Senin, 04 Februari 2013

Upaya Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup


TINJAUAN YURIDIS TERHADAP UPAYA PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP DI BENGKULU

Oleh : Cik Yang


1.   Latar Belakang
Lingkungan hidup yang telah dianugerahkan Tuhan Yang Maha Kuasa kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan karunia yang wajib dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya agar dapat tetap menjadi sumber dan penujang hidup bagi rakyat dan bangsa Indonesia serta mahluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup.
Antara manusia dan lingkungan hidup terdapat hubungan timbal balik, yang harus selalu dibina dan dikembangkan agar tetap dalam kondisi keselarasan, keserasian, dan keseimbangan yang dinamis.
Pembangunan sebagai upaya sadar dalam mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam untuk meningkatkan kemakmuran rakyat, baik untuk mencapai kemakmuran lahir maupun untuk mencapai kepuasan batin. Oleh karena itu, penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup.
Pembangunan memanfaatkan secara terus-menerus sumber daya alam guna meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup rakyat. Sementara itu, ketersediaan sumber daya alam terbatas dan tidak merata, baik dalam jumlah maupun dalam kualitas, sedangkan permintaan akan sumber daya alam tersebut makin meningkat sebagai akibat meningkatnya kegiatan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin meningkat dan beragam. Di pihak lain, daya dukung lingkungan hidup dapat terganggu dan daya tampung lingkungan hidup dapat menurun[1].
Kegiatan pembangunan yang makin meningkat mengandung risiko pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sehingga struktur dan fungsi dasar ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan dapat rusak. Pencemaran dan perusakan lingkungan hidup itu akan merupakan beban sosial, yang pada akhirnya masyarakat dan pemerintah harus menanggung biaya pemulihannya.
Terpeliharanya keberlanjutan fungsi lingkungan hidup merupakan kepentingan rakyat sehingga menuntut tanggung jawab, keterbukaan, dan peran anggota masyarakat, yang dapat disalurkan melalui orang perseorangan, organisasi lingkungan hidup, seperti lembaga swadaya masyarakat, kelompok masyarakat, dan lain-lain, untuk memelihara dan meningkatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang menjadi tumpuan keberlanjutan pembangunan. Pembangunan yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya alam, menjadi sarana untuk mencapai keberlanjutan pembangunan dan menjadi jaminan bagi kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Oleh karena itu, lingkungan hidup Indonesia harus dikelola dengan prinsip melestarikan fungsi lingkungan hidup yang serasi, selaras, dan seimbang untuk menunjang pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup bagi peningkatan kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Arah pembangunan jangka panjang Indonesia adalah pembangunan ekonomi dengan bertumpukan pada pembangunan industri, yang diantaranya memakai berbagai jenis bahan kimia dan zat radioaktif.
Disamping menghasilkan produk yang bermanfaat bagi masyarakat, industrialisasi juga menimbulkan ekses, antara lain dihasilkannya limbah bahan berbahaya dan beracun, yang apabila dibuang ke dalam media lingkungan hidup dapat mengancam lingkungan hidup, kesehatan, dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.
Secara global, ilmu pengetahuan dan teknologi telah meningkatkan kualitas hidup manusia. Pada kenyataannya, gaya hidup masyarakat industri ditandai oleh pemakaian produk berbasis kimia telah meningkatkan produksi limbah bahan berbahaya dan beracun. Hal itu merupakan tantangan yang besar terhadap cara pembuangan yang aman dengan risiko yang kecil terhadap lingkungan hidup, kesehatan, dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain[2].
Menyadari hal tersebut di atas, bahan berbahaya dan beracun beserta limbahnya perlu dikelola dengan baik. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus bebas dari buangan limbah bahan berbahaya dan beracun dari luar wilayah Indonesia.
Makin meningkatnya upaya pembangunan menyebabkan akan makin meningkatnya dampaknya terhadap lingkungan hidup. Keadaan ini mendorong makin diperlukannya upaya pengendalian dampak lingkungan hidup sehingga risiko terhadap lingkungan hidup dapat ditekan sekecil mungkin.
Upaya pengendalian dampak lingkungan hidup tidak dapat dilepaskan dari tindakan pengawasan agar ditaatinya ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup. Suatu perangkat hukum yang bersifat preventif berupa izin melakukan usaha dan/atau kegiatan lain. Oleh karena itu, dalam izin harus dicantumkan secara tegas syarat dan kewajiban yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan lainnya. Apa yang dikemukakan tersebut di atas menyiratkan ikut sertanya berbagai instansi dalam pengelolaan lingkungan hidup sehingga perlu dipertegas batas wewenang tiap-tiap instansi yang ikut serta di bidang pengelolaan lingkungan hidup.
a.       Sesuai dengan hakikat Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum, pengembangan sistem pengelolaan lingkungan hidup sebagai bagian pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup harus diberi dasar hukum yang jelas, tegas dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi upaya pengelolaan lingkungan hidup. Dasar hukum itu dilandasi oleh asas hukum lingkungan hidup yang sepenuhnya berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu bahasan dalam makalah ini menyoroti  tanggung jawab pemerintah dan masyarakat dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan hidup.

2.      Pengertian Lingkungan Hidup
Setiap organisme hidup mempunyai jenis kehidupan yang berbeda antara satu dan lainnya. Jenis kehidupan tersebut dipengaruhi oleh struktur organisme, fisiologi organisme, dan kondisi lingkungan[3].
Segala sesuatu yang berada di sekeliling manusia sebagai pribadi atau di dalam proses pergaulan hidup, biasanya disebut lingkugan. Hubungan antara berbagai organisme hidup  di dalam lingkungan pada hakikatnya merupakan kebutuhan primer, yang kadang-kadang terjadi secara sadar atau kurang sadar[4].
Lingkungan dapat dibedakan menjadi dua yaitu lingkungan hayati (biotic) yang terdiri atas makhluk hidup seperti manusia, hewan dan tumbuhan. Dan  lingkungan nonhayati (abiotik) yang terdiri atas makhluk tak hidup seperti tanah, air dan udara[5].
Pembagian lingkungan dibagi menjadi tiga kelompok dasar yaitu :
a.   Lingkungan fisik (physical environment)
yaitu segala sesuatu di sekitar manusia yang berbentuk benda mati seperti rumah, kendaraan, gunung, udara, air, dan lain-lain.
b.   Lingkungan biologis (biological environment)
yaitu segala sesuatu yang berada di sekitar kita yang berupa makhluk hidup seperti manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan.
c.   Lingkungan sosial (social environment)
yaitu orang lain yang ada disekitar kita, seperti tetangga, teman dan lain-lain[6].

Selain pengertian tersebut di atas, masih banyak pengertian lain dari pakar lingkungan hidup mengenai pengertian lingkungan hidup diantaranya :
a.       Munadjat Danusaputro
Lingkungan hidup adalah semua benda dan kondisi termasuk di dalamnya manusia dan tingkah perbuatannya, yang terdapat dalam ruang tempat manusia berada dan mempengaruhi hidup dan kesejahteraan manusia dan jasad hidup lainnya[7].
b.      Emil Salim
Mengartikan lingkungan hidup sebagai segala benda, kondisi keadaan dan berpengaruh yang terdapat dalam ruangan yang kita tempati dan mempengaruhi hal yang hidup, termasuk kehidupan manusia. Batas lingkungan hidup sangat luas, namun sangat dibatasi dengan faktor-faktor yang dapat dijangkau oleh manusia, seperti faktor alam, faktor politik, faktor ekonomi, faktor sosial dan lain-lain[8].
c.       Otto Soemarwoto
Memberikan pengertian lingkungan hidup adalah jumlah semua benda kondisi yang ada dalam ruangan yang kita tempati yang mempengaruhi kehidupan kita. Dan selanjutnya beliau mengatakan tingkah laku manusia juga merupakan bagian lingkungan kita, oleh karena itu lingkungan hidup harus diartikan secara luas, yaitu tidak saja lingkungan fisik dan biologi, melainkan juga lingkungan ekonomi, sosial dan budaya[9].
d.   M. Daud Silalahi
Lingkungan hidup adalah semua benda, daya dan kehidupan termasuk di dalamnya manusia dan tingkah lakunya yang mempengaruhi kelangsungan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya. Oleh karena itu beliau memberikan batasan lingkungan hidup sangat luas yaitu tidak saja meliputi lingkungan fisik dan biologi melainkan juga berpengaruh pada lingkungan ekonomi, sosial dan budaya[10].
e.       Hasil seminar BPHN tentang segi-segi hukum dalam pengelolaan lingkungan hidup menyimpulkan lingkungan hidup adalah semua benda dan kondisi termasuk manusia dan tingkah lakunya yang ada dalam ruang yang kita tempati yang mempengaruhi kelangsungan kehidupan serta kesejahteraan manusia[11].
f.       Dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia, dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain[12].
g.      Siti Sundari Rangkuti
Dalam bukunya Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional mengatakan istilah lingkungan hidup dan lingkungan dipakai dalam pengertian  yang sama yaitu lingkungan hidup berdasarkan Pasal 1 ayat  1 undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Oleh karena itu beliau tidak memberikan batasan lingkungan hidup secara kongkrit, akan tetapi beliau membatasi bahwa lingkungan hidup adalah berkaitan dengan kualitas hidup manusia, karena itu lingkungan hidup berkaiatan dengan tata nilai[13].
3.  Manfaat dan resiko pengelolaan lingkungan hidup
Tujuan utama pengelolaan lingkungan hidup salah satunya adalah terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan dan terkendalinya pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana. Untuk itu sejak awal perencanaan kegiatan sudah harus memperkirakan perubahan rona lingkungan akibat pembentukan suatu kondisi lingkungan yang baru, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan akibat diselenggarakannya pembangunan[14].
Pembangunan pada dasarnya merupakan campur tangan manusia terhadap hubungan timbal balik antara dirinya dengan lingkungan hidupnya dalam upayanya untuk memanfaatkan sumber daya alam bagi kepentingannya, guna meningkatkan taraf hidupnya[15]. Hal ini berarti bahwa pembangunan mencakup[16]:
a.       kemajuan lahiriah seperti pangan, sandang, perumahan, dan lain-lain;
b.      kemajuan batiniah seperti pendidikan, rasa aman, rasa keadilan, rasa sehat dan lain-lain, serta;
c.       kemajuan yang meliputi seluruh rakyat sebagaimana tercermin dalam perbaikan hidup berkeadilan sosial.
Karena luasnya ruang lingkup pembangunan, maka pencapaiannya dilakukan secara bertahap tetapi simultan. Dalam setiap tahap diharapkan dapat dicapai keselarasan dalam kemajuan lahiriah dan batiniah yang merata bagi seluruh rakyat, dengan kadar keadilan sosial yang meningkat. Dengan demikian pembangunan merupakan suatu proses yang berjalan secara terus menerus, yang setiap tahap diusahakan memiliki kemampuan menopang pembangunan dalam tahap berikutnya, sehingga dalam pembangunan selain upaya meningkatkan kemajuan, yang tidak kalah pentingnya adalah mempertahankan dan memantapkan kemajuan yang telah dicapai.
Konsep Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) memberikan arahan bahwa arah dan kebijaksanaan pembangunan yang ditempuh selama Pembangunan Lima Tahun (PELITA) sebelumnya perlu dilanjutkan dan bahkan ditingkatkan agar makin nyata dan dapat dirasakan perbaikan taraf hidup dan kecerdasan rakyat yang mencerminkan meningkatnya kualitas manusia dan kualitas kehidupan masyarakat demi terwujudnya kesejahteraan yang makin merata dan adil bagi seluruh rakyat.
Dalam setiap pembangunan yang dilaksanakan sudah barang tentu akan menimbulkan dampak, baik itu dampak positip yang berarti memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, diantaranya adalah[17] :
a.       meningkatnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara merata;
b.      meningkatnya pertumbuhan ekonomi secara bertahap sehingga terjadi perubahan struktur ekonomi yang lebih baik, maju, sehat dan seimbang;
c.       meningkatnya kemampuan dan penguasaan teknologi yang akan menumbuhkembangkan kemampuan dunia usaha nasional;
d.      memperluas dan memeratakan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha;
e.       menunjang dan memperkuat stabilitas nasional yang sehat dan dinamis dalam rangka memperkokoh ketahanan nasional;
f.       terkendalinya hama dan penyakit, tersedianya air bersih terkendalinya banjir, dan lain-lain.
maupun dampak negatif dalam arti merusak dan bahkan juga dapat menghancurkan sumber-sumber daya lingkungan yang bisa menimbulkan kerugian bagi masyarakat atau menimbulkan gangguan bagi keseimbangan lingkungan hidup. Adapun dampak negatif akibat kegiatan pembangunan terhadap lingkungan yang sangat menonjol adalah masalah pencemaran dan perusakan lingkungan.
Pencemaran dan perusakan lingkungan hidup tersebut dapat timbul karena ulah manusia dan proses alam, akan tetapi sebenarnya lebih jauh ulah manusialah yang menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup ini, seperti pencemaran air, udara akibat industrialisasi dan penggundulan hutan akibat penyalahgunaan HPH oleh para pengusaha[18].
Pengertian pencemaran lingkungan hidup menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 dalam Pasal 1 angka 12 adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
Berikut beberapa pendapat para ahli mengenai pengertian pencemaran lingkungan hidup, diantaranya :
a.   Otto Soemarwoto
Memberikan batasan yang dimaksud pencemaran adalah adanya suatu organisme atau unsur-unsur lain dalam suatu sumber daya, misalnya air atau udara dalam keadaan yang menggangu peruntukan sumbernya itu. Kontaminasi atau pengotoran ialah perubahan kualitas sumber daya atau akibat tercampurnya dengan bahan lain tanpa mengganggu pertukaran[19].
b.   Aprilani Soegiarto
Mengatakan bahwa secara mendasar dalam pencemaran terkandung pengertian pengotoran (contaminations) dan pemburukan (deterioration). Pengotoran dan pemburukan terhadap sesuatu semakin lama akan kian menghancurkan apa yang dikotori atau diburukkan sehingga akhirnya dapat memusnahkan setiap sasaran yang dikotorinya[20].
c.   RTM Sutamiharja
Menyebutkan bahwa pencemaran adalah penambahan bermacam-macam bahan sebagai hasil dari aktifitas manusia ke lingkungan dan biasanya memberikan pengaruh yang berbahaya terhadap lingkungan itu[21].
d.   J. Barrus dan DM. Jhonston
Dalam bukunya The International Law of Pollution menyebutkan bahwa masalah pencemaran timbul bilamana suatu zat atau energi dengan tingkat dan konsentrasi yang sedemikian rupa hingga dapat mengubah kondisi lingkungan, baik langsung atau tidak langsung dan pada akhirnya lingkungan tidak berfungsi sebagaimana mestinya[22].
Menurut Otto Soemarwoto, dilihat dari segi ilmiah suatu lingkungan dapat disebut sudah tercemar bila memiliki beberapa unsur,  unsur-unsur  tersebut adalah :
a.       kalau suatu zat, organisme atau unsur-unsur lain (seperti gas, cahaya, energi) telah tercampur (terintroduksi) ke dalam sumber daya atau lingkungan tertentu;
b.      dan karenanya menghalangi atau menggangu fungsi untuk peruntukan daripada sumber daya atau lingkungan tersebut.
Oleh karena itu apabila salah satu syarat dari kedua unsur tersebut tidak terpenuhi, maka belum bisa dikatakan telah terjadi pencemaran[23].
Sedangkan menurut Niniek Suparni[24], unsur-unsur pencemaran itu adalah :
a.       - masuknya atau dimasukkannya zat pencemar ke dalam lingkungan, atau
- berubahnya tatanan lingkungan;
b.      adanya :  - kegiatan manusia
- proses alam
c.       turunnya kualitas lingkungan
d.      timbulnya akibat berupa kurangnya atau tidak dapatnya lingkungan berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
Pencemaran terjadi apabila dalam lingkungan terdapat bahan yang menyebabkan timbulnya perubahan yang tidak diharapkan, baik bersifat fisik, kimiawi maupun biologis sehingga mengganggu kesehatan, eksistensi manusia, dan aktivitas manusia serta organisme lainnya. Bahan penyebab pencemaran disebut bahan pencemaran atau pollutan.
Polusi disebabkan terjadinya faktor-faktor tertentu yang sangat menentukan ialah[25] :
-          jumlah penduduk;
-          jumlah sumber daya manusia yang digunakan oleh setiap individu;
-          jumlah polutan yang dikeluarkan oleh setiap jenis sumber daya alam atau teknologi yang digunakan.
Pencemaran dapat pula terjadi secara alami, misalnya dengan terjadinya letusan gunung maka menimbulkan polusi udara, air dan juga lahan-lahan pemukiman maupun lahan potensial lainnya.
Sebagai akibat dari pencemaran ini akan menimbulkan kerugian yang dapat berbentuk :
a.       kerugian ekonomi dan sosial (economic and social injury)
b.      gangguan sanitair (sanitary hazard),
sedang menurut golongan pencemaran dapat dibagi :
-          kronis, dimana kerusakan terjadi secara lambat;
-          kejutan atau takut, kerusakan mendadak dan berat biasanya timbul dari kecelakaan;
-          berbahaya, dengan kerugian biologis berat dan dalam hal ada radioaktifitas terjadi kerusakan genetic;
-          katostrofis, disini kematian organisme hidup banyak dan mungkin organisme hidup menjadi punah[26]
Perusakan lingkungan menurut pengertian Pasal 1 angka 14 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan / atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.
Unsur-unsur perusakan lingkungan hidup antara lain[27] :
a.       adanya suatu tindakan manusia;
b.      terjadinya perubahan terhadap sifat fisik lingkungan dan / atau sifat hayati lingkungan;
c.       timbulnya akibat berupa kurangnya atau tidak dapatnya lingkungan berfungsi dalam menunjang pembangunan yang berkesinambungan.
Menurut Joko Subagyo, lingkungan yang rusak berarti lingkungan itu semakin berkurang kegunaannya atau mendekati kepunahan bahkan kemungkinan telah punah samasekali.
Disamping itu perusakan lingkungan apabila ditinjau dari peristiwa terjadinya dapat dibagi dua yaitu :
a.       kerusakan itu terjadi dengan sendirinya, yang disebabkan oleh alam dan perbuatan manusia;
b.      disebabkan pencemaran, baik yang berasal dari darat, laut dan udara[28].

4.  Upaya menjaga kelestarian lingkungan hidup
Masalah lingkungan hidup ini memang merupakan masalah yang cukup kompleks, di mana lingkungan lebih banyak bergantung kepada tingkah laku manusia yang semakin lama semakin menurun baik dalam kualitas maupun kuantitasnya dalam menunjang kehidupan manusia. Ditambah lagi dengan melonjaknya pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali dengan baik, maka keadaan lingkungan menjadi semakin semrawut[29].
Dikemukakan oleh Muhtadi Purawinata, setelah alam semakin tersayat oleh jalan-jalan bebas hambatan, perairan semakin tercemar oleh limbah industri, maka pelestarian alam serta lingkungan menjadi permasalahan yang mendesak. Belum banyak upaya yang dilakukan untuk memulihkan kerusakan akan lingkungan akibat ulah manusia dalam membangun dirinya[30].
Upaya menciptakan lingkungan hidup yang bersih dan sehat atau yang sering dikatakan sebagai upaya pelestarian lingkungan hidup adalah merupakan tanggung jawab setiap orang tanpa kecuali, termasuk didalamnya badan usaha atau badan hukum.
Hal ini telah diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yakni :
a.       Pasal 5 menyebutkan bahwa :
(1)   setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat;
(2)   setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup;
(3)   setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidupsesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b.      Pasal 6 menyebutkan bahwa :
(1)   setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkugan hidup;
(2)   setiap orang yang melakukan usaha dan / atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup.
c.       Pasal 7 menyebutkan bahwa :
(1)   masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup;
(2)   pelaksanaan ketentuan pada ayat 1 di atas, dilakukan dengan cara :
-    meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan;
-    menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat;
-    menumbuhkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial;
-    memberikan saran pendapat;
-    menyampaikan informasi dan / atau menyampaikan laporan.
Dengan adanya ketentuan tersebut di atas, semestinya semua pihak lebih mengerti dan menyadari akan pentingnya pelestarian lingkungan hidup, untuk itu perlu dilakukan berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup agar pelaksanaan pembangunan dapat mencapai sasaran yang telah ditetapkan.
Perhatian pemerintah daerah dan masyarakat Kota Bengkulu terhadap pengelolaan lingkungan hidup di daerah sudah lama diberikan, baik dengan tujuan pemafaatannya maupun penanganan limbah yang diakibatkan proses pemanfaatan lingkungan.
Dengan adanya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, kewenangan mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam di daerah sebagai unsur lingkungan hidup akan diserahkan  kepada pemerintah daerah setempat. Konsekwensi dari pergeseran kewenangan ini adalah timbulnya keharusan bagi pemerintah daerah untuk bertanggung jawab sepenuhnya atas segala masalah lingkungan hidup di daerahnya sendiri, termasuk masalah penanganan limbah. Untuk itulah terbentuknya Badan Penanggulangan Dampak Lingkungan Daerah (BAPEDALDA) yang diserahi tanggung jawab dalam pemeliharaan fungsi lingkungan hidup harus dapat diberdayakan secara optimal, dan hendaknya menjadi badan yang mampu mewujudkan pendekatan antar sektoral dikalangan instansi vertikal maupun horizontal daerah.
 Untuk menanggulangi terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, setiap kegiatan yang berdampak lingkungan dalam pelaksanaannya wajib diikuti dengan upaya yang mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, oleh karena itu diperlukan adanya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Dalam Pasal 15 ayat 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dinyatakan bahwa setiap rencana usaha dan / atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup.
Analisis mengenai dampak lingkungan adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan / atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan / atau kegiatan (Pasal I angka 21 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup).
Sebagai peraturan pelaksananya maka dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
Pembangunan dalam dirinya mengandung perubahan besar yang meliputi perubahan struktur ekonomi, perubahan fisik, wilayah, perubahan pola konsumsi, perubahan sumber alam dan lingkungan hidup, perubahan teknologi dan perubahan sistem nilai.
Pembangunan yang dilakukan tersebut tentunya harus memperhatikan prinsip keseimbangan, pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta memperhatikan aspek penataan lingkungan hidup. Kegiatan pembangunan dan pertambahan penduduk yang cukup pesat akan mengakibatkan tekanan terhadap sumberdaya alam.
Demikian pula halnya dengan pembangunan di propinsi Bengkulu, mengikuti kebijakan dan kehendak bahwa pembangunan tersebut harus dilaksanakan dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
Oleh karena itu kebijaksanaan dan langkah-langkah dalam pembangunan haruslah mencerminkan pertimbangan-pertimbangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.

5.   Penutup
Masalah pembangunan  dimanapun tetap akan bersinggungan dengan permasalah lingkungan hidup. Sebagai sebuah daerah yang sedang berkembang, propinsi Bengkulu sedang melaksanakan pembangunan disegala bidang. Pengertian pembangunan disini merupakan upaya untuk meningkatkan taraf hidup dengan memanfaatkan segala sumber daya yang dimilikinya.
Untuk itu konsep pembangunan di Propinsi Bengkulu harus dilaksanakan dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup yang pengertiannya adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.





DAFTAR PUSTAKA



Arief Nurdu’a, M. dan Nursyam B. Sudharsono, 1993, Hukum Lingkungan Perundang-undangan serta Berbagai Masalah dalam Penegakannya, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Fuad Amsyari, 1989, Prinsip-prinsip Masalah Pencemaran Lingkungan, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Gatot P. Soemartono, R.M, 1996, Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

Gatot P. Soemartono, R.M., 1991, Mengenal Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

Hand-out 1 Hukum Lingkungan.

Hermien Hadiati Koeswadji dalam buku Bambang Sunggono, 1994, Hukum, Lingkungan dan Dinamika Kependudukan, Citra Aditya Bakti, Bandung

Hanwiradi, 2008, Telaah Yuridis Terhadap Pelaksanaan Penegakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) di Kota Bengkulu.

Munadjat Danusaputro, ST., 1980, Hukum Lingkungan Buku I Umum, Binacipta, Bandung.

Panut dan Saktiyono, 1990, Biologi 3, Intan Pariwara, Jakarta.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup



[1] Republik Indonesia, Penjelasan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
[2] ibid
[3] Panut dan Saktiyono, 1990, Biologi 3, Intan Pariwara, Jakarta, ed I, hal.176
[4] Gatot P. Soemartono, R.M, 1996, Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, cet I, hal 12
[5] Panut dan Saktiyono, loc. cit
[6] Fuad Amsyari, 1989, Prinsip-prinsip Masalah Pencemaran Lingkungan, Ghalia Indonesia, Jakarta, cet.ketiga, hal 11-12
[7] Munadjat Danusaputro, ST., 1980, Hukum Lingkungan Buku I Umum, Binacipta, Bandung,  hal 67
[8] Hand-out 1 Hukum Lingkungan, hal 2
[9] ibid
[10] ibid hal 1
[11] ibid, hal 2
[12] Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
[13] Hand-out 1, op.cit hal 1-2
[14] Gatot P. Soemartono, R.M., 1991, Mengenal Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, Cet 1, hal  72
[15] Hermien Hadiati Koeswadji dalam buku Bambang Sunggono, 1994, Hukum, Lingkungan dan Dinamika Kependudukan, Citra Aditya Bakti, Bandung, Cet.1, hal 8
[16] Gatot P. Soemartono, R.M., op.cit 189
[17] Gatot P. Soemartono, R.M., op.cit hal 72-73
[18] Arief Nurdu’a, M. dan Nursyam B. Sudharsono, 1993, Hukum Lingkungan Perundang-undangan serta Berbagai Masalah dalam Penegakannya, Citra Aditya Bakti, Bandung, Cet. Ke 1, hal 19.
[19] Otto Soemarwoto dalam buku Arief Nurdu’a, M. dan Nursyam B. Sudharsono, ibid
[20] Apriliani Soegiarto dalam Proposal Tesis Hanwiradi, 2008, Telaah Yuridis Terhadap Pelaksanaan Penegakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) di Kota Bengkulu, hal 17.
[21] RTM Sutamiharja dalam Proposal Tesis Hanwiradi, ibid
[22] J. Barrus dan DM. Jhonston dalam Proposal Tesis Hanwiradi, ibid hal 17-18
[23] Otto Soemarwoto, dalam Proposal Tesis Hanwiradi, ibid
[24] Niniek Suparni, dalam Proposal Tesis Hanwiradi, ibid
[25] I. Supardi, dalam Proposal Tesis Hanwiradi, ibid hal 19
[26] Abdurrahman, dalam Proposal Tesis Hanwiradi, ibid
[27] Niniek Suparni, dalam Proposal Tesis Hanwiradi, ibid hal 20
[28] Joko Subagyo, dalam Proposal Tesis Hanwiradi, ibid
[29] I. Supardi, dalam buku Arief Nurdu’a, M. dan Nursyam B. Sudharsono, op.cit, hal 17
[30] Muhtadi Purawinata, dalam buku Arief Nurdu’a, M. dan Nursyam B. Sudharsono, op.cit, hal 21

Filsafat Penegakan Hukum di Indonesia


 PELAKSANAAN PENEGAKAN HUKUM
DI INDONESIA SUATU KAJIAN FILSAFAT

Oleh :
CIK YANG, SH                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          
A.           Latar Belakang
Sebagai dasar Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, memuat sistem pemerintahan negara Indonesia yang berdasarkan hukum (rechtsstaat) bukan berdasarkan kekuasaan semata (machstaat). Dalam pembukaan UUD 1945 didalamnya terkandung  cita hukum dan  cita moral yang hendak diperjuangkan oleh bangsa dan negara Indonesia[1]. Negara Indonesia berdasarkan atas hukum mengandung pengertian bahwa negara dan pemerintahan serta lembaga-lembaga negara lainnya dalam melaksanakan perbuatan atau tindakan apapun harus didasari oleh kepastian hukum dan harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdasarkan atas hukum, maka setiap hubungan antara seseorang dengan seseorang lainnya, atau antara seseorang dengan alat-alat pemerintahan dan alat-alat negara diatur berdasarkan peraturan-peraturan hukum yang berlaku.
Negara hukum atau rechtsstaat atau rule of law  dalam negara-negara modern memandang bahwa hukum adalah lebih mendasar daripada negara, atau adanya hukum lebih dahulu daripada negara[2]. Oleh karena itu hukum dapat mengikat negara.
Dalam menjalankan pemerintahannya suatu negara bekerja dengan berlandaskan pada hukum, konstitusi dan berdasarkan pada tata tertib hukum yang sesuai dengan pendapat, kehendak, dan kepentingan umum. Konsep ini pada dasarnya bertujuan untuk menjamin tegaknya demokrasi, berjalannya kekuasaan negara yang fundamental dan hak-hak asasi manusia. Oleh karenanya rule of law telah menempatkan hukum sebagai panglima dalam penyelenggaraan negara. Namun dalam prakteknya berbeda dalam kenyataannya, tidak dapat dipungkiri bahwa hukum masih sering diabaikan baik dalam penyelenggaraan negara maupun dalam hak-hak warga negara. Setelah puluhan tahun supremasi hukum dan keadilan yang didambakan oleh masyarakat jauh dari kenyataan, bahkan keterpurukan hukum di Indonesia semakin menjadi-jadi. Kepercayaan masyarakat terhadap law enforcement semakin memburuk, tidak sekedar pada tingkat bad trust society tetapi sudah pada tingkat worst trust society[3].
Penegak hukum yang seharusnya menjadi contoh yang baik dalam penegakan hukum tetapi ternyata justru banyak yang mengkhianati hukum. Mafia peradilan semakin berani dan terang-terangan dilakukan oleh aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim termasuk pengacara dalam menyelesaikan suatu perkara. Ini diakibatkan oleh lemahnya pengawasan terhadap para aparat penegak hukum itu sendiri, serta mental Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang sudah menjamur di kalangan aparat penegak hukum.
Disamping itu pendorong timbulnya KKN tidak terlepas dari peran serta masyarakat yang mengakibatkan tidak berjalannya hukum sebagaimana mestinya, dimana untuk menyelesaikan suatu perkara yang sedang dihadapinya mereka tidak tanggung-tanggung untuk mengeluarkan sejumlah uang agar dapat bebas atau memenangkan suatu perkara.
Keadaan ini tentunya sangat memprihatinkan terjadi dalam negara yang disebut sebagai negara hukum, untuk itu perlu segera diperbaiki. Konsep negara hukum sebagaimana kehendak UUD 1945 harus segera dilaksanakan. Upaya ini tentunya juga untuk menjamin tegaknya demokrasi dan keadilan dalam negara Indonesia. Oleh karena itu berdasarakan uraian di atas akan dibahas kajian filsafat terhadap pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia .

B.    Pengaturan Hukum Dalam Masyarakat

Perkembangan masyarakat yang susunannya sudah semakin kompleks serta pembidangan kehidupan yang semakin maju dan berkembang, menghendaki pengaturan hukum juga harus mengikuti perkembangan yang demikian itu. Hampir setiap bidang kehidupan sekarang ini kita jumpai dalam peraturan hukum. Hukum menelusuri hampir semua bidang kehidupan manusia. Hukum semakin memegang peranan yang sangat penting sebagai kerangka kehidupan sosial masyarakat modern.
Problematika sosial selalu mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap hukum daripada terhadap lain-lain aktifitas sosial. Perubahan dalam nilai-nilai masyarakat mengubah pula dasar-dasar nilai hukum. Dasar-dasar hukum dengan jelas dipengaruhi oleh dasar politik, ekonomi, kehidupan sosial, kesusilaan, sebaliknya hukum mempunyai tugas memberi kepadanya bentuk dan ketertiban[4].
Hukum dalam perkembangannya tidak hanya dipergunakan untuk mengatur tingkah laku yang sudah ada dalam masyarakat dan mempertahankan pola-pola kebiasaan yang telah ada. Lebih jauh dari itu hukum telah mengarah kepada penggunaannya sebagai suatu sarana atau alat. Pemakaian hukum sebagai sarana amat terasa semenjak kita melakukan pembangunan di segala bidang, seperti yang terjadi pada zaman orde baru melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (repelita)[5]. Dalam sistem hukum Indonesia yang berlaku pada saat ini, dari segi materi masih banyak peraturan yang merupakan produk jaman Belanda yang hingga saat ini masih berlaku[6] dan menjadi hukum positif bagi bangsa Indonesia. Pemberlakuan hukum Belanda ini merujuk pada ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi “ segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini “. Meskipun UUD 1945 telah diamandemen, keberadaan hukum Belanda tersebut tetap berlaku berdasarkan ketentuan Pasal I Aturan Peralihan amandemen keempat UUD 1945 yang berbunyi “ Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Dalam peraturan-peraturan hukum Indonesia saat ini masih banyak dipengaruh oleh hukum kolonial. Hal ini dapat dimaklumi bahwa bangsa Indonesia lebih kurang selama 350 tahun berada dalam kekuasaan bangsa penjajah yaitu bangsa Belanda. Pengaruh hukum kolonial telah merasuki sampai ke sendi-sendi adat masyarakat Indonesia, sehingga hukum adat (adatrecht) yang bersumber dari tatacara dan kebiasaan masyarakat, ikut terpengaruh. Para founding fathers pada saat itu yang sebagian besar merupakan lulusan universitas di Belanda, dalam merumuskan konstitusi Indonesia, dipengaruhi oleh doktrin-doktrin Leiden[7], doktrin-doktrin ini mempengaruhi pembentukan hukum di Indonesia serta ideologi bangsa Indonesia.
Akan tetapi tatanan hukum yang telah berurat dan berakar dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia sudah barang tentu sulit untuk dilepaskan begitu saja, walaupun pada kenyataannya usaha perubahan-perubahan dan pembentukan hukum nasional sudah dilakukan oleh pemerintah. Indonesia memilih hukum sebagai dasar bagi pemerintahannya.
C.     Negara Hukum

Negara hukum sebagaimana dimaksudkan oleh UUD 1945 adalah negara berdasarkan hukum. Konsep rechtsstaat ini merupakan dasar yang baik bagi hak-hak asasi manusia. Hanya di negara hukum, hak asasi manusia dijamin sebagaimana kemandirian peradilan, due process of law (asas legalitas) dan judicial review[8].
Standar negara hukum menurut International Commission Of Jurist (ICJ) dalam simposium di Bangkok pada tahun 1965 adalah perlindungan terhadap HAM, peradilan yang bebas dan tidak berat sebelah, pemilu yang jujur dan bebas, pengakuan terhadap hak untuk mengeluarkan pendapat, kebebasan berorganisasi, berbeda pendapat, dan hak untuk memperoleh pendidikan. Oleh karena itu prinsip negara hukum menurut ICJ adalah :
1.      negara harus tunduk kepada hukum;
2.      pemerintahan menghormati hak-hak individu;
3.      peradilan yang bebas dan tidak memihak.
Ada 9 (sembilan) komponen penting rule of law dalam pengertian menurut Barry M. Hager yaitu[9] :
1.      Konstitusional;
2.      Aturan Hukum Pemerintahan;
3.      Hukum harus jujur dan dilaksanakan secara konsisten;
4.      Peradilan yang bebas;
5.      Hukum Transparan dan dapat diterima semua golongan;
6.      Penerapan hukum yang efisien dan tepat waktu;
7.      Perlindungan Hak Properti dan Ekonomi;
8.      Perlindungan HAM dan Kekayaan Intelektual;
9.      Hukum dapat dirubah oleh proses yang telah ditentukan, transparan dan dapat diterima semua.
Konstitusi dalam negara-negara modern pada dasarnya telah mencakup tiga hal yang fundamental yaitu:
1.     adanya jaminan terhadap hak asasi manusia dan warga negaranya;
2.     ditetapkannya ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental;
3.     adanya pembagian dan pembatasan kekuasaan yang juga bersifat fundamental[10].
Sedangkan CF Strong[11] menyatakan bahwa apapun bentuknya, sebuah konstitusi sejati mencantumkan keterangan-keterangan jelas mengenai hal-hal sebagai berikut :
1.      cara pengaturan berbagai jenis institusi;
2.      jenis kekuasaan yang dipercayakan kepada institusi-institusi tersebut;
3.      dengan cara bagaimana kekuasaan tersebut dilaksanakan.
Hukum dan konstitusi berkaitan erat disebabkan konstitusi merupakan norma atau hukum dasar bagi penyelenggaraan negara.
Pada hakikatnya hukum mengandung ide atau konsep-konsep yang abstrak. Sekalipun abstrak, tapi ia dibuat untuk diimplementasikan dalam kehidupan sosial sehari-hari. Oleh sebab itu perlu adanya suatu kegiatan untuk mewujudkan ide-ide tersebut ke dalam masyarakat. Rangkaian kegiatan dalam rangka mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan merupakan suatu proses penegakan hukum.[12]
Hukum mempunyai tiga elemen penting menurut Lawrence Meir Friedman[13] dalam bukunya American Law : An Introduction, yaitu :

1.      Struktur (tatanan kelembagaan)
Struktur adalah rangka atau kerangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam  bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Di Indonesia struktur sistem hukum adalah termasuk struktur institusi  penegak hukum yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
2.      Substance (materi hukum)
Materi hukum adalah aturan, norma dan perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi juga berarti yang  dihasilkan oleh orang yang berada didalam sistem hukum, mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun, termasuk juga hukum yang hidup (living law).
3.      Legal Culture (budaya hukum)
Budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Pemikiran dan pendapat ini sedikit banyak menentukan jalannya proses hukum. Dengan kata lain, kultur hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari dan disalahgunakan.
Menurut Badan Pembinaan Hukum Nasional, unsur-unsur sistem hukum adalah[14] :
1.          Materi hukum (tatanan hukum), termasuk didalamnya ialah :
a.            Perencanaan hukum
b.            Pembentukan hukum
c.            Penelitian hukum, dan
d.           Pengembangan hukum.
Untuk membentuk materi hukum harus diperhatikan politik hukum yang telah ditetapkan yang dapat berbeda dari waktu ke waktu karena adanya kepentingan dan kebutuhan.
2.          Aparatur Hukum yakni mereka yang mempunyai tugas dan fungsi :
a.            penyuluhan hukum
b.            penerapan hukum
c.            penegakan hukum, dan
d.           pelayanan hukum
adanya aparatur hukum tertentu tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan politik hukum yang dianut.
3.          Sarana dan Prasarana hukum
4.          Budaya hukum yang dianut oleh warga masyarakat, termasuk para pejabatnya.
5.          Pendidikan hukum.
Hukum pada dasarnya adalah alat perubahan sosial. Hukum dibutuhkan untuk menjadikan setiap tindakan berpengaruh kepada setiap orang perorangan, kebendaan dan hak[15]
Ilmu hukum mempunyai dua kecenderungan yang sedang terjadi yaitu; (1) ilmu hukum terbagi-bagi dalam berbagai bidang yang masing-masing berdiri sendiri, (2) ilmu hukum menumpang pada bidang ilmu lainnya sehingga seolah-olah bukan suatu ilmu yang berdiri sendiri. Kecendrungan pertama terlihat dengan terbentuknya ilmu hukum kedalam ilmu yang bersifat normatif-legalistik, ilmu hukum bersifat empiris, dan ilmu yang bersifat filosofis. Terkadang penganut ketiga bidang tersebut acapkali saling menampikkan. Sedangkan kecenderungan kedua tampak dengan semakin kentalnya sikap yang menganalogikan ilmu hukum dengan sosiologi hukum dan antropologi hukum[16].
Kecendrungan tersebut tentu mengurangi kemampuan ilmu hukum itu sendiri dalam menghadapi masalah-masalahnya. Oleh karena itu ilmu hukum harus bersifat integral. Ilmu hukum adalah suatu sistem. Sebagai suatu sistem ilmu hukum harus merupakan suatu kebulatan dari seluruh komponen atau subsistem yang satu sama lainnya saling berkaitan. Hal ini karena adanya kelemahan dalam ilmu hukum murni secara teoritis (normatif) maupun ilmu hukum terapan (empiris)[17]. Integralirtas ilmu hukum merupakan kebalikan dari spesialisasi ilmu hukum. Tetapi spesialisasi ilmu hukum menjadi steril dan dangkal karena seperti halnya melihat satu sisi mata uang saja dan melupakan sisi lainnya.
D.    Penegakan Hukum dalam Kajian Filsafat

Dengan demikian untuk membicarakan hakikat hukum secara tuntas, maka perlu diketahui tiga tinjauan filsafat yaitu ontologi, epistimologi dan aksiologi[18].

1.       Tinjauan Ontologi
Secara ontologi yang dapat dipelajari dari hukum adalah (1) nilai-nilai hukum, seperti keadilan, ketertiban, kepastian hukum dan lain-lain, (2) kaidah-kaidah hukum baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, (3) prilaku hukum atau peristiwa hukum.
2.       Tinjauan Epistimologi
Secara hakikat, ilmu hukum harus disajikan secara integral. Oleh karena itu metode ilmu hukum harus bersifat integral pula.  Metode hukum pada saat ini sering dibedakan antara metode normatif, metode sosiologis, dan metode filosofis.
3.       Tinjauan Aksiologi
Secara aksiologi peran dan fungsi dari ilmu hukum antara lain:
a. Ilmu hukum berpengaruh dalam pembentukan hukum melalui penyusunan peraturan perundang-undangan
b.  Ilmu hukum berpengaruh dalam praktik hukum atau pelaksanaan hukum. Dalam proses peradilan seorang hakim lebih sering memutus perkara dengan mengambil pendapat ahli hukum sebagai salah satu dasar pertimbangannya. Begitupun juga penuntut umum dan penasihat hukum sering mengambil pendapat ahli hukum sebagai penguat argumentasinya dalam mengajukan tuntutan dan pembelaan.
c.  Ilmu hukum akan berpengaruh atas perkembangan bidang-bidang lainnya. Dalam suatu sistem hukum yang berusaha untuk mengatur segala hal atau bidang, maka sistem hukum seperti itu bersifat progressif dan interventif.
Untuk mengkaji suatu persoalan secara mendalam agar mengetahui ontologi, epistimologi dan aksiologi sampai pada dasarnya atau yang disebut dengan hakikat, maka harus dimulai dengan berfikir secara kefilsafatan. Berfikir secara kefilsafatan dalam konteks filsafat hukum tentunya memiliki beberapa sifat atau karakteristik khusus yang membedakan dengan ilmu-ilmu lain[19]. Pertama, filsafat hukum memiliki karakteristik yang bersifat menyeluruh dan universal. Dengan cara berfikir holistik, tentu akan menambah wawasan dan belajar menghargai pendapat orang lain. Selain itu filsafat hukum tidak bersifat bebas nilai. Justru menimba nilai yang berasal dari hidup dan pemikiran. Kedua, filsafat hukum dalam menganalisis suatu permasalahan haris secara kritis dan radikal. Oleh karena itu dengan mempelajari hukum dan memahami filsafat hukum berarti diajak untuk memahami hukum tidak dalam arti hukum positif belaka. Orang yang mempelajari hukum secara positif belaka tentu tidak akan mampu memanfaatkan dan mengembangkan hukum secara baik. Ketiga, bersifat spekulatif. Sifat ini tidak bolah diartikan secara negatif sebagai sifat gamblang atau gegabah. Sebagaimana ditegaskan oleh Suriasumantri[20], bahwa semua ilmu yang berkembang saat ini bermula dari sifat spekulatif. Sifat inilah yang memotifasi orang untuk mempelajari filsafat hukum secara inovatif, dengan mencari sesuatu yang baru. Secara spekulatif filsafat hukum dengan pengajuan pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat hukum. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan menimbulkan rasa sangsi, rasa ingin tahu, dan rasa terpesona atas suatu kebenaran yang terkandung dalam suatu persoalan. Apabila jawaban-jawabannya diperoleh, maka jawaban-jawaban itu disusun dalam suatu sistem pemikiran yang universal dan radikal[21]. Kempat, filsafat hukum bersifat reflektif dan kritis. Melalui sifat ini filsafat hukum berguna untuk membimbing dalam menganalisis masalah-masalah hukum secara rasional. Analisis inilah yang membantu kita untuk menentukan sikap secara bijaksana dalam mengahadapi suatu masalah kongkrit[22]. Kelima, filsafat hukum juga bersifat introsfektif atau menggunakan daya upaya introspektif. Artinya tidak hanya menjangkau  kedalaman dan keluasan dari permasalahan yang dihadapi tetapi juga mempertanyakan peranan dari dirinya dan dari permasalahan tersebut. Sifat introspektif dari filsafat ini  sesuai dengan sifat manusia yang memiliki hakikat dapat mengambil jarak (distansi)  tidak hanya pada hal-hal yang berada diluar, tetapi juga pada dirinya sendiri[23].
Dengan adanya karakter-karakter yang bersifat khusus diatas menunjukkan arti pentingnya filsafat hukum. Dengan demikian filsafat hukum dapat dijadikan salah satu alternatif untuk membantu memberikan jalan keluar atau pemecahan terhadap upaya penegakan hukum di Indonesia. Tentu saja kontribusi yang dapat diberikan oleh filsafat hukum dalam bentuk konsepsi dan persepsi terhadap pendekatan yang hendak dipakai dalam penyelesaian masalah-masalah yang terjadi. Pendekatan mana didasarkan pada sifat-sifat dan karakter yang melekat pada filsafat hukum itu sendiri[24].
Dengan pendekatan dan analisis filsafat hukum, maka para penegak hukum dapat bersikap lebih arif dan bijaksana serta mempunyai ruang lingkup pandangan yang lebih luas dan tidak terkotak-kotak yang memungkinkan dapat menemukan akar masalahnya. Tahap selanjutnya diharapkan dapat memberikan solusi yang tepat, karena penegakan hukum  di negara Indonesia ini tidak mungkin dapat dilakukan setengah hati atau hanya melalui satu bidang tertentu saja, tapi harus meninjau melalui beberpa pendekatan lain sekaligus (interdisipliner atau multidisipliner).
Dalam konteks ini diperlukan adanya kerjasama yang baik diantara penegak hukum dan masyarakat. Semua bekerja bahu-membahu dan menghindari diri dari rasa saling curiga, kebencian dan permusuhan. Dengan pendekatan dan kerangka berpikir filsafati seperti di atas, diharapkan dapat membantu kearah penyelesaian persoalan yang sedang menimpa bangsa Indonesia saat ini.


