Makers, The Mansfield Center
For Facific Affairs.
[10] Srie Soemantri, 1987,
Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung , Cet. IV, Hal. 51
[11] CF Strong, 2004,
Konstitusi Konstitusi Politik Modern, Kajian tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk
Konstitusi Dunia, Nuansa dan Nusamedia, Bandung, hal. 14.
[12] Esmi Warassih, Op.
cit. hal 78
[13] Ahmad Ali, Op.
cit. hal. 7-9
[15] MP JAIN, 1998,
Administrative Law of Malaysia dan Singapore , Kuala Lumpur : Malayan Law Jornal
Pte.Ltd.
[16] Sugiyanto Darmadi,
1998, Kedudukan Ilmu Hukum dalam Ilmu dan Filsafat, Mandar Maju, Bandung , Hlm. 58
[17] Ibid
[18] Ibid. Hlm. 59
[20] Suriasumantri, Filsafat
Hukum Sebuah Pengantar Populer, Jakarta :
Sinar Harapan, 1985, Hlm 22
[22] Darji Darmodihardjo
dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat
Hukum Indonesia , Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta ,
1995, Hlm. 17
[23] Sugiyanto Darmadi, Op.Cit,
Hlm. 18-19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar