HAK ASASI MANUSIA PEREMPUAN Dalam Penyelesaian Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga |
20 September 2010 |
HAK ASASI MANUSIA PEREMPUAn
Dalam Penyelesaian Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga Oleh : Nurlely Darwis, SH, M.Si * IV. KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Sesuai dengan namanya maka penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelakunya dan melindungi korban kekerasan tersebut. Perlu diingat kembali pengertian kekerasan dalam rumah tangga menurut pasal 1 UU No 23 tahun 2004 tentang PKDRT, untuk itu perlu juga diketahui tentang Teori Lingkaran Kekerasan untuk memahami mengapa korban kekerasan dalam rumah tangga tetap bertahan atau berupaya mempertahankan perkawinannya. Teori lingkaran kekerasan terdiri atas tiga tahap yaitu tahap ( I ) munculnya ketegangan, tahap ( II ) tahap pemukulan akut, tahap ke ( III ) adalah tahap bulan madu.[2] [2] Pada tahap pertama munculnya ketegangan yang mungkin disebabkan percekcokan terus menerus, atau tidak saling memperhatikan, atau kombinasi keduanya dan kadang- kadang disertai dengan kekerasan kecil. Namun, semua ini biasanya dianggap sebagai bumbunya perkawinan. Kemudian pada tahap kedua, kekerasan mulai muncul berupa meninju, menendang, menampar, mendorong, mencekik, atau bahkan menyerang dengan senjata. kekerasan ini dapat berhenti kalau siperempuan pergi dari rumah atau silaki- laki sadar apa yang dia lakukan atau salah seorang perlu dibawa kerumah sakit. Pada tahap bulan madu, laki- laki sering menyesali tindakannya. Penyesalannya biasanya berupa rayuan dan berjanji tidak akan melakukan lagi perbuatannya, bahkan, tidak jarang laki- laki sepenuhnya menunjukkan sikap mesra dan menghadiahkan sesuatu. Kalau sudah begitu, biasanya perempuan menjadi luluh dan memaafkannya karena ia masih berharap hal tersebut tidak akan terjadi lagi. Itulah sebabnya mengapa perempuan tetap memilih bertahan meski menjadi korban kekerasan karena pada tahap bulan madu ini perempuan merasakan cinta yang paling penuh. Namun, kemudian tahap ini pudar dan ketegangan muncul lagi. Dengan begitu muncul lagi tahap kedua yaitu munculnya ketegangan dan kekerasan bahkan dengan bentuk yang lebih variatif, dan hal ini umumnya selalu berada diluar kesadaran kaum perempuan itu sendiri, mengingat rasa sayang yang "taklekang oleh panas tak rapuh oleh hujan". Selanjutnya terjadi lagi bulan madu kembali, demikian terus menerus lingkaran kekerasan ini jalin menjalin sepanjang waktu. Pada undang- undang perkawinan (UU-P) ada mengatur hubungan hukum antar individu dengan individu sehingga termasuk hubungan yang diatur oleh hukum perdata, maka pengertian kekerasan tidak diatur didalamnya. Hal ini berbeda dengan KUH-Pidana atau UU PKDRT yang merupakan hukum publik yang mengatur hubungan individu dengan negara, maka kekerasan diatur didalamnya. Meski demikian, ada beberapa ketentuan dalam UU-P yang tersirat mengatur kekerasan, yaitu pasal 39 ayat (1) menyebutkan bahwa: "Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak". Selanjutkan pasal 39 ayat (2) menentukan bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri, dan salah satu alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah: "Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga". Alasan terakhir ini tergolong kekerasan psikhis karena pertengkaran atau perselisihan yang terus menerus dan tidak dapat didamaikan sangat mengganggu pikiran dan kelangsungan kehidupan anggota keluarga yang ada didalamnya. * V. FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT PENYELESAIAN KASUS KDRT MELALUI HUKUM PIDANA / PUBLIK Berdasarkan berita acara di kepolisian, putusan pengadilan, ataupun data dari media massa umumnya dapat diketahui adanya faktor- faktor yang mendukung dan menghambat diselesaikannya kasus kekerasan dalam rumah tangga melalui hukum pidana. Faktor pendukung utama untuk membawa dan menyelesaikan kasus kekerasan dalam rumah tangga melalui hukum pidana adalah korban sendiri. Korban yang sudah menyadari bahwa kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa dirinya merupakan suatu hal yang tidak benar, jadi disini korban menyadari bahwa ia punya hak untuk diperlakukan dengan baik. Pada dasarnya kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga adalah perbuatan yang menghina harkat dan martabat perempuan dan melanggar hak asasi manusia, oleh karena itu permasalahannya mudah dilaporkan melalui ketua RT / RW, atasan atau polisi. Selanjutnya langkah korban untuk melapor kepihak yang berwenang akan makin mudah apabila didukung oleh keluarga dekatnya seperti ayah, ibu atau saudara, dan masyarakat baik secara perorangan maupun lembaga. Dukungan yang disarankan adalah meminta perlindungan dari aparat penegak hukum, ketua RT / RW, atau atasan suami, dan saran untuk berkonsultasi kepada lembaga- lembaga yang menangani masalah kekerasan dalam rumah tangga yang ada dimasyarakat. Jadi korban disini mempunyai hak meninggalkan lingkungan yang mengerikan dan mendapatkan bantuan dari lembaga atau aparat hukum. Hasil peneitian yang pernah dilakukan oleh peneliti "SEHATI" telah menunjukkan bahwa apabila ada intervensi yang cepat dari anggota keluarga dan teman- teman, maka terlihat adanya kondisi untuk mampu mengurangi kemungkinan terjadinya kekerasan yang berlanjut terhadap isteri. Sebaliknya, jika keluarga dianggap sebagai sesuatu yang "pribadi" dan bukan merupakan urusan publik, angka kekerasan terhadap isteri menjadi lebih tinggi. Selain itu, jika perempuan mempunyai hak atau wibawa dan kekuasaan diluar keluarga, tingkat kekerasan oleh pasangan menjadi lebih rendah[3] [3]. Pasal 10 UU PKDRT menjamin hak- hak korban dalam hal mendapatkan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya, baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Namun, untuk pelaksanaannya masih harus dipantau apakah UU PKDRT ini berjalan dengan baik atau tidak. Selanjutnya untuk faktor penghambat kemungkinan bisa berasal dari korban sendiri, dengan berbagai alasan seperti tidak sampai hati meihat suaminya ditahan, tidak ada lagi yang memberi nafkah, manjaga nama baik suami dan keluarganya, ataupun menjaga suasana hati anak- anak. Selain itu hambatan juga bisa terjadi dari lingkungan masyarakat yang cenderung sering menyalahkan korban sebagai penyebab terjadinya kekerasan, bahkan menuduh korban yang tega melaporkan suami sendiri kepolisi. Kondisi- kondisi ini umumnya dapat menyebabkan korban mencabut kembali laporannya di kepolisian. Bila hambatan tersebut datangnya dari aparat maka umumnya kepolisian kurang familier dalam menangani permasalahan KDRT dengan korbannya perempuan atau kalaupun korbannya anak perempuan maka yang selayaknya menangani kasus adalah petugas wanita. Selain itu aparat umumnya cenderung berpandangan bahwa korban yang salah sehingga terjadi kasus kekerasan yang menimpa dirinya, contohnya adalah kasus Perkosaan. Pada umumnya memang demikian bahwa seringnya perempuan menjadi tumpuan penyebab terjadinya kekerasan, dan seringnya setiap laporan yang berkaitan dengan kasus KDRT akan ditanggani lebih lambat daripada kasus lainnya seperti kasus pencurian atau narkoba, karena adanya anggapan bahwa penganiayaan oleh suami itu tidak sungguh- sungguh. Bahwa antara suami isteri ada rasa sayang jadi apapun yang dilakukan oleh suami pada isterinya tentu berdasarkan sayang walaupun itu berupa penganiayaan. Pasal 89 dan 90 KUHP menunjukkan bahwa kekerasan yang ada pada pasal ini hanya merujuk pada kekerasan fisik saja. Oleh karena itu hal ini dapat merupakan suatu faktor penghambat secara tidak langsung dalam hal penyelesaian kasus KDRT yang terjadi dimasyarakat. Pada kenyataannya KUHP tidak mengenal istilah kekerasan dalam rumah tangga dan rumusan atau ketentuan pasal- pasalnya belum menjangkau bentuk- bentuk kekersan lain selain kekerasan fisik seperti emosional / psikologis, ekonomi, dan seksual. Akibatnya pasal yang digunakan juga terbatas. Istilah kekerasan dalam rumah tangga tidak dikenal dalam KUHP karena pola pikir masyarakat selalu berpatokan pada harmonisasi dalam keluarga, oleh karena itu tidak menganggap serius adanya kekerasan dalam rumah tangga dan masalah rumah tangga selalu dianggap sebagai masalah domestik. Dengan adanya UU PKDRT, pelaku KDRT yang benar- benar sangat merugikan korban dapat dikenai hukuman yang setimpal sehingga korban dapat memperoleh keadilan yang diharapkan, mengingat undang- undang PKDRT ini tidak semata- mata