E.    Penutup
Pengaturan penegakan hukum di Indonesia kurang menyentuh harapan rakyat yang haus akan keadilan. Apalagi dalam pelaksanaannya masih sangat jauh dari citra keadilan seperti apa yang didambakan oleh masyarakat.
Banyaknya lembaga penegakan hukum di Indonesia bukan merupakan jaminan akan tegaknya keadilan dalam hukum. Banyak penyimpangan-penyimpangan terhadap hukum kerap kali terjadi. Sebagai contoh dalam praktek sehari-hari dimana tindakan aparat penegak hokum yang katanya sebagai pengayom masyarakat sendiri justru malah membuat masyarakat kecewa bahkan berpihak kepada golongan tertentu dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Disamping itu tidak tegasnya peraturan perundang-undangan yang mengatur suatu permasalahan, mengakibatkan peraturan perundang-undangan tersebut bagaikan macan ompong yang berani mengaum tetapi tidak mampu untuk menggigit mangsanya, demikian juga tingkat pengetahuan dan kesadaran hukum masyarakat yang masih jauh dari standar, hal ini ikut mempengaruhi dalam proses penegakan hukum.
Oleh karena itu perlu adanya pendekatan yang lebih konfrehensif dan  dan integral yaitu dengan pendekatan dan analisis filsafati.   Filsafat dapat digunakan untuk menjebatani permasalahan tersebut.
Disamping itu adanya pembinaan dan pengawasan terhadap pentingnya penegakan hukum dalam masyarakat sehingga dapat menumbuhkan kesadaran hukum baik itu terhadap masyarakat maupun terhadap para penegak hukum itu sendiri.













DAFTAR PUSTAKA



Achmad Ali, 2002, Keterpurukan Hukum Di Indonesia (Penyebab dan Solusinya), Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta.

Bambang Sutiyoso, 2004, Aktualita Hukum dalam Era Reformasi, Rajawali Pers, Jakarta.

Barry M. Hager, 1999, The Rule Of Law : A Lexicon for Policy Makers, The Mansfield Center For Facific Affairs.

Darji Darmodihardjo dan Shidarta, 1995, Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Esmi Warassih, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT.Suryandaru, Semarang

Jain, MP, 1998, Administrative Law of Malaysia dan Singapore, Kuala Lumpur, Malayan Law Jornal Pte.Ltd

Musthafa Kamal Pasha, 1988, Pancasila UUD 1945 dan Mekanisme Pelaksanaannya, Mitra Gama Widya, Yogyakarta,

Peter J Burns, 1999, The Leiden Legacy : Concepts of Law In Indonesia,  PT Pradnya Paramita, Jakarta.

Samidjo, 1986, Ilmu Negara, Armico, Bandung.

Satya Arinanto,Kumpulan Materi Transparansi Politik Hukum.

Soetiksno, Mr., 1986, Filsafat Hukum Jilid 2, Pradnya Paramita, Jakarta.

Srie Soemantri, 1987, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung

Strong,  CF, 2004, Konstitusi Konstitusi Politik Modern, Kajian tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, Nuansa dan Nusamedia, Bandung

Sugiyanto Darmadi, 1998, Kedudukan Ilmu Hukum dalam Ilmu dan Filsafat, Mandar Maju, Bandung.

Suriasumantri, 1985, Filsafat Hukum Sebuah Pengantar Populer, Sinar Harapan, Jakarta.
Todung Mulya Lubis, 1990, In Search Of Human Right, Legal Political Dilemmas Of Indonesia’s, A Dissertation Submitted to Boalt Hall Law School in Partial Fulfillment of the Candidacy for the Deggre of Juris Sciente Doctor, Berkeley, California



[1] Musthafa Kamal Pasha, 1988, Pancasila UUD 1945 dan Mekanisme Pelaksanaannya, Mitra Gama Widya, Yogyakarta, hal.106
[2] Samidjo, 1986, Ilmu Negara, Armico, Bandung, hal.310
[3] Achmad Ali, 2002, Keterpurukan Hukum Di Indonesia (Penyebab dan Solusinya), Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 10
[4] Mr. Soetiksno, 1986, Filsafat Hukum Jilid 2, Pradnya Paramita, Jakarta, Hlm. 19
[5]  Esmi Warassih, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT.Suryandaru, Semarang, hal 20.
[6] Satya Arinanto,Kumpulan Materi Transparansi Politik Hukum.
[7] Peter J Burns, 1999, The Leiden Legacy : Concepts of Law In Indonesia,  PT Pradnya Paramita, Jakarta.
[8] Todung Mulya Lubis, 1990, In Search Of Human Right, Legal Political Dilemmas Of Indonesia’s, A Dissertation Submitted to Boalt Hall Law School in Partial Fulfillment of the Candidacy for the Deggre of Juris Sciente Doctor, Berkeley, California.
[9] Barry M. Hager, 1999, The Rule Of Law : A Lexicon for Policy Makers, The Mansfield Center For Facific Affairs.
[10] Srie Soemantri, 1987, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, Cet. IV, Hal. 51                                                                                                                                                                                      
[11] CF Strong, 2004, Konstitusi Konstitusi Politik Modern, Kajian tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, Nuansa dan Nusamedia, Bandung, hal. 14.
[12] Esmi Warassih, Op. cit. hal 78
[13] Ahmad Ali, Op. cit.  hal. 7-9
[14] Satya Arinanto, loc cit.
[15] MP JAIN, 1998, Administrative Law of Malaysia dan Singapore, Kuala Lumpur : Malayan Law Jornal Pte.Ltd.            
[16] Sugiyanto Darmadi, 1998, Kedudukan Ilmu Hukum dalam Ilmu dan Filsafat, Mandar Maju, Bandung, Hlm. 58
[17] Ibid
[18] Ibid. Hlm. 59
[19] Bambang Sutiyoso, 2004, Aktualita Hukum dalam Era Reformasi, Rajawali Pers, Jakarta, Hlm. 16
[20] Suriasumantri, Filsafat Hukum Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan, 1985, Hlm 22
[21] Sugiyanto Darmadi,   Op.Cit, Hlm. 18
[22] Darji Darmodihardjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, Hlm. 17
[23] Sugiyanto Darmadi, Op.Cit, Hlm. 18-19
[24] Bambang Sutiyoso, Op.Cit, Hlm. 24
Hero Herlambang Bratayudha, SH - Rayhan Yusuf Mirshab