Senin, 04 Februari 2013

Filsafat Penegakan Hukum di Indonesia


 PELAKSANAAN PENEGAKAN HUKUM
DI INDONESIA SUATU KAJIAN FILSAFAT

Oleh :
CIK YANG, SH                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          
A.           Latar Belakang
Sebagai dasar Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, memuat sistem pemerintahan negara Indonesia yang berdasarkan hukum (rechtsstaat) bukan berdasarkan kekuasaan semata (machstaat). Dalam pembukaan UUD 1945 didalamnya terkandung  cita hukum dan  cita moral yang hendak diperjuangkan oleh bangsa dan negara Indonesia[1]. Negara Indonesia berdasarkan atas hukum mengandung pengertian bahwa negara dan pemerintahan serta lembaga-lembaga negara lainnya dalam melaksanakan perbuatan atau tindakan apapun harus didasari oleh kepastian hukum dan harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdasarkan atas hukum, maka setiap hubungan antara seseorang dengan seseorang lainnya, atau antara seseorang dengan alat-alat pemerintahan dan alat-alat negara diatur berdasarkan peraturan-peraturan hukum yang berlaku.
Negara hukum atau rechtsstaat atau rule of law  dalam negara-negara modern memandang bahwa hukum adalah lebih mendasar daripada negara, atau adanya hukum lebih dahulu daripada negara[2]. Oleh karena itu hukum dapat mengikat negara.
Dalam menjalankan pemerintahannya suatu negara bekerja dengan berlandaskan pada hukum, konstitusi dan berdasarkan pada tata tertib hukum yang sesuai dengan pendapat, kehendak, dan kepentingan umum. Konsep ini pada dasarnya bertujuan untuk menjamin tegaknya demokrasi, berjalannya kekuasaan negara yang fundamental dan hak-hak asasi manusia. Oleh karenanya rule of law telah menempatkan hukum sebagai panglima dalam penyelenggaraan negara. Namun dalam prakteknya berbeda dalam kenyataannya, tidak dapat dipungkiri bahwa hukum masih sering diabaikan baik dalam penyelenggaraan negara maupun dalam hak-hak warga negara. Setelah puluhan tahun supremasi hukum dan keadilan yang didambakan oleh masyarakat jauh dari kenyataan, bahkan keterpurukan hukum di Indonesia semakin menjadi-jadi. Kepercayaan masyarakat terhadap law enforcement semakin memburuk, tidak sekedar pada tingkat bad trust society tetapi sudah pada tingkat worst trust society[3].
Penegak hukum yang seharusnya menjadi contoh yang baik dalam penegakan hukum tetapi ternyata justru banyak yang mengkhianati hukum. Mafia peradilan semakin berani dan terang-terangan dilakukan oleh aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim termasuk pengacara dalam menyelesaikan suatu perkara. Ini diakibatkan oleh lemahnya pengawasan terhadap para aparat penegak hukum itu sendiri, serta mental Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang sudah menjamur di kalangan aparat penegak hukum.
Disamping itu pendorong timbulnya KKN tidak terlepas dari peran serta masyarakat yang mengakibatkan tidak berjalannya hukum sebagaimana mestinya, dimana untuk menyelesaikan suatu perkara yang sedang dihadapinya mereka tidak tanggung-tanggung untuk mengeluarkan sejumlah uang agar dapat bebas atau memenangkan suatu perkara.
Keadaan ini tentunya sangat memprihatinkan terjadi dalam negara yang disebut sebagai negara hukum, untuk itu perlu segera diperbaiki. Konsep negara hukum sebagaimana kehendak UUD 1945 harus segera dilaksanakan. Upaya ini tentunya juga untuk menjamin tegaknya demokrasi dan keadilan dalam negara Indonesia. Oleh karena itu berdasarakan uraian di atas akan dibahas kajian filsafat terhadap pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia .

B.    Pengaturan Hukum Dalam Masyarakat

Perkembangan masyarakat yang susunannya sudah semakin kompleks serta pembidangan kehidupan yang semakin maju dan berkembang, menghendaki pengaturan hukum juga harus mengikuti perkembangan yang demikian itu. Hampir setiap bidang kehidupan sekarang ini kita jumpai dalam peraturan hukum. Hukum menelusuri hampir semua bidang kehidupan manusia. Hukum semakin memegang peranan yang sangat penting sebagai kerangka kehidupan sosial masyarakat modern.
Problematika sosial selalu mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap hukum daripada terhadap lain-lain aktifitas sosial. Perubahan dalam nilai-nilai masyarakat mengubah pula dasar-dasar nilai hukum. Dasar-dasar hukum dengan jelas dipengaruhi oleh dasar politik, ekonomi, kehidupan sosial, kesusilaan, sebaliknya hukum mempunyai tugas memberi kepadanya bentuk dan ketertiban[4].
Hukum dalam perkembangannya tidak hanya dipergunakan untuk mengatur tingkah laku yang sudah ada dalam masyarakat dan mempertahankan pola-pola kebiasaan yang telah ada. Lebih jauh dari itu hukum telah mengarah kepada penggunaannya sebagai suatu sarana atau alat. Pemakaian hukum sebagai sarana amat terasa semenjak kita melakukan pembangunan di segala bidang, seperti yang terjadi pada zaman orde baru melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (repelita)[5]. Dalam sistem hukum Indonesia yang berlaku pada saat ini, dari segi materi masih banyak peraturan yang merupakan produk jaman Belanda yang hingga saat ini masih berlaku[6] dan menjadi hukum positif bagi bangsa Indonesia. Pemberlakuan hukum Belanda ini merujuk pada ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi “ segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini “. Meskipun UUD 1945 telah diamandemen, keberadaan hukum Belanda tersebut tetap berlaku berdasarkan ketentuan Pasal I Aturan Peralihan amandemen keempat UUD 1945 yang berbunyi “ Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Dalam peraturan-peraturan hukum Indonesia saat ini masih banyak dipengaruh oleh hukum kolonial. Hal ini dapat dimaklumi bahwa bangsa Indonesia lebih kurang selama 350 tahun berada dalam kekuasaan bangsa penjajah yaitu bangsa Belanda. Pengaruh hukum kolonial telah merasuki sampai ke sendi-sendi adat masyarakat Indonesia, sehingga hukum adat (adatrecht) yang bersumber dari tatacara dan kebiasaan masyarakat, ikut terpengaruh. Para founding fathers pada saat itu yang sebagian besar merupakan lulusan universitas di Belanda, dalam merumuskan konstitusi Indonesia, dipengaruhi oleh doktrin-doktrin Leiden[7], doktrin-doktrin ini mempengaruhi pembentukan hukum di Indonesia serta ideologi bangsa Indonesia.
Akan tetapi tatanan hukum yang telah berurat dan berakar dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia sudah barang tentu sulit untuk dilepaskan begitu saja, walaupun pada kenyataannya usaha perubahan-perubahan dan pembentukan hukum nasional sudah dilakukan oleh pemerintah. Indonesia memilih hukum sebagai dasar bagi pemerintahannya.
C.     Negara Hukum

Negara hukum sebagaimana dimaksudkan oleh UUD 1945 adalah negara berdasarkan hukum. Konsep rechtsstaat ini merupakan dasar yang baik bagi hak-hak asasi manusia. Hanya di negara hukum, hak asasi manusia dijamin sebagaimana kemandirian peradilan, due process of law (asas legalitas) dan judicial review[8].
Standar negara hukum menurut International Commission Of Jurist (ICJ) dalam simposium di Bangkok pada tahun 1965 adalah perlindungan terhadap HAM, peradilan yang bebas dan tidak berat sebelah, pemilu yang jujur dan bebas, pengakuan terhadap hak untuk mengeluarkan pendapat, kebebasan berorganisasi, berbeda pendapat, dan hak untuk memperoleh pendidikan. Oleh karena itu prinsip negara hukum menurut ICJ adalah :
1.      negara harus tunduk kepada hukum;
2.      pemerintahan menghormati hak-hak individu;
3.      peradilan yang bebas dan tidak memihak.
Ada 9 (sembilan) komponen penting rule of law dalam pengertian menurut Barry M. Hager yaitu[9] :
1.      Konstitusional;
2.      Aturan Hukum Pemerintahan;
3.      Hukum harus jujur dan dilaksanakan secara konsisten;
4.      Peradilan yang bebas;
5.      Hukum Transparan dan dapat diterima semua golongan;
6.      Penerapan hukum yang efisien dan tepat waktu;
7.      Perlindungan Hak Properti dan Ekonomi;
8.      Perlindungan HAM dan Kekayaan Intelektual;
9.      Hukum dapat dirubah oleh proses yang telah ditentukan, transparan dan dapat diterima semua.
Konstitusi dalam negara-negara modern pada dasarnya telah mencakup tiga hal yang fundamental yaitu:
1.     adanya jaminan terhadap hak asasi manusia dan warga negaranya;
2.     ditetapkannya ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental;
3.     adanya pembagian dan pembatasan kekuasaan yang juga bersifat fundamental[10].
Sedangkan CF Strong[11] menyatakan bahwa apapun bentuknya, sebuah konstitusi sejati mencantumkan keterangan-keterangan jelas mengenai hal-hal sebagai berikut :
1.      cara pengaturan berbagai jenis institusi;
2.      jenis kekuasaan yang dipercayakan kepada institusi-institusi tersebut;
3.      dengan cara bagaimana kekuasaan tersebut dilaksanakan.
Hukum dan konstitusi berkaitan erat disebabkan konstitusi merupakan norma atau hukum dasar bagi penyelenggaraan negara.
Pada hakikatnya hukum mengandung ide atau konsep-konsep yang abstrak. Sekalipun abstrak, tapi ia dibuat untuk diimplementasikan dalam kehidupan sosial sehari-hari. Oleh sebab itu perlu adanya suatu kegiatan untuk mewujudkan ide-ide tersebut ke dalam masyarakat. Rangkaian kegiatan dalam rangka mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan merupakan suatu proses penegakan hukum.[12]
Hukum mempunyai tiga elemen penting menurut Lawrence Meir Friedman[13] dalam bukunya American Law : An Introduction, yaitu :

1.      Struktur (tatanan kelembagaan)
Struktur adalah rangka atau kerangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam  bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Di Indonesia struktur sistem hukum adalah termasuk struktur institusi  penegak hukum yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
2.      Substance (materi hukum)
Materi hukum adalah aturan, norma dan perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi juga berarti yang  dihasilkan oleh orang yang berada didalam sistem hukum, mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun, termasuk juga hukum yang hidup (living law).
3.      Legal Culture (budaya hukum)
Budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Pemikiran dan pendapat ini sedikit banyak menentukan jalannya proses hukum. Dengan kata lain, kultur hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari dan disalahgunakan.
Menurut Badan Pembinaan Hukum Nasional, unsur-unsur sistem hukum adalah[14] :
1.          Materi hukum (tatanan hukum), termasuk didalamnya ialah :
a.            Perencanaan hukum
b.            Pembentukan hukum
c.            Penelitian hukum, dan
d.           Pengembangan hukum.
Untuk membentuk materi hukum harus diperhatikan politik hukum yang telah ditetapkan yang dapat berbeda dari waktu ke waktu karena adanya kepentingan dan kebutuhan.
2.          Aparatur Hukum yakni mereka yang mempunyai tugas dan fungsi :
a.            penyuluhan hukum
b.            penerapan hukum
c.            penegakan hukum, dan
d.           pelayanan hukum
adanya aparatur hukum tertentu tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan politik hukum yang dianut.
3.          Sarana dan Prasarana hukum
4.          Budaya hukum yang dianut oleh warga masyarakat, termasuk para pejabatnya.
5.          Pendidikan hukum.
Hukum pada dasarnya adalah alat perubahan sosial. Hukum dibutuhkan untuk menjadikan setiap tindakan berpengaruh kepada setiap orang perorangan, kebendaan dan hak[15]
Ilmu hukum mempunyai dua kecenderungan yang sedang terjadi yaitu; (1) ilmu hukum terbagi-bagi dalam berbagai bidang yang masing-masing berdiri sendiri, (2) ilmu hukum menumpang pada bidang ilmu lainnya sehingga seolah-olah bukan suatu ilmu yang berdiri sendiri. Kecendrungan pertama terlihat dengan terbentuknya ilmu hukum kedalam ilmu yang bersifat normatif-legalistik, ilmu hukum bersifat empiris, dan ilmu yang bersifat filosofis. Terkadang penganut ketiga bidang tersebut acapkali saling menampikkan. Sedangkan kecenderungan kedua tampak dengan semakin kentalnya sikap yang menganalogikan ilmu hukum dengan sosiologi hukum dan antropologi hukum[16].
Kecendrungan tersebut tentu mengurangi kemampuan ilmu hukum itu sendiri dalam menghadapi masalah-masalahnya. Oleh karena itu ilmu hukum harus bersifat integral. Ilmu hukum adalah suatu sistem. Sebagai suatu sistem ilmu hukum harus merupakan suatu kebulatan dari seluruh komponen atau subsistem yang satu sama lainnya saling berkaitan. Hal ini karena adanya kelemahan dalam ilmu hukum murni secara teoritis (normatif) maupun ilmu hukum terapan (empiris)[17]. Integralirtas ilmu hukum merupakan kebalikan dari spesialisasi ilmu hukum. Tetapi spesialisasi ilmu hukum menjadi steril dan dangkal karena seperti halnya melihat satu sisi mata uang saja dan melupakan sisi lainnya.
D.    Penegakan Hukum dalam Kajian Filsafat

Dengan demikian untuk membicarakan hakikat hukum secara tuntas, maka perlu diketahui tiga tinjauan filsafat yaitu ontologi, epistimologi dan aksiologi[18].

1.       Tinjauan Ontologi
Secara ontologi yang dapat dipelajari dari hukum adalah (1) nilai-nilai hukum, seperti keadilan, ketertiban, kepastian hukum dan lain-lain, (2) kaidah-kaidah hukum baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, (3) prilaku hukum atau peristiwa hukum.
2.       Tinjauan Epistimologi
Secara hakikat, ilmu hukum harus disajikan secara integral. Oleh karena itu metode ilmu hukum harus bersifat integral pula.  Metode hukum pada saat ini sering dibedakan antara metode normatif, metode sosiologis, dan metode filosofis.
3.       Tinjauan Aksiologi
Secara aksiologi peran dan fungsi dari ilmu hukum antara lain:
a. Ilmu hukum berpengaruh dalam pembentukan hukum melalui penyusunan peraturan perundang-undangan
b.  Ilmu hukum berpengaruh dalam praktik hukum atau pelaksanaan hukum. Dalam proses peradilan seorang hakim lebih sering memutus perkara dengan mengambil pendapat ahli hukum sebagai salah satu dasar pertimbangannya. Begitupun juga penuntut umum dan penasihat hukum sering mengambil pendapat ahli hukum sebagai penguat argumentasinya dalam mengajukan tuntutan dan pembelaan.
c.  Ilmu hukum akan berpengaruh atas perkembangan bidang-bidang lainnya. Dalam suatu sistem hukum yang berusaha untuk mengatur segala hal atau bidang, maka sistem hukum seperti itu bersifat progressif dan interventif.
Untuk mengkaji suatu persoalan secara mendalam agar mengetahui ontologi, epistimologi dan aksiologi sampai pada dasarnya atau yang disebut dengan hakikat, maka harus dimulai dengan berfikir secara kefilsafatan. Berfikir secara kefilsafatan dalam konteks filsafat hukum tentunya memiliki beberapa sifat atau karakteristik khusus yang membedakan dengan ilmu-ilmu lain[19]. Pertama, filsafat hukum memiliki karakteristik yang bersifat menyeluruh dan universal. Dengan cara berfikir holistik, tentu akan menambah wawasan dan belajar menghargai pendapat orang lain. Selain itu filsafat hukum tidak bersifat bebas nilai. Justru menimba nilai yang berasal dari hidup dan pemikiran. Kedua, filsafat hukum dalam menganalisis suatu permasalahan haris secara kritis dan radikal. Oleh karena itu dengan mempelajari hukum dan memahami filsafat hukum berarti diajak untuk memahami hukum tidak dalam arti hukum positif belaka. Orang yang mempelajari hukum secara positif belaka tentu tidak akan mampu memanfaatkan dan mengembangkan hukum secara baik. Ketiga, bersifat spekulatif. Sifat ini tidak bolah diartikan secara negatif sebagai sifat gamblang atau gegabah. Sebagaimana ditegaskan oleh Suriasumantri[20], bahwa semua ilmu yang berkembang saat ini bermula dari sifat spekulatif. Sifat inilah yang memotifasi orang untuk mempelajari filsafat hukum secara inovatif, dengan mencari sesuatu yang baru. Secara spekulatif filsafat hukum dengan pengajuan pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat hukum. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan menimbulkan rasa sangsi, rasa ingin tahu, dan rasa terpesona atas suatu kebenaran yang terkandung dalam suatu persoalan. Apabila jawaban-jawabannya diperoleh, maka jawaban-jawaban itu disusun dalam suatu sistem pemikiran yang universal dan radikal[21]. Kempat, filsafat hukum bersifat reflektif dan kritis. Melalui sifat ini filsafat hukum berguna untuk membimbing dalam menganalisis masalah-masalah hukum secara rasional. Analisis inilah yang membantu kita untuk menentukan sikap secara bijaksana dalam mengahadapi suatu masalah kongkrit[22]. Kelima, filsafat hukum juga bersifat introsfektif atau menggunakan daya upaya introspektif. Artinya tidak hanya menjangkau  kedalaman dan keluasan dari permasalahan yang dihadapi tetapi juga mempertanyakan peranan dari dirinya dan dari permasalahan tersebut. Sifat introspektif dari filsafat ini  sesuai dengan sifat manusia yang memiliki hakikat dapat mengambil jarak (distansi)  tidak hanya pada hal-hal yang berada diluar, tetapi juga pada dirinya sendiri[23].
Dengan adanya karakter-karakter yang bersifat khusus diatas menunjukkan arti pentingnya filsafat hukum. Dengan demikian filsafat hukum dapat dijadikan salah satu alternatif untuk membantu memberikan jalan keluar atau pemecahan terhadap upaya penegakan hukum di Indonesia. Tentu saja kontribusi yang dapat diberikan oleh filsafat hukum dalam bentuk konsepsi dan persepsi terhadap pendekatan yang hendak dipakai dalam penyelesaian masalah-masalah yang terjadi. Pendekatan mana didasarkan pada sifat-sifat dan karakter yang melekat pada filsafat hukum itu sendiri[24].
Dengan pendekatan dan analisis filsafat hukum, maka para penegak hukum dapat bersikap lebih arif dan bijaksana serta mempunyai ruang lingkup pandangan yang lebih luas dan tidak terkotak-kotak yang memungkinkan dapat menemukan akar masalahnya. Tahap selanjutnya diharapkan dapat memberikan solusi yang tepat, karena penegakan hukum  di negara Indonesia ini tidak mungkin dapat dilakukan setengah hati atau hanya melalui satu bidang tertentu saja, tapi harus meninjau melalui beberpa pendekatan lain sekaligus (interdisipliner atau multidisipliner).
Dalam konteks ini diperlukan adanya kerjasama yang baik diantara penegak hukum dan masyarakat. Semua bekerja bahu-membahu dan menghindari diri dari rasa saling curiga, kebencian dan permusuhan. Dengan pendekatan dan kerangka berpikir filsafati seperti di atas, diharapkan dapat membantu kearah penyelesaian persoalan yang sedang menimpa bangsa Indonesia saat ini.


E.    Penutup
Pengaturan penegakan hukum di Indonesia kurang menyentuh harapan rakyat yang haus akan keadilan. Apalagi dalam pelaksanaannya masih sangat jauh dari citra keadilan seperti apa yang didambakan oleh masyarakat.
Banyaknya lembaga penegakan hukum di Indonesia bukan merupakan jaminan akan tegaknya keadilan dalam hukum. Banyak penyimpangan-penyimpangan terhadap hukum kerap kali terjadi. Sebagai contoh dalam praktek sehari-hari dimana tindakan aparat penegak hokum yang katanya sebagai pengayom masyarakat sendiri justru malah membuat masyarakat kecewa bahkan berpihak kepada golongan tertentu dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Disamping itu tidak tegasnya peraturan perundang-undangan yang mengatur suatu permasalahan, mengakibatkan peraturan perundang-undangan tersebut bagaikan macan ompong yang berani mengaum tetapi tidak mampu untuk menggigit mangsanya, demikian juga tingkat pengetahuan dan kesadaran hukum masyarakat yang masih jauh dari standar, hal ini ikut mempengaruhi dalam proses penegakan hukum.
Oleh karena itu perlu adanya pendekatan yang lebih konfrehensif dan  dan integral yaitu dengan pendekatan dan analisis filsafati.   Filsafat dapat digunakan untuk menjebatani permasalahan tersebut.
Disamping itu adanya pembinaan dan pengawasan terhadap pentingnya penegakan hukum dalam masyarakat sehingga dapat menumbuhkan kesadaran hukum baik itu terhadap masyarakat maupun terhadap para penegak hukum itu sendiri.













DAFTAR PUSTAKA



Achmad Ali, 2002, Keterpurukan Hukum Di Indonesia (Penyebab dan Solusinya), Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta.

Bambang Sutiyoso, 2004, Aktualita Hukum dalam Era Reformasi, Rajawali Pers, Jakarta.

Barry M. Hager, 1999, The Rule Of Law : A Lexicon for Policy Makers, The Mansfield Center For Facific Affairs.

Darji Darmodihardjo dan Shidarta, 1995, Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Esmi Warassih, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT.Suryandaru, Semarang

Jain, MP, 1998, Administrative Law of Malaysia dan Singapore, Kuala Lumpur, Malayan Law Jornal Pte.Ltd

Musthafa Kamal Pasha, 1988, Pancasila UUD 1945 dan Mekanisme Pelaksanaannya, Mitra Gama Widya, Yogyakarta,

Peter J Burns, 1999, The Leiden Legacy : Concepts of Law In Indonesia,  PT Pradnya Paramita, Jakarta.

Samidjo, 1986, Ilmu Negara, Armico, Bandung.

Satya Arinanto,Kumpulan Materi Transparansi Politik Hukum.

Soetiksno, Mr., 1986, Filsafat Hukum Jilid 2, Pradnya Paramita, Jakarta.

Srie Soemantri, 1987, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung

Strong,  CF, 2004, Konstitusi Konstitusi Politik Modern, Kajian tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, Nuansa dan Nusamedia, Bandung

Sugiyanto Darmadi, 1998, Kedudukan Ilmu Hukum dalam Ilmu dan Filsafat, Mandar Maju, Bandung.

Suriasumantri, 1985, Filsafat Hukum Sebuah Pengantar Populer, Sinar Harapan, Jakarta.
Todung Mulya Lubis, 1990, In Search Of Human Right, Legal Political Dilemmas Of Indonesia’s, A Dissertation Submitted to Boalt Hall Law School in Partial Fulfillment of the Candidacy for the Deggre of Juris Sciente Doctor, Berkeley, California



[1] Musthafa Kamal Pasha, 1988, Pancasila UUD 1945 dan Mekanisme Pelaksanaannya, Mitra Gama Widya, Yogyakarta, hal.106
[2] Samidjo, 1986, Ilmu Negara, Armico, Bandung, hal.310
[3] Achmad Ali, 2002, Keterpurukan Hukum Di Indonesia (Penyebab dan Solusinya), Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 10
[4] Mr. Soetiksno, 1986, Filsafat Hukum Jilid 2, Pradnya Paramita, Jakarta, Hlm. 19
[5]  Esmi Warassih, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT.Suryandaru, Semarang, hal 20.
[6] Satya Arinanto,Kumpulan Materi Transparansi Politik Hukum.
[7] Peter J Burns, 1999, The Leiden Legacy : Concepts of Law In Indonesia,  PT Pradnya Paramita, Jakarta.
[8] Todung Mulya Lubis, 1990, In Search Of Human Right, Legal Political Dilemmas Of Indonesia’s, A Dissertation Submitted to Boalt Hall Law School in Partial Fulfillment of the Candidacy for the Deggre of Juris Sciente Doctor, Berkeley, California.
[9] Barry M. Hager, 1999, The Rule Of Law : A Lexicon for Policy Makers, The Mansfield Center For Facific Affairs.
[10] Srie Soemantri, 1987, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, Cet. IV, Hal. 51                                                                                                                                                                                      
[11] CF Strong, 2004, Konstitusi Konstitusi Politik Modern, Kajian tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, Nuansa dan Nusamedia, Bandung, hal. 14.
[12] Esmi Warassih, Op. cit. hal 78
[13] Ahmad Ali, Op. cit.  hal. 7-9
[14] Satya Arinanto, loc cit.
[15] MP JAIN, 1998, Administrative Law of Malaysia dan Singapore, Kuala Lumpur : Malayan Law Jornal Pte.Ltd.            
[16] Sugiyanto Darmadi, 1998, Kedudukan Ilmu Hukum dalam Ilmu dan Filsafat, Mandar Maju, Bandung, Hlm. 58
[17] Ibid
[18] Ibid. Hlm. 59
[19] Bambang Sutiyoso, 2004, Aktualita Hukum dalam Era Reformasi, Rajawali Pers, Jakarta, Hlm. 16
[20] Suriasumantri, Filsafat Hukum Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan, 1985, Hlm 22
[21] Sugiyanto Darmadi,   Op.Cit, Hlm. 18
[22] Darji Darmodihardjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, Hlm. 17
[23] Sugiyanto Darmadi, Op.Cit, Hlm. 18-19
[24] Bambang Sutiyoso, Op.Cit, Hlm. 24

Senin, 10 Desember 2012

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Dalam Peraturan Daerah




Dalam tatanan teoritis ilmu perekonomian, terjadi ameliorasi peristilahan dari penyebutan perusahaan menjadi perseroan sebagaimana yang tersebut dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Istilah tersebut menjadi suatu bentuk pendelegasian kewenangan secara luas yang diberikan negara kepada badan hukum berbentuk perseroan untuk melakukan berbagai kegiatan usaha sesuai dengan tujuan awal berdirinya perseroan. Namun, kewenangan tersebut bukan tak terbatas,  tetap ada otorisasi perseroan yang sifatnya limitatif seperti kewajiban perusahaan untuk memenuhi tanggung jawab sosial sebagaimana yang diamanatkan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Tindak lanjut dari lahirnya Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas adalah munculnya pergeseran tujuan prinsipil berdirinya suatu perusahaan atau perseroan yang selama ini identik dengan kepentingan komersial atau semata-mata hanya untuk mencari laba, namun juga harus memperhatikan aspek aspek sosial dan lingkungan (Triple bottom line).
Pentingnya aspek sosial dan lingkungan juga tertuang dalam suatu nomenklatur ‘maksud dan tujuan’ (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007) yang secara eksplisit menghendaki adanya proses adaptasi antara tujuan perusahaan umum dengan ketertiban umum dan aspek kesusilaan. Hal tersebut berarti secara yuridis materiil pada dasarnya tanggung jawab sosial perseroan telah diatur dalam undang-undang.
Penempatan norma yang menghendaki adanya tanggung jawab sosial dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas pada muaranya menjadi pemicu munculnya polemik baru. Tanggung jawab sosial sebagaimana yang telah diatur ternyata jika dikaji secara sistemik hanya merupakan suatu norma tunggal yang tidak memberikan ruang pengaturan lain apabila norma tersebut dilanggar.  Belum ditemukan kemungkinan pemberian sanksi apabila suatu perseroan tidak melaksanakan kewajiban sosialnya di masyarakat dan terkait dengan fungsi pengawasan terhadap perseroan tersebut. Pertanyaan yang muncul adalah apakah perseroan di Indonesia dapat mengimplementasikan kehendak dari pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan atau perlukah pengaturan lebih lanjut oleh peraturan di bawahnya. Tentu untuk menjawab pertanyaan tersebut kita membutuhkan kajian yang lebih cermat, sistematis dan mandiri.
Perseroan dalam melaksanakan kegiatan usaha pada umumnya mendirikan basis kegiatan usahanya di berbagai wilayah di Indonesia sesuai dengan sumber dan jenis kegiatan usahanya. Perseroan juga memiliki klasifikasi jangkauan pasar yang bermacam-macam tergantung dari besaran modal dan aset yang dimiliki. Semakin besar jumlah modal yang dimiliki oleh suatu perseroan, maka kesempatan perseroan untuk menjadi lebih berkembang pesat akan menjadi semakin terbuka. Akibatnya perseroan dapat tumbuh menjadi besar dan memiliki jaringan organisasi di banyak wilayah. Beberapa dari perseroan tersebut bahkan ada yang ditarik di bawah kendali negara (Badan Usaha Milik negara) atau ada yang bersifat mendiri dan  nasional.
Perseroan yang bergerak di bidang perikanan, perternakan, perkebunan dan pertambangan di berbagai wilayah pada umumnya sangat membutuhkan modal tidak sedikit sehingga nyaris seluruh mesin penggerak suatu perseroan didayagunakan secara maksimal untuk meraih keuntungan yang maksimal pula.  Sebagai akibat dari kegiatan perseroan yang cenderung overexploration pada dasarnya dapat memunculkan polemik di masyarakat. Beberapa polemik tersebut secara konkrit timbul  dari berbagai faktor diantaranya :
  1. Basis pembuangan limbah dari hasil industri suatu perseroan yang masih belum memenuhi standar prosedural dan teknis seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Izin Dinas terkait seperti Badan Lingkungan Hidup (BLH), Kementerian Kesehatan, dan lain-lain; 
  2.  Permasalahan status kepemilikan lahan yang saling klaim antara suatu perseroan dengan warga setempat yang memicu konflik terbuka yang tentunya jika tidak segera diatasi dapat merugikan para pihak;
  3.  Kesenjangan sosial yang timbul sebagai akibat dari kekurang perhatian suatu perseroan terhadap masyarakat yang berada di sekitar wilayah produksi suatu perusahaan bahkan dalam perekrutan karyawan, tidak jarang perseroan tidak mengikutsertakan penduduk lokal. 

Secara faktual, contoh konkrit dari adanya polemik (crash) antara perseroan dengan warga lokal terjadi di Provinsi Bengkulu. PTPN VII yang merupakan perusahaan nasional yang bergerak di sektor utama perkebunan kelapa sawit dan sektor tambahan lainnya di Bengkulu pada akhirnya tidak dapat menjalankan kegiatan perseroan dengan baik. Sistem drainase limbah yang dihasilkan dari produksi kelapa sawit ternyata diduga mencemarkan beberapa sungai utama di Bengkulu yang menjadi daerah sekitar pemukiman warga. Imbasnya, diduga beberapa warga psotif tercemar polusi limbah dan menderita berbagai penyakit kulit dan pernafasan. Tidak hanya itu saja, tidak transparasinya direksi perseroan membuat masyarakat setempat merasa bahwa kehidupan mereka sedikitpun tidak diperhatikan oleh pihak perseroan begitu juga dengan pemerintah daerah. Tentu permasalahan ini mengingatkan berbagai kalangan akan pentingnya tanggung jawab sosial perseroan.

Tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) pada hakikatnya adalah sebuah angin segar sebagai bentuk perlindungan hukum bagi perseroan dan masyarakat (sosio centris) itu sendiri. Case by case, selain tertuang secara normatif di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan, pada prakteknya ranah tanggung jawab sosial perusahaan juga mulai diatribusikan dalam peraturan daerah. Beberapa peraturan daerah yang sudah mengatur permasalahan tanggung jawab sosial perseroan adalah sebagai berikut :
1.    Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 02 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan;
2.    Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 04 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab sosil perusahaan; dan
3.    Peraturan Daerah Kabupaten Tanggerang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan.
Penuangan muatan materi mengenai tanggung jawab sosial perusahaan dalam peraturan daerah secara substansif telah memenuhi kriteria yang diamanatkan dalam Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas. Namun secara empiris diduga masih banyak diperlukan adanya perombakan. Adanya inisiatif pemerintah daerah untuk mengakomodir permasalahan mengenai tanggung jawab sosial pada dasarnya menunjukkan suatu langkah positif. Paling tidak, pemerintah daerah telah berusaha untuk menertibkan prilaku perseroan yang berada di dalam yuridiksi wilayahnya dan melindungi hak-hak warganya dari kekhawatiran dari timbulnya arogansi perseroan.
Namun patut diketahui juga bahwa pada prinsipnya peraturan daerah tidak dapat secara penuh dapat memberikan ruang pengaturan secara berlebihan mengenai bagaimana etika sosial perseroan. Peraturan daerah pada prinsipnya merupakan peraturan atributif yang limitatif, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (lex superior derogat legi inferiori). Suatu peraturan daerah juga tidak dapat memberikan sanksi kepada pelanggar diluar yang telah ditentukan oleh undang-undang. Suatu peraturan daerah hanya dapat memberikan sanksi administrasi dan sanksi pidana yang sifatnya dibatasi (Pasal 15 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Keadaan nonfakultatief tersebut dirasakan dapat menghambat ruang gerak pemerintah daerah untuk mengarahkan atau menekan perseroan agar dapat mematuhi suatu regulasi.
Penerapan tanggung jawab sosial perusahaan juga harus memperhatiikan tipe perseroan itu sendiri. Perseroan berskala nasional tentu dapat diduga akan menolak untuk mematuhi perintah peraturan daerah, mengingat perseroan berskala nasional memiliki anak cabang yang tersebar luas di beberapa wilayah dan proses pendirian perseroan yang melibatkan pemerintah pusat. Tentu terhadap konteks permasalahan tersebut, pemerintah daerah akan kesulitan untuk menerapkan regulasi mengenai tanggung jawab sosial perseroan.
Tidak banyak perusahaan atau perseroan yang memiliki itikad baik untuk menjalankan kewajiban menjalankan tanggung jawab sosial sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan. Untuk itu, regulasi yang lebih efektif dan efisien sangat diperlukan terutama untuk memberikan kedudukan hukum, yang tegas dan jelas bagi perusahaan, pemerintah dan masyarakat terkait. 
Harus ada klasifikasi yang jelas dan tegas yang harus diatur oleh Undang-Undang mengenai perseroan seperti apa yang dapat dikatagorikan sebagai perusahaan besar dan berindikasi dapat menimbulkan dampak yang luas bagi masyarakat. Perseroan-perseroan besar tersebut jelas tidak akan mematuhi peraturan daerah secara imperatif mengingat perseroan besar memiliki organ perseroan yang tersebar di berbagai wilayah administratif dan belum lagi jika dikaitkan dengan permasalahan politik ekonomi. Terlebih lagi jika di dalam undang-undang tentang perseroan tidak mencantumkan sanksi pidana bagi badan hukum perseroan yang tidak menjalankan secara penuh untuk menerapkan tanggung jawab sosial di masyarakat. 
Pada dasarnya, tanggung jawab sosial perusahaan haruslah dilihat secara secara subyektif, tidak seperti sebagaimana tertuang dalam beberapa peraturan daerah yang mengatur tentang tanggung jawab sosial perusahaan. Tanggung jawab sosial idealnya dapat diberikan berupa : 
  1. Santunan sosial yang dapat diaktualisasikan dalam bentuk pemberian beasiswa pendidikan bagi warga sekitar atau yang membutuhkan atau pemberian bantuan langsung terutama bagi warga yang diduga terkena dampak langsung berdirinya suatu perseroan;
  2. Pembangunan fisik sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh masyarakat yang berada disekitar area produksi perusahaan;
  3. Kompensasi atau ganti rugi yang harus dipersiapkan oleh pihak perseroan apabila dalam menjalankan aktivitas perseroan terbukti menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat;
  4. Transparansi yang jelas mengenai permasalahan perizinan perseroan terutama dalam setiap kegiatan perusahaan yang bersentuhan langsung dengan sendi kehidupan masyarakat; dan
  5. Pendayagunaan tenaga lokal untuk diikutsertakan dalam kegiatan penigkatan produksi perseroan.
  6.  
    (Hero Herlambang Bratayudha, SH, Perancang Pertama pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Bengkulu)





Kamis, 06 Desember 2012

Akhirnya Peninjauan Kembali (PK) Agusrin Gubernur Bengkulu Ditolak Mahkamah Agung

Rabu, 28 November 2011
Putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak permohonan PK (Peninjauan Kembali) yang diajukan Gubernur Bengkulu nonaktif Agusrin M Najamudin, seolah menjadi takdir bagi dua orang yakni Junaidi Hamsyah dan Agusrin sendiri.
 Takdir Agusrin adalah berhenti dari jabatan Gubernur Bengkulu di tengah jalan dan harus menjalani hukuman penjara 4 tahun sesuai putusan di tingkat kasasi MA. Sedangkan takdir bagi Junaidi Hamsyah adalah menjadi Gubernur Bengkulu defenitif yang sempat tertunda pada Mei 2012 lalu.
Lima hakim PK yang menolak permohonan PK Agusrin dalam sidang Selasa (27/11) kemarin adalah Djoko Sarwoko, bersama 4 hakim anggota lainnya masing-masing Komariah Emong Sapardjaja, Suhadi, Syamsul Rakan Chaniago dan Leopold Luhut Hutagalung. PK diputus sekitar pukul 16.00 WIB.
Sejak dieksekusi 10 April 2012 lalu, Agusrin sendiri saat ini telah menjalani 7 bulan hukuman di Lapas Sukamiskin, Bandung. Bila dihitung lazimnya narapidana hanya menjalani masa 2/3 saja hukuman di penjara, maka berarti Agusrin akan berada di penjara selama 32 bulan. Bila dikurangi 7 bulan, berarti Agusrin bakal menjalani masa hukuman di penjara tinggal 25 bulan lagi atau 1 tahun 1 bulan.
Putusan PK Nomor 126 PK/Pid.Sus/2012 yang menolak penolakan terdakwa Agusrin M Najamudin menguatkan putusan kasasi MA yang menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara. Implikasi hukumnya, Keppres Tentang Pemberhentian Tetap Agusrin M Najamudin yang sekarang digugat ke PTUN Jakarta, juga bisa dilaksanakan. Termasuk juga Keppres Tentang Pengangkatan Junaidi Hamsyah sebagai Gubernur Bengkulu defenitif. “Ya, baru diputus,” ujar Djoko Sarwoko yang juga Humas MA, kemarin sore.
Berdasarkan kajian hakim kata Djoko Sarwoko, novum atau bukti baru yang menjadi syarat pengajuan PK tidak terbukti. Salah satu yang menjadi novum yang pernah disodorkan Kuasa Hukum Agusrin, Yusril Ihza Mahendera yakni dugaan pemalsuan tanda tangan terhadap kliennya. Yusril mengklaim ada kekeliruan dan kekhilafan fatal dari hakim kasasi MA karena dianggap telah melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 55 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).   “Dia kan mengajukan empat jenis novum. P1 sampai P4, ternyata bukan bukti baru,” tutur Djoko Sarwoko.
Dikonfirmasi Kuasa Hukum Agusrin, Yusril Ihza Mahendera belum mau berkomentar banyak soal putusan penolakan PK oleh MA itu. Dia beralasan belum mendapat pemberitahuan resmi. “Saya memang mendapat informasi bahwa putusan hari ini (kemarin,red). Tapi saya belum mendapat kabar hasilnya. Tadi banyak juga wartawan yang menepon ke saya, tapi saya bilang belum tahu,” kata Yusril dengan suara khasnya serak-serak basah kemarin.