mengatur hukuman badan kepada pelaku, tetapi pelaku juga diberi sanksi denda, hukuman tambahan berupa konseling, pembatasan bergerak pelaku dari korban dan sebagainya. Secara tidak langsung kondisi yang baik ini dapat dilihat dalam kehidupan masyarakat pada umumnya ketika orang segera menanggapi masalah yang berkaitan dengan KDRT, meskipun korban kekerasan dalam rumah tangga yang mau membawa kasusnya ke aparat hukum untuk diproses secara pidana jumlahnya belum sebanding dengan jumlah kasus KDRT yang setiap saat masih terjadi disekeliling kehidupan kita. Namun, kemauan perempuan yang telah menjadi korban KDRT untuk memproses kasusnya melalui peradilan pidana dapat dikatakan mengalami kemajuan. Hal ini juga dapat dinilai dari adanya tanggapan umum dimasyarakat yang secara spontan berinisiatif melaporkan perkara- perkara KDRT kepada pihak berwajib untuk ditangani. Dengan diimplementasikannya UU PKDRT, kondisi ini menunjukkan adanya pergeseran pengaturan masalah rumah tangga, kususnya yang berkaitan dengan terjadinya kekerasan yang semula dianggap sebagai permasalahan domestik dan dipandang sebagai masalah pribadi antara individu dengan individu lainnya dalam keluarga, kemudian hal ini dianggap sebagai masalah negara. Disini terlihat adanya campur tangan negara terhadap masalah yang dianggap privacy karena kebutuhan masyarakat yang menghendaki adanya campur tangan tersebut. Keadaan ini selanjutnya yang disebut dengan sosialisering process, akibatnya hubungan individu dengan individu yang bebas menjadi terbatas. Ada pembatasan kebebasan individu ketika negara turut campur dalam urusan rumah tangga seseorang. Pandangan yang menganggap bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan adalah merupakan suatu perwujudan adanya perubahan pemikiran, bahwa pemerintah memandang perlu adanya perubahan pemikran ini dan perlunya diwujudkan dalam suatu peraturan karena kenyataan dimasyarakat menunjukkan begitu banyak korban kekerasan dalam rumah tangga yang mengalami penderitaan namun tidak mendapatkan perlindungan sebagaimana mestinya. Mewujudkan perubahan pemikiran masyarakat kedalam suatu peraturan sangat diperlukan karena pada kenyataannya masih banyak anggota masyarakat yang berpandangan bahwa urusan keluarga tersebut merupakan ranah privat, oleh karena itu menganggap orang lain ataupun negara tidak perlu turut campur kedalamnya. Ketentuan UU PKDRT menunjukkan bahwa tidak ada hubungan hukum yang bersifat mutlak, semuanya bersifat relatif karena dalam rumah tangga yang didasarkan pada hubungan hukum keperdataan unsur- unsur hukum pidana atau publik dapat masuk didalamnya, terutama jika terjadi kekerasan yang diyakini sebagai pelanggaran hak asasi manusia. DAFTAR PUSTAKA Anisfrianti Damanik, 2004, Sistem Peradilan Pidana Terpadu bagi Perempuan Korban kekerasan Dalam Rumah Tangga ( Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional UU PKDRT dan Peran Aparat Penegak Hukum ), Jogyakarta; Evarisan, 2004, Pendampingan Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( Studi kasus di BKBH UnikaSoegijapranata Semarang), Seminar Nasional Hasil- hasil Penelitian: Peta Keadilan Gender di Indonesia, PSW nika Soegijapranata, Semarang; Moelyatno, 1985, Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, Bina Aksara, Yojakarta; Muladi, 1997, Perlindungan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana: dalam Buku Kumpulan Karangan: Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro; Rika Saraswati, 2009, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Citra Aditya Bakti, Bandung. ------------------------- http://www.ham.go.id/modul.php?md=mod_artikel&data=509245&modnews=32&mnow=0 |
blog ini merupakan kumpulan artikel, makalah, tulisan ilmiah seputar hukum, ham, dan politik lengkap sebagai hasil manifestasi pemikiran, ide dan wacana kalangan Profesional Perancang Peraturan, Praktisi Hukum dan kawan-kawan Pengamat Publik. Blog ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat, akademisi dan praktisi hukum sebagai suatu bahan acuan, referensi atau literatur hukum. UBI SOCIETAS IBI IUS. Semoga Bermanfaat dan Selamat Membaca!
Selasa, 26 Februari 2013
HAM PEREMPUAN DAN KDRT
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar