MAKALAH
PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA
STUDI KRITIS TERHADAP
KINERJA KEPOLISIAN TENTANG SALAH TANGKAP
A.PENDAHULUAN
Satu abad sebelum masehi
Cicero megemukakan hubungan antara hukum dan masyarakat melalui kalimat
sederhana “ubi societas, ibi ius”. Dimana ada masyarakat disana ada
hukum. Hukum dibentuk oleh masyarakat untuk mengatur kehidupan mereka. Dengan
kata lain hukum dibentuk dan diberlakukan untuk masyarakat demi ketertiban,
ketentraman dan kesejahteraan masyarakat.
Pada kenyataannya adalah
hukum tidak selalu dipatuhi. Sering terjadi pelanggaran-pelanggaran
kaedah-kaedah hukum dalam masyarakat, yang membahayakan keutuhan masyarakat.
Untuk mewujudkan ketertiban hukum itu perlu adanya suatu tugas untuk mengawasi
agar hukum dipatuhi; mencegah agar tidak terjadinya pelanggaran serta menghukum
pelanggar. Pada dasarnya tiga tugas tersebut diatas dapat dilaksanakan oleh
masyarakat. Akan tetapi karena adanya kepentingan yang saling bertentangan
diantara masyarakat maka tugas tersebut tidak lagi mampu dilaksanakan oleh
masyarakat. Tetapi diambil alih oleh negara melalui organ-organ negara.
Kalau kita berfikir
bahwa “kita mempunyai polisi, hakim, jaksa, legislative membuat UU dan
pengadilan menerapkannya maka akan meyakinkan bahwa sistem ini sangat penting
dan berkat itu hukum ditegakan, masyarakat dibebaskan dari unsur-unsur asosial
yang menghambat perkembangannya”[1].
Oleh karena itu penting adanya suatu peradilan pidana yang terpadu.
Sistem peradilan pidana
menurut Mardjono adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari
lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana[2].
Tujuannya adalah mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan; menyelesaikan
kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah
ditegakkan dan yang bersalah dipidana; serta mengusahakan agar mereka yang
pernah melakukan kejahatan tidak lagi mengulangi kejahatannya.
Sistem peradilan pidana
juga merupakan bentuk reaksi formal terhadap kejahatan. Namun, tidak berarti
reaksi yang dilakukan secara ceroboh tanpa adanya perlindungan terhadap HAM.
Mulai dari hak untuk disangka tidak bersalah, hak untuk mendapatkan bantuan
hukum, hak untuk tidak disiksa, dan beberapa hak lainnya ketika seseorang
dinyatakan bersalah.
Terkait dengan hal ini
tentu saja sistem peradilan pidana berkewajiban untuk melakukan pemeriksaan
secara profesional, dengan lebih mengedepankan bukti atau fakta yang kuat untuk
menyatakan seseorang bersalah atas suatu kejahatan. Serta melaksanakan pidana
sesuai dengan tujuan pidana itu sendiri dan hak-hak yang seharusnya diterima
terpidana. Keharusan ini mutlak adanya mengingat instrumentasi hukum sangat
menitikberatkan kewenangan lembaga penegak hukum bila dibandingkan dengan
posisi tersangka, terdakwa, dan terpidana.
Dalam hal terjadinya
suatu tindak pidana, kepolisian merupakan lembaga pertama yang langsung
berhadapan dengan masyarakat, baik sebagai korban kejahatan, saksi, maupun
tersangka. Dengan demikian, jelaslah bahwa lembaga kepolisian mempunyai tugas
utama untuk melindungi keamanan dalam negeri dan menjadi penegak hukum utama
yang dalam tugas sehari-hari bisa saja mereka mendapat cemooh, tidak dihormati,
dan tidak dipercayai masyarakat.
Memang mengatur hubungan
polisi dengan masyarakat bagaikan memainkan karet. Kapan karet itu harus
ditarik dan kapan karet mesti dilepas. Setidaknya polisi akan menghadapi dua
masalah besar. Pertama, polisi yang terlalu harmonis dengan masyarakat acap
dipersepsikan bahwa polisi dapat diperlakukan apa saja. Kedua, polisi juga
harus membangun pola kerja antara atasan dan bawahan atau sebaliknya. Namun
hubungan yang mementingkan komunikasi internal sering mengabaikan kehendak
masyarakat.
Masyarakat Indonesia
masih melihat sosok polisi dengan gambaran sosok yang garang dan ditakuti.
Pandangan seperti ini akan mengganggu polisi yang sedang berusaha menjadi
masyarakat sipil, tetapi mempunyai sifat pengayom dan pelindung masyarakat
sesuai dengan moto polisi yaitu memberikan rasa aman masyarakat dari rasa takut
terhadap kejahatan.
Menurut pendapat Johann Stephan Putter sebaiknya tugas polisi
jangan lagi menjadi urusan pemeliharaan kesejahteraan akan tetapi harus
dibatasi pada usaha-usaha penolakan bahaya yang mengancam masyarakat atau
individu[3].
Pandangan seperti itu ternyata mempunyai pengaruh terhadap sarjana penulis
buku-buku baik di bidang politik maupun dibidang ketatanegaraan.
Adapun
pandangan-pandangan atau pendapat dari beberapa sarjana tentang apa sebenarnya
tugas polisi itu antara lain adalah menurut Mr.Dr.B.Gewin bahwa tugas polisi
adalah melakukan tugas tertentu daripada tugas negara melaksanakan
perundang-undangan untuk menjamin tata tertib ketentraman dan keamanan,
menegakan kewibawaan negara, menanamkan pengertian ketaatan dan kepatuhan
kepada masyarakat[4].
Max Iver asal inggris dalam bukunya The Modern State menyatakan bahwa dalam
rangka fungsi negara kepolisian dapat kita lihat sebagai bagian dari pada
fungsi perlindungan[5].
Fungsi Negara itu dapat digolongkan kedalam : fungsi ketertiban, perlindungan
dan fungsi pemeliharaan. Fungsi perlindungan yang dimaksud adalah berupa
menjamin hidup dan hak milik daripada masyarakat; wewenang menegakan da memberi
perlindungan masyarakat menurut hukum tertentu, menegakan dan memaksakan
hak-hak dan kewajiban masyarakat menurut hukum yang telah ditentukan. Dengan
demikian dapat kita lihat bahwa tugas polisi secara umum adalah memelihara
kemanan dan ketertiban. Tetapi fenomena salah tangkap menjadikan masyarakat
merasa tidak terlindungi lagi. Pada kasus salah tangkap malah polisi lah yang
menjadikan masyarakat tidak aman dan terlindungi. Tidak aman karena mereka
tidak bersalah tetapi dipaksa mengaku bersalah dan tidak terlindungi karena
polisi sebagai harapan masyarakat lah yang justru melanggar hak-hak masyarakat.
Kita sebagai masyarakat
tentunya akan sangat bangga memiliki polisi yang tegas namun santun dalam
menjalankan hukum. Bahkan dalam UU Nomor 2 Tahun 2002, anggota Kepolisian
Republik Indonesia (POLRI) memiliki kewenangan yang bersifat diskresi, yaitu
kewenangan untuk bertindak demi kepentingan umum berdasarkan penilaian sendiri.
Namun UU itu juga mensyaratkan anggota polisi agar tindakan harus berdasarkan
hukum, mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan serta menjunjung tinggi
hak azasi manusia. Namun, semua itu masih ramai pada tataran slogan.
Amanat Undang-Undang No.2 tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa peran utama polisi adalah memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat,
menegakkan hukum, serta memberikan pelayanan kepada masyarakat. Berdasarkan
amanat undang-undang tersebut polisi seharusnya mempunyai hubungan yang baik
dengan masyarakat dalam rangka pengabdian diri kepada masyarakat. Akan tetapi,
sampai saat ini masyarakat masih beranggapan bahwa polisi belum memberikan
pengayoman seperti yang mereka harapkan.
Banyaknya kasus salah tangkap akhir-akhir ini terhadap seseorang
atau beberapa orang yang tidak bersalah menunjukkan tidak cermat atau
cerobohnya polisi dalam menjalankan tugasnya. Kita diingatkan kisah klasik
Sengkon dan Karta (1974) yang dijebloskan ke penjara karena dituduh merampok
dan membunuh, hal yang tidak pernah mereka lakukan terhadap korban suami-istri
Sulaiman dan Siti Haya di Desa Bojong, Bekasi. Atau Budi Harjono yang disangka
membunuh ayah kandungnya tahun 2002 di Bekasi ternyata bernasib sama karena
tidak pernah membunuh ayahnya sendiri. Tahun 2007, terjadi peradilan sesat atas
Risman Lakoro dan Rostin Mahaji, warga Kabupaten Boalemo, Gorontalo, dan
menjalani hukuman di balik jeruji besi atas pembunuhan anak gadisnya, Alta
Lakoro. Namun, pada Juni 2007, kebenaran terkuak, korban masih hidup dan muncul
di kampung halamannya.
Kejadian paling akhir adalah kasus Asrori, korban ke-11 yang
diakui Very Idam Henyansyah alias Ryan, si pembunuh berantai. Secara
mengejutkan, kematian Asrori terkait dengan pembunuhan demi pembunuhan yang
dilakukan oleh Ryan. Berdasarkan pengakuan Ryan, dan tes DNA yang dilakukan
oleh Kepolisian ditemukan fakta bahwa pelaku pembunuhan terhadap Asrori bukan
ketiga orang yang disangka sebelumnya, melainkan Ryan. Menurut ketiga
tersangka, mereka tidak tahan dengan penyiksaan aparat sehingga terpaksa
mengaku. Meski Mabes Polri lalu meralat kejadian kesalahan penangkapan itu,
sementara itu tiga orang telah ditahan karena sudah berstatus terpidana dan
terdakwa atas kasus pembunuhan yang menurut mereka- Devid Eko Prianto, Imam
Hambali alias Kemat yang telah divonis penjara oleh Pengadilan Negeri Jombang
10 tahun lebih, serta Maman Sugianto alias Sugik yang sedang disidang
Pengadilan Negeri Jombang-tidak pernah mereka lakukan.
Bayangkan, apabila mereka dituntut atas hukuman mati terhadap
kejahatan yang tidak pernah dilakukannya, dan kemudian dieksekusi. Bagaimana
mungkin orang tidak bersalah mau mengakui kejahatan yang tidak dilakukannya?
Jawaban dari pertanyaan ini tentu saja terkait dengan bagaimana kinerja polisi
dalam menjalankan tugasnya tersebut khususnya dalm hal mendapatkan pengakuan
orang-orang yang disangka bersalah. Dalam praktik, agar tersangka mengakui
perbuatannya, penyidik kepolisian menggunakan berbagai cara, termasuk
kekerasan, dan hampir semua korban salah tangkap mengalaminya. Jadi dalam kasus
salah tangkap, polisi juga patut dipertanyakan kualitas kerjanya dalam hal
melakukan penyidikan, yang berujung salah menemukan tersangkanya.
Sayangnya lagi, salah tangkap tersebut kemudian dilegitimasi oleh
pihak penegak hukum yang seharusnya menjadi alat kontrol bagi kepolisian, mulai
dari kejaksaan hingga hakim. Dinamika pemeriksaan berkas perkara berada di
kejaksaan, mekanisme mulai dari P18 sampai P21 ada di kejaksaan. Kejaksaan
seharusnya memiliki alat kontrol, apakah polisi sudah melakukan penyidikan
dengan lengkap atau belum. ''Dalam kasus Asrori, jaksa langsung memberikan P21
tanpa diperiksa terlebih dahulu.''. Kenyataan ini, memperlihatkan bahwa
pemeriksaan di tingkat jaksa itu lemah.
Karena kejaksaan sudah mengetahui berkas tersebut tidak lengkap,
kejaksaan mengolah kembali berkas tersebut. ''Di polisi sudah 'digoreng', di
jaksa 'digoreng lagi'. Jadilah, faktanya ditambahi. Pada konteks inilah hakim
seharusnya melakukan pemeriksaan dengan lebih saksama, karena hakim bertanggung
jawab terhadap pemeriksaan di tahap akhir.
Ada beragam versi tentang siapa yang patut dipersalahkan dalam
maraknya kasus salah tangkap di Indonesia. Mengingat kasus salah tangkap juga
berujung pada salah vonis, maka banyak yang beranggapan bahwa hakimlah yang
kurang teliti dalam pemeriksaan. Tetapi tidak sedikit juga yang beranggapan
bahwa masalah ini muncul dari buruknya kinerja/profesionalitas Kepolisian
Republik Indonesia (POLRI), karena berkaitan dengan fungsi penyidik untuk
mencari dan menemukan bukti guna menemukan tersangkanya yang merupakan tahap
awal proses dalam pemerikasaan suatu kasus.
Kasus salah tangkap oleh
jajaran kepolisian terhadap orang yang disangka melakukan tindak pidana
membuktikan aparat penegak hukum tidak profesional dan cenderung memaksakan
diri untuk memenuhi target pengungkapan dan penuntasan terhadap suatu kasus.
Kasus-kasus yang banyak mendapat sorotan masyarakat polisi sering bertindak
tidak sesuai prosedur dan memaksakan diri untuk segera menuntaskan kasus
tersebut sehingga berdampak pada salah tangkap.
Dalam banyak kasus,
salah tangkap diiringi dengan penyiksaan pada saat pemeriksaaan. Orang yang
ditangkap pun karena tidak tahan penyiksaan, seringkali menandatangani Berita
Acara Pemeriksaan, yang membuat pengadilan akhirnya memutuskan bersalah. Ada
sejumlah kasus yang diindikasikan polisi merekayasa termasuk dalam keterangan
tersangka di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dengan tekanan-tekanan maupun
intimidasi sehingga orang tersebut terpaksa mengakui BAP meskipun itu bukan
perbuatannya. Bukan rahasia lagi jika polisi masih menggunakan cara-cara
konvensial untuk membuat BAP seperti tekanan fisik dan intimidasi sehingga apa
yang tertuang dalam BAP tidak murni lagi dan hanya untuk memenuhi target
polisi.
Berbagai sorotan tajam
diberikan oleh masyarakat kepada polisi atas tindakan tidak terpuji sejumlah
anggota kepolisian terkait dengan penyalahgunaan wewenang dan jabatan, korupsi,
tindak kekerasan, pelanggaran pidana bahkan HAM. Praktek kejahatan sejumlah ‘oknum’
polisi tersebut pada akhirnya berimbas pada tercemarnya nama POLRI, dimana masyarakat
pada akhirnya memberikan penilaian dan pencitraan POLRI yang negatif dan tidak
bersahabat dengan publik, sehingga berdampak pada hilangnya kepercayaan
masyarakat kepada polisi.
Kalau mau diungkap
secara jujur, sebenarnya masih banyak kasus salah tangkap yang tidak terungkap
yang dilakukan aparat kepolisian, tetapi karena para korban salah tangkap
selalu berada di bawah ancaman sehingga mereka menerima nasib dengan menjalani
hukuman atas perbuatan yang tidak pernah dilakukannya. Sistem kerja aparat kepolisisan
harus dievaluasi, karena penetapan orang tak bersalah sebagai tersangka adalah
sebuah kekeliruan besar dan kasus ini adalah suatu bentuk pelangaran HAM.
Kisah salah tangkap memang tidak menggambarkan citra kepolisian
secara keseluruhan. Namun, sudah menjadi pengetahuan umum praktik penyiksaan
tahanan serta kekerasan oleh kepolisian sering menghiasi keseharian tugas
kepolisian. Harapan terhadap kepolisian sebagaimana bunyi Pasal 13 (c) UU No 2
Tahun 2002, yaitu “Kepolisian RI bertugas memberikan perlindungan, pengayoman,
dan pelayanan kepada masyarakat”, sepertinya masih jauh panggang dari api.
Ada
dua permasalahan yang ingin dibahas dalam tulisan ini terhadap masaknya kasus
salah tangkap ini. Pertama, Bagaimana profesionalitas polisi dalam menjalankan
tugasnya?. Kedua, bagaimana mungkin orang yang tidak bersalah mau mengakui
kejahatan yang tidak pernah dilakukannya? Jawaban dari pertanyaan ini tentu
saja terkait dengan pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara aparat dalam tulisan
ini adalah polisi mendapatkan pengakuan dari orang-orang yang disangka
bersalah? Mengapa “pengakuan” tersangka yang ditekankan, dikarenakan
bukti-bukti lain atau fakta akan sulit didapat bila memang tidak bersalah.
Dalam tulisan ini
penulis mencoba menggali permasalahan dari penegakan hukum yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum khususya kepolisian. Meningkatnya fenomena kasus salah
tangkap di Indonesia perlu kita cermati dari segi profesionalitas aparat
penegak hukum dalam hal ini Profesionalitas Kepolisan Republik Indonesia.
B. PEMBAHASAN
B.1.Polisi Ideal
Polisi yang ideal pada masa sekarang adalah polisi yang berusaha
sebagai pengayom, pembina masyarakat. Akan tetapi di sisi lain, polisi harus
tetap menjadi sosok garang, menakutkan, dan tidak kompromi terhadap kejahatan.
Dengan demikian, harus dihindarkan tindakan-tindakan yang meruntuhkan keluhuran
profesinya misalnya penanganan perkara dan pencegahan kejahatan yang memakai
cara-cara kekerasan, serta perilaku korup berupa meminta biaya dari masyarakat
yang memerlukan penyelesaian perkaranya.