Junaidi Segera Dilantik.

Ditempat terpisah Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kementerian Dalam Negeri, Reydonnyzar Moenek mengatakan dengan keluarnya putusan PK tersebut, pihaknya akan segera mengusulkan pelantikan Plt Gubernur Bengkulu, H. Junaidi Hamsyah, S.Ag, M.Pd menjadi Gubernur Bengkulu definitif kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam waktu dekat. Setelah menerima salinan amar putusan PK dari MA.
“Segera mungkin untuk dilaksanakan pelantikan. Kami tidak ingin proses pemerintahan tersandera. Pelantikan itu juga untuk menjamin efektifitas pemerintahan daerah. Semakin cepat terima salinan amar putusannya, maka akan makin cepat proses pelantikannya,” kata Reydonnyzar Moenek.
Pengusulan pelantikan itu tidak mesti menunggu atau mempertimbangkan sidang gugatan Agusrin atas Keppres No 40/P Tahun 2012 dan Keppres No 48/P Tahun 2012 di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang rencananya akan diputus Kamis (29/11) besok.
“Tidak perlu ditunggu apapun dari PTUN. Karena sudah berkekuatan hukum tetap. Setelah PK tidak ada upaya hukum lagi yang dapat ditempuh. Lagian apakah putusan PTUN tidak bisa bertentangan dengan MA,” kata Reydonnyzar Moenek.

Sumber : http://harianrakyatbengkulu.com/

Demi Tertib Hukum, Mahfud Ingatkan DPR

Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD telah melayangkan surat pada Oktober lalu ke Ketua DPR memberitahukan masa tugasnya akan berakhir pada 1 April 2013 mendatang. Selain mengirimkan surat permberitahuan, Mahfud juga mendatangi Komisi III DPR kemarin.
Kepada wakil rakyat, Mahfud mengingatkan kembali DPR untuk memilih penggantinya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi. Sesuai aturan, seminggu sebelum Mahfud berhenti, ketua baru Mahkamah Konstitusi (MK) sudah harus terpilih.
Dengan kata lain, Ketua Mahkamah Konstitusi baru sudah harus terpilih pada sekitar 23 atau 24 Maret tahun depan. Warning Mahfud kepada anggota DPR bukan tanpa dasar. Jangan sampai keterlambatan seleksi seperti yang terjadi pada seleksi anggota Komnas HAM terulang. “Saya mohon agar sesuai ketentuan Undang-Undang diproses, sehingga tidak terjadi kekosongan,” harap Mahfud.
Anggota Komisi III DPR memuji langkah Mahfud. Syarifuddin Suding, politisi Partai Hanura, menyebut Mahfud sebagai orang yang tertib hukum. Undang-Undang Mahkamah Konstitusi mewajibkan hakim memberitahukan akan berhenti. Ia mengapresiasi karena Mahfud sudah mengingatkan Komisi III sehingga langkah antisipasi disiapkan. “Jangan sampai kasus seleksi anggota Komnas HAM terulang,” imbuh Suding.
Politisi PKS, Indra, juga mengatakan warning Mahfud membuat Komisi DPR untuk bekerja selama empat bulan ini memproses pemilihan hakim konstitusi pengganti Mahfud dan hakim konstitusi lain yang segera pensiun. Waktu empat bulan dinilai Indra cukup bagi Komisi III mempersiapkan dan menyelenggarakan seleksi.
Mahfud sudah menegaskan berkali-kali tidak akan mencalonkan diri menjadi hakim konstitusi. Anggota Komisi III DPR, Ahmad Yani, berusaha ‘membujuk’ Mahfud agar bersedia kembali menjadi hakim konstitusi karena masih punya kesempatan satu periode. “Masih ada peluang jadi hakim konstitusi. Atau Pak Mahfud tidak ada keinginan lagi karena ada tugas negara lain dalam rangka capres?”
Mahfud menampik mengundurkan diri. Surat yang dia sampaikan adalah menjalankan kewajiban hukum. Kalaupun ia tidak akan menggunakan hak satu periode lagi sebagai hakim konstitusi bukan karena ingin mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden pada 2014 mendatang. “Tidak ada kaitannya dengan Pilpres, karena saya tahu ukuran,” tegasnya.
Pengganti
Di depan anggota Komisi III DPR, Mahfud mengungkapkan kebanggaannya menjadi hakim konstitusi. Hingga saat ini, hakim konstitusi masih dianggap bersih. “Saya bangga sebagai hakim MK. Saya bangga dengan hakim yang ada dan saya pastikan hakim yang ada bersih, saya jamin,” tegasnya.
Karena itu pula, Mahfud dihinggapi kerisauan. Guru Besar Hukum Tata Negara UII Yogyakarta ini risau tentang penggantinya kelak. Ia berharap siapapun penggantinya bisa menjaga tradisi hakim MK bersih dari suap. Ia menyarankan agar DPR benar-benar melaksanakan seleksi demi kepentingan bangsa. Apalagi, latar belakang setiap anggota Komisi III berbeda-beda.
Jangan sampai perbedaan itu membuat pertimbangan politik lebih diandalkan. Untuk melakukan seleksi hakim konstitusi, ada ukuran-ukuran yang bisa digunakan. Terutama untuk melihat integritas dan kepribadian yang tidak tercela, sikap adil, dan karakter kenegarawanan.
Politisi PKS, Indra, juga punya harapan agar siapapun ketua MK terpilih kelak bisa menjaga tradisi transparansi dan manajemen perkara yang bagus di Mahkamah Konstitusi selama ini.

Sumber :  http://www.hukumonline.com/
Hero Herlambang Bratayudha, SH - Rayhan Yusuf Mirshab