Polisi yang ideal pernah dikemukakan Hugeng Imam Santoso (mantan
Kapolri) yang mengatakan bahwa “moto polisi adalah fight crime, help
deliquence, love humanity dalam arti walaupun crime tetap akan dicegah dan
diberantas, polisi selalu berperang dengan kejahatan, tetapi tidak berarti
bahwa pelakunya mutlak untuk dimusnahkan. Hukuman pidana tetap diperlukan demi
keadilan dan demi pencegahan, tetapi mereka perlu ditolong, ditunjukkan ke arah
yang benar”.
Membicarakan polisi Indonesia tidak bisa dilakukan tanpa
membicarakan diri kita sendiri juga, pemerintahnya, masyarakatnya, keadaan
sosialnya, dan seterusnya. Polisi dan masyarakat yang ada secara bersama-sama
adalah gagasan yang mendasari pencitraan ”polisi sipil” selama ini[6].
Pada waktu masih aktif mengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK),
Sadjipto Raharjo melihat polisi ideal sebagai polisi yang protagonis, bukan
antagonis. Zaman polisi antagonis sudah lewat bersamaan dengan tumbangnya
pemerintahan yang otoriter. Pemerintahan atau orde yang demokratis membutuhkan
polisi-polisi yang protagonis, yang menempatkan telinganya di jantung rakyat,
bukan penguasa[7].
Namun, ini sungguh suatu perubahan yang sangat, sangat, dan sangat sulit serta
berat untuk diwujudkan[8].
Sejak keluar dari ABRI
pada tahun 1999, dan secara ajeg menjadi POLRI yang mandiri dan independen,
bergulirlah istilah profesionalisme polisi. Di sini, sosok polisi yang ideal
berusaha dirumuskan. Maka terangkumlah suatu pengertian yang disepakati oleh
masyarakat dunia, bahwa polisi yang ideal adalah polisi sipil yang demokratis.
Polisi sipil maksudnya, polisi harus mengedepankan cara-cara sipil untuk
menyelesaikan persoalan sosial (termasuk kejahatan) yang mengemuka di
masyarakat. Jelas, polisi wajib menjauhi cara kekerasan dan militeristik dalam
bertugas. Polisi itu beda dengan tentara. Polisi bertugas memberi rasa aman kepada
masyarakat. Sementara tentara kerjanya bertempur mempertahankan negara.
Dalam rangka penegakan hukum, hendaknya tetap dijaga code of
conduct law officer yang menekankan kepada perlindungan hak asasi manusia yang
meliputi hak asasi tersangka, hak asasi masyarakat, dan hak asasi korban.
Polisi ideal adalah polisi yang bisa melindungi secara hukum pelaku, korban,
dan masyarakat[9].
Perlindungan hukum kepada tersangka berupa kesempatan atau access to legal
councel (bantuan hukum), perlindungan hukum terhadap korban berupa informasi
kepada korban tentang perkembangan kasusnya, dan perlindungan terhadap
masyarakat bahwa polisi benar-benar telah menangani kasusnya sehingga
masyarakat percaya bahwa keadilan akan ditegakkan[10].
B.2. Tugas dan Fungsi
Kepolisian Sebagai Bagian dari Sistem Peradilan Pidana
Sistem peradilan pidana
(SPP) merupakan bentuk reaksi formal terhadap kejahatan. Namun, tidak berarti
reaksi yang dilakukan secara ceroboh tanpa adanya perlindungan terhadap HAM.
Mulai dari hak untuk disangka tidak bersalah, hak untuk mendapatkan bantuan
hukum, hak untuk tidak disiksa, dan beberapa hak lainnya ketika seseorang
dinyatakan bersalah. Terkait dengan hal ini tentu saja SPP berkewajiban untuk
melakukan pemeriksaan secara profesional, dengan lebih mengedepankan bukti atau
fakta yang kuat untuk menyatakan seseorang bersalah atas suatu kejahatan. Serta
melaksanakan pidana sesuai dengan tujuan pidana itu sendiri dan hak-hak yang
seharusnya diterima terpidana. Keharusan ini mutlak adanya mengingat
instrumentasi hukum sangat menitikberatkan kewenangan lembaga penegak hukum
bila dibandingkan dengan posisi tersangka, terdakwa, dan terpidana
Polisi lebih sering
dipersalahkan daripada jaksa dan hakim, karena di lapangan polisi bersentuhan
dengan masyarakat lebih banyak dibandingkan dengan jaksa dan hakim. Polisi
adalah gate-keeper (pintu gerbang) sistem peradilan pidana (SPP). Tidak
mengherankan bila citra sistem peradilan pidana sering diidentikkan dengan
kinerja polisi. Fungsi penegakan hukum yang dilakukan oleh polisi bisa
diartikan sebagai bagian dari mekanisme sistem peradilan pidana. Dengan
demikian, tanggung jawab polisi sangat besar sebagai bagian dari sistem
peradilan pidana. Lembaga Kepolisian memang mendapat perhatian utama, karena
lembaga inilah yang menjadi ujung pangkal dari keseluruhan proses peradilan
pidana. Kepolisan harus bisa menunjukkan kepada masyarakat bahwa semua tindakan
dalam rangka penegakan hukum harus dapat dirasakan sebagai suatu penegakan
keadilan bagi masyarakat. Suatu keputusan yang diambil oleh polisi dianggap
adil oleh masyarakat apabila mekanisme kontrol horizontal berjalan efektif
Kepolisian Negara
Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang
meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya
hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi
hak asasi manusia sebagaimana dinyatakan pada Pasal 4 UU POLRI. Dalam mencapai
tujuan tersebut diatur dalam Pasal 13 yaitu Kepolisian Negara Republik
mengemban tugas pokok antara lain memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat. Ketiga esensi tugas pokok bersifat simultan dan
tidak bersifat hierarkis.
Tujuan Kepolisian adalah
sejalan dengan tujuan masyarakat dan negara, yaitu untuk kepentingan ketertiban
pribadi dan pada rakyat Indonesia seluruhnya[11].
Kepentingan rakyat dan pemerintah menjadi satu diperjuangkan bersama yaitu
polisi adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyat. Ini
berarti bahwa rakyat diberi hak dan kesempatan seluas-luasnya untuk setiap saat
megontrol jalannya alat-alat perlengkapan negara termasuk polisi.
Status polisi sebagai
komponen/unsur/subsistem dari sistem peradilan pidana sudah jelas terlihat
dalam perundang-undangan yang berlaku saat ini (baik dalam KUHAP maupun dalam
Undang-undang Kepolisian No.28/1997 yang sudah diganti dengan UU No.2/2002)
yakni adalah sebagai penyelidik dan penyidik[12].
Pasal 1 angka 2 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa
penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Penyidik menurut KUHAP haruslah
pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil
tertentu yang diberi wewenang khusus oleh UU untuk melakukan penyidikan.
Polisi bagai merangkai
pecahan gelas. Puing-puing yang berserakan harus ditelusuri posisinya di mana.
Seni merangkai inilah yang harus dibuktikan oleh polisi. Rangkaian pecahan
itulah yang dimaksud sebagai bukti-bukti yang mengarahkan seseorang menjadi
orang yang layak mendapatkan dakwaan. Merangkai pecahan gelas itu pasti sulit
dan tingkat kesalahannya tinggi. Namun polisi selalu menggunakan berbagai cara
untuk memperoleh bukti pecahan-pecahan tersebut dari ketentuan hukum acara
pidana (KUHAP). Dalam menjalankan ketentuan itu, polisi harus berlandaskan pada
prinsip-prinsip penyidikan.
Pada tahap penyidikan polisi mencari dan mengumpulkan bukti yang
terjadi. Lalu polisi membuat berita acara. Ketika berkas-berkas perkara (berita
acara, alat bukti, barang bukti) dari kepolisian dinyatakan sudah lengkap oleh
kejaksaan (P21), maka kejaksaan menyiapkan penuntutan untuk mengajukan
tersangka ke depan pengadilan (menjadi terdakwa). Apabila hakim merasa sudah
tersedia cukup bukti bahwa terdakwa telah melakukan kejahatan tersebut,
keluarlah vonis hukuman penjara. Dilihat dari prosesnya, maka tahapan-tahapan tadi
saling tergantung satu sama lain.
Pada kasus salah tangkap, dalam proses pemeriksaan terhadap
tersangka sering dilakukan dengan mekanisme yang justru melanggar Hak Asazi
Manusia (HAM), seperti pelanggaran hak dalam pendampingan bantuan hukum dan hak
untuk tidak disiksa. Kasus yang disinggung di awal juga menambah panjang daftar
pelanggaran HAM dalam proses pemeriksaan. Pengakuan tersangka memang dapat
dijadikan dasar penindakan, namun bukan berarti pembuktian faktual sudah tidak
lagi menjadi bahan yang perlu dipersiapkan dengan serius.
Hukum Acara Pidana kita telah mengatur masalah pembuktian. Dalam
Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa alat bukti yang sah ialah keterangan
saksi; keterangan ahli; surat; petunjuk; dan keterangan terdakwa. Dalam pembuktian
KUHAP meminta adanya dua alat bukti dan tidak perlu ada pengakuan dari
tersangka. Namun, polisi umumnya mengejar pengakuan dari tersangka. Dari sudut
hukum acara pidana, cara-cara pemaksaaan seperti ini tidak dapat dibenarkan.
Artinya, telah terjadi sebuah tindak pidana yang dapat diperberat karena polisi
yang memaksanya memiliki kekuasaan atas nama undang-undang.
Beberapa bentuk pelanggaran terhadap hak administratif dan
prosedural penyelidikan dan penyidikan yaitu, pertama: penyidik tidak
memberitahukan hak tersangka untuk didampingi penasihat hukum, kedua: pemaksaan
penarikan kuasa penasihat hukum, dan ketiga: penyidik memberikan keterangan
pers dengan mengabaikan asas praduga tidak bersalah. Sementara itu, bentuk
utama pelanggaran terhadap diri pribadi (jiwa/raga dan harta) tersangka adalah
terjadinya penyiksaan yang dilakukan oleh penyidik. Penelitian LBH Jakarta pada
tahun 2008 juga memperkuat indikasi pelanggaran hak terhadap diri pribadi ini,
khususnya penyiksaan.
Instrumentasi
internasional pada dasarnya telah memberikan pedoman dan aturan yang jelas
tentang perlindungan hak-hak tersangka, terdakwa dan terpidana[13].
Prinsip ke-6 dari Prinsip-prinsip Perlindungan Semua Orang saat Penahanan dan
Pemenjaraan (Perserikatan Bangsa-Bangsa, 1988) menegaskan, bahwa tidak seorang
pun yang berada dalam penahanan atau pemenjaraan dapat dijadikan sasaran
penyiksaan atau perlakuan yang kejam tidak manusiawi atau merendahkan martabat
keadaan apapun, tidak dapat dipakai sebagai pembenaran untuk menyiksa/perlakuan
kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat. Prinsip-prinsip ini juga
menegaskan hak seseorang yang ditahan untuk membela diri dan mendapatkan
bantuan hukum dan pengaduan keluhan.
B.3. Kinerja Kepolisian
Dalam Kasus Salah Tangkap
Fungsi kepolisian
sebagaimana yang tertuang pada Pasal 2 Undang-undang No 2 tahun 2002 adalah
salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan
ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat. Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara
yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan
hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Pasal 4 UU POLRI
menegaskan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk
mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan
ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya
ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Komite Anti-penyiksaan PBB
dalam laporannya, 5-7 Mei 2008, menyatakan, praktik penyiksaan yang melanggar
HAM di Indonesia cenderung meluas meski kita merupakan salah satu negara pihak
yang telah meratifikasi konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau
hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia melalui
UU No 5/1998. Berikut adalah Tabel Kasus-Kasus Salah Tangkap, Penyiksaan dan
Peradilan Sesat yang terjadi pada tahun 2007 - 2008[14]
:
No
|
Tanggal
|
Korban
|
Tuduhan
|
Pelaku
|
Lokasi
|
1
|
Agustus 2008
|
Kuca Barus
|
Pembunuhan
|
Mapolsek Patumbak
|
Medan
|
2
|
April 2008
|
Yayang; Pandu
Cecep; Andri
|
Anggota geng motor
|
Mapolresta Bandung
Tengah
|
Bandung
|
3
|
April 2008
|
Nur Kholis
|
Pencurian
|
Polsek Kembang Tengah
|
Jepara
|
4
|
Maret 2008
|
Alan Maulana
|
Narkoba
|
-
|
Koja, Jakarta Utara
|
5
|
Februari 2007
|
Emril Sinaga; Togar
Silaban; Kasimullah Pasaribu
|
Narkoba
|
Polsek Na IX-X
|
Labuhan Batu
|
6
|
April 2008
|
Yayang; Pandu Cecep;
Andri
|
Anggota geng motor
|
Mapolresta Bandung
Tengah
|
Bandung
|
7
|
Juli 2007
|
Ibrahim Tutu Hamka;
Sudirman Yusuf alias Sudi
|
Pemerkosaan
|
Mapolresta Makassar
Timur
|
Makassar
|
8
|
Juni 2007
|
Hendrik Sikumbang
|
Perampokan
|
Kepolisian Pekanbaru
|
Pekanbaru
|
9
|
2007
|
Imam Hambali; David
Eko Priyanto; Maman Sugianto
|
Pembunuhan
|
Polres Jombang
|
Jombang
|
10
|
2007
|
Ii Darul Konai
|
Pembunuhan
|
Polres Tasikmalaya
|
Tasikmalaya
|
Terkait masalah Asrori, Kapolri
Jenderal Pol Sutanto menyatakan, POLRI akan meminta maaf dan sekaligus
membebaskan para korban salah tangkap, jika polisi terbuki salah menangkap
pelaku kasus pembunuhan Asrori di Jombang. Polri juga akan mengambil tindakan
terhadap petugas yang salah menangkap sesuai kesalahannya. Kapolri mengatakan
bila ditemukan kesalahan, ia yakin itu bukan disengaja, tapi kelalaian. ”Saya
kira bukan ini kan satu keinginan dari penyidik membongkar suatu kasus bisa
saja terjadi bukan penyimpangan ya, tetapi kelalaian dalam pelaksanaannya dan
bukan kesengajaan tentunya,” katanya[15].
Namun, pernyataan maaf Kapori itu tentu saja tidak menyelesaikan masalah sampai
keakarnya.
Kesalahan menangkap
seolah-olah mencerminkan bahwa telah terjadi sebuah kesalahan prosedur. Apakah
kasus ini merupakan kesalahan prosedur? Apakah lantaran kesalahan prosedur,
maka kasus salah-tangkap dapat bebas dari tuntutan pidana? Dalam kasus-kasus
administrasi, maka kesalahan prosedur hanya dikenakan kesalahan administratif,
bisa berupa pangkat diturunkan atau pemecatan. Dalam kasus Asrori ini, tentu
saja ini bukan hanya masalah kesalahan prosedur. Kesalahan dalam menangkap dan
kesalahan prosedur merupakan dua hal yang berbeda. Keduanya terjadi dalam hal
kasus ini. Adalah salah bila menganggap bahwa kesalahan menangkap terjadi
karena kesalahan prosedur, melainkan karena ada sebuah niat yang jahat terhadap
orang lain. Apalagi, bila memang terjadi pemaksaan untuk mengakui perbuatan
tersebut. Apabila memang tidak ada bukti permulaan yang cukup, mengapa orang
ditangkap? Bukankah ini namanya sebuah niat yang jahat.
Pasal 88 Kitab
Undang-undang Pidana (KUHP) Dikatakan ada permufakatan jahat, apabila
dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan. Dalam KUHP kita,
dikenal istilah pemufakatan jahat. Apabila terpidana memang ditekan oleh polisi
untuk mengakui perbuatan orang lain, maka perbuatan ini dapat dikategorikan
sebagai pemufakatan jahat (kan, polisinya tidak seorang) bukan sebuah kesalahan
prosedur. Sebuah pemufakatan jahat tidak dapat dilindungi oleh undang-undang.
Jadi, apabila polisi yang melakukannya, secara otomatis (demi hukum), hak
imunitas yang diberikan undang-undang bagi polisi tidak dapat diterapkan. Kalau
mau diterapkan kepada jaksa dan hakim, maka kedua pihak ini pun harus
bertanggung jawab secara pidana karena telah berbuat kesalahan, baik dalam
menuntut maupun dalam mengadili. Memang, kelemahan hukum kita adalah tidak ada
pengaturan yang jelas mengenai kesalahan menangkap ini secara khusus bagi
polisi. Walaupun demikian, tetap saja, sebuah kejahatan harus dihukum.
Bab XVIII Tentang
Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang Pasal 335 KUHP ayat (1) “Diancam
dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat
ribu lima ratus rupiah: 1. barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain
supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai
kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang
tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain”. Pasal 335 KUHP dapat diterapkan bagi semua orang - 'barang siapa' (termasuk polisi) - yang memaksa orang lain untuk mengakui suatu perbuatan yang melanggar hukum. Dalam hal ini, mengakui sebuah perbuatan yang tidak dilakukannya adalah kejahatan berbohong (apalagi di bawah sumpah di depan pengadilan).
tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain”. Pasal 335 KUHP dapat diterapkan bagi semua orang - 'barang siapa' (termasuk polisi) - yang memaksa orang lain untuk mengakui suatu perbuatan yang melanggar hukum. Dalam hal ini, mengakui sebuah perbuatan yang tidak dilakukannya adalah kejahatan berbohong (apalagi di bawah sumpah di depan pengadilan).
Coba kita bandingkan dengan kejahatan lain, seperti tanggung jawab
pidana seorang pilot atas kecelakaan pesawat yang mengakibatkan tewasnya para
penumpang. Atau tanggung jawab seorang dokter atas pekerjaan yang dilakukannya.
Keduanya dapat diminta pertanggungjawaban pidana. Dari sini, dapat disimpulkan
siapa pun, baik atas perintah undang-undang atau bukan, tetap dapat dipidana
sesuai dengan kejahatannya. Seorang polisi, jaksa atau hakim yang keliru
menjalankan tugasnya dapat dikenai pidana. Undang-undang tidak boleh digunakan
sebagai tameng untuk menutupi sebuah kesalahan yang notabene adalah kejahatan
itu sendiri.
Berbagai kesalahan polisi hanya akan ketahuan manakala kasus-kasus
yang ditangani telah selesai. Baru terungkap setelah proses di pengadilan atau
beberapa tahun kemudian. Sebab kejahatan itu pasti terungkap, meski
pengungkapannya bukan secara sengaja dilakukan oleh polisi. Ada beberapa faktor
yang mempengaruhi polisi terjebak kesalahan itu. Pertama, dinamika kerja begitu
kompleks. Polisi dihadapkan pada kasus-kasus yang harus disidik, mulai kasus
konflik dalam rumah tangga hingga teror bom. Baik yang bersifat kasus delik
aduan maupun bukan delik aduan. Amat banyak kejahatan karena laporan masyarakat
atau hasil patroli harus ditindaklanjuti. Tentu masyarakat juga berharap,
setiap kasus dapat diselesaikan secara cepat. Namun cara menyelesaikan
kasus-kasus kejahatan juga mendapat sorotan masyarakat. Polisi yang bersikap
tegas akan mendapat reaksi keras dari masyarakat. Polisi yang mengikuti
prosedur secara lebih hati-hati pun akan dicaci amat lamban. Bahkan untuk berbagai
kasus yang mendapat perhatian masyarakat, seperti narkoba, polisi harus
mengikuti prosedur, misalnya barang bukti yang jelas. Padahal, apa yang
dirasakan dan dilihat masyarakat belum tentu bisa dijadikan barang bukti. Tak
ayal lagi, polisi harus melepas tersangka karena kurang bukti. Masyarakat lalu
menuduh polisi main mata dengan tersangka. Banyaknya kasus yang diselesaikan (clearance
rate) juga dikaitkan dengan profesionalitas polisi. Model penanganan polisi
secara cepat seperti ban berjalan: setiap kasus yang masuk ke institusi
kepolisian harus diselesaikan secara cepat. Namun kualitas penanganan juga
seperti tanpa memperhatikan aspek humanitas. Polisi dianggap kejam dan
mengabaikan hak-hak masyarakat untuk mengontrol polisi.
Kedua, sumber daya manusia polisi menentukan tingkat pelayanan dan
penanganan kasus-kasus kejahatan. Polisi harus lebih cerdas dari tentara karena
musuh polisi berkaitan dengan perilaku manusia, sedangkan tentara lebih mudah
mengidentifikasi musuhnya. Perilaku manusia dapat bersifat nyata, tapi lebih
banyak bersifat pseudo (samar-samar). Dinamika perilaku sosial menyulitkan
polisi untuk dapat memprediksi apa yang akan terjadi. Polisi lebih sering
mendapat laporan dari masyarakat tentang apa yang sudah terjadi. Polisi yang
menangani perkara mestinya memiliki ilmu pengetahuan tentang kepolisian dan
ilmu-ilmu lain (sosiologi, kriminologi, psikologi, komputer, ekonomi, hukum,
dan lain-lain). Tidak bisa lagi memaksa orang mengaku dengan cara-cara lama.
Teknologi kepolisian sudah berkembang. Polisi harus lebih cermat dan membangun
kesimpulan, yang didasarkan pada bukti atau keterangan saksi. Cara memperoleh
bukti tentu tidak lagi statis, tapi ditunjang dengan berbagai metode pembuktian
yang canggih.
Ketiga, keterbatasan anggota kepolisian, karena profesionalismenya
sebenarnya bisa dibarengi dengan penyertaaan pengacara pada tahap pendahuluan.
Namun menyertakan pengacara dalam proses penyidikan juga menjadi persoalan
pelik. Kepelikan itu dipengaruhi faktor: (1) resistensi polisi untuk enggan
disertakan pengacara, (2) tersangka tidak mampu menyertakan pengacara, (3)
negara masih terbatas membantu kelompok masyarakat tak mampu untuk disertakan
pengacara. Apalagi, polisi atas nama negara melakukan proses penyidikan dengan
keterbatasan anggaran yang dimilikinya.
Keempat, proses penyidikan memang bukan persoalan mudah. Polisi
harus mengerutkan dahi bagaimana menghadapi berbagai perilaku tersangka. Sebab
para tersangka acapkali berbohong, berkelit, membantah, atau tidak mau mengakui
kejahatan yang dilakukannya. Berdasarkan berbagai perilaku penjahat yang
double-standard itulah, para penyidik sering menyamaratakan bahwa semua orang
(yang diinterogasi) adalah orang bersalah. Sampai akhirnya, berdasarkan suatu
kesimpulan, orang itu tidak terbukti kesalahannya.
Kelima, karena gengsi
atau target atasan harus menyelesaikan kasus tertentu dalam waktu cepat.
Pengabaian hak-hak tersangka acap menonjol. Sehingga berbagai metode ilmiah
penyidikan dikesampingkan. Yang penting, pengakuan tersangka, yang kemudian
malah menjadi boomerang bagi pihak kepolisian dalam kasus salah tangkap.
Bicara tentang
Profesionalisme, ada batasan menarik yang disampaikan oleh pakar kepolisian
Amerika Serikat, Donald C.Whitlan, yang membagi kriteria profesi sebagai
berikut[16]
: menggunakan teori ilmu pengetahuan untuk pekerjaannya; keahlian yang
didasarkan pada pelatihan atau pendidikan jangka panjang; pelayanan yang
terbaik bagi pelanggannya; memiliki otonomi dan cara mengontrol perilaku
anggota profesi; mengembangkan kelompok profesinya melalui asosiasi, seperti The
International Chief Of Police Association yang cukup terkenal; memiliki
kode etik sebagai pedoman melakukan profesinya; memilih profesinya sebagai
pengabdian berdasarkan panggilan jiwanya; dan memiliki kebanggaan terhadap
profesinya, bertanggung jawab penuh atas monopoli keahlian profesi.
Melalui Keppres No 50
tahun 2006 tertanggal 9 Mei 2006 dibentuk Komisi Kepolisian Nasional
(Kompolnas). Kompolnas yang merupakan bagian dari amanat UU No 2 Tahun 2002 ini
dimaksudkan untuk mengawasi kinerja Polri agar sesuai dengan kapasitasnya yaitu
sebagai pelayan, pengayom, dan pelindung masyarakat. Kehadiran komisi ini diharapkan
mampu menjawab problem kekecewaan masyarakat terhadap rendahnya
pelayanan/kinerja perilaku yang menyimpang, dan penyalahgunaan wewenang oleh
aparat kepolisian-selama ini masyarakat tidak tahu siapa pihak yang berwenang
dan berkompeten untuk menanganinya.
Menurut Barda Nawawi
Arief, sistem dan undang-undang saja tidak cukup ntuk menciptakan peradilan
yang utuh: “Kebijakan pengembangan/peningkatan kualitas peradilan tentunya
terkait dengan berbagai aspek yang mempengaruhi kualitas peradilan/penegakkan
hukum, berbagai aspek itu dapat mencakup kualitas individu (SDM), kualitas
institusional/kelembagaan, kualitas mekanisme tata kerja/manajemen, kualitas
sarana dan prasarana, kualitas sustansi hukum/perundang-undangan, dan kualitas
lingkungan (kondisi sosial, ekonomi, politik, budaya termasuk budaya hukum
masyarakat)[17].
Pelajaran dari
berulangnya salah tangkap dan salah hukum bagi semua aparat penegak hukum agar
tidak terulang lagi di Indonesia adalah male enim nostro iure uti non
debemus, yang artinya adalah janganlah kita salah mempergunakan hukum
kita.
C.KESIMPULAN DAN SARAN
Keberadaan polisi
sebagai penegak hukum yang bertugas menjaga ketertiban, memberi rasa aman
kepada masyarakat memang belum sempurna. Untuk itu, diperlukan aparat
kepolisian yang sungguh-sungguh committed pada keinginan untuk mencapai
supremasi hukum yang berkeadilan. Kondisi ideal seperti ini hanya dapat
terwujud apabila ada dukungan manajemen yang efesien dan efektif dengan
bersandar kepada objektivitas dan tranparansi dalam pengambilan keputusan yang
berkaitan dengan nasib polisi. Masyarakat pun mempunyai peranan yang besar
dalam menciptakan polisi yang ideal. Sinergi antara masyarakat dan kepolisian
yang demokratis dan berorientasi kepada hak asasi manusia akan menciptakan
suatu penegakan hukum yang berkeadilan.
Mungkin ke depan, dalam
pendidikannya, polisi juga perlu diajarkan bagaimana menjunjung tinggi
norma-norma moral, kesopanan, kesusilaan serta menjunjung tinggi hak asasi
manusia. Dengan cara inilah, kita boleh berharap anggota polisi kita
benar-benar bisa diandalkan menjadi pengayom, pelindung, pengaman dan mitra
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Andi, Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia,
Sinar Grafika, Jakarta, 2005
Anthon, F Susanto, Wajah Peradilan Kita,
Refika Aditama, Bandung, 2004
L.C.Hulsman, Selamat Tinggal Hukum Pidana,
Sebelas Maret University Press, Semarang, 1995
Nawawi Arief, Barda, Beberapa Aspek Kebijakan
penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung,
2002
Nawawi Arief, Barda, Bunga Rampai Kebijkakan
Hukum Pidana, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002
Nawawi Arief, Barda, Masalah Penegakan Hukum
Dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Prenada Media
Group, Jakarta, 2008
Prodjohamidjojo, Martiman, Penylidikan dan
Penyidikan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982
Warsito, Hadi Utomo, Hukum Kepolisian di
Indonesia, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2005
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tetang Kepolisian Republik
Indonesia
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
Jurnal
A.A. Oka Mahendra, Permasalahan Dan Kebijakan
Penegakan Hukum, Jurnal Legislasi Indonesia, Vo.1 No.4, Desember 2004,
Depkum-HAM RI, Jakarta Selatan
Internet
www.pikiran
rakyat.com
[1] L.C.Hulsman, Selamat Tinggal Hukum Pidana, Sebelas Maret University
Press, Semarang, 1995, hal.43
[6] Sadjipto Rahardjo,Apa Yang Terjadi Pada Polisi Dan Kita,
dimuat pada www.kompascetak.com, (terakhir kali
dikunjungi pada tanggat 4 januari 2009 jam 15.00 WIB)
[9] Edi Setiadi, Polisi Pengayom dan Penegak Hukum, dimuat di www.Pikiran
Rakyat .com, (Terakhir kali dikunjungi 4 januari 2009, jam 15.00 WIB)
[12] Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan
Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana prenada Media group,
Jakarta, 2007, hal.48
[14] Press release, Kelompok Kerja untuk Advokasi Menentang Penyiksaan
(Pokja Anti Penyiksaan), 18 September 2008
[17] Barda Nawawi Arief, Kebijakan Pengembangan Peradilan, Seminar
Nasional, “Mafia Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia”, Semarang,
1999, hal 1
Sumber : Pustaka Perancang Peraturan Kanwil Kemenkumham Bengkulu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar