Sekedar tulisan lepas ... :)
Dalam
dinamika sejarahnya, profesi pengacara/pembela/advokad/penasehat Hukum (prosecure) di
negeri ini telah berkembang pesat dari suatu tindakan dan pemikiran
tradisional menuju ke arah yang modern. Perubahan ini pada dasarnya tidak
lepas dari keinginan para kaum intelektual yang bersedia dan mencari cara untuk
menjadi garda terdepan pembela keadilan bagi rakyat. Agaknya, berbagai
kasus yang saat itu masih berkiblat kepada segelinintir kodifikasi seperti yang
kita kenal dengan Reglement op de Rechterlijke
Organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesie atau Bepalingen betreffende het kostuum der Rechterlijke
Ambtenaren dat der Advokaten, procureurs en Deuwaarders (Stb. 1848 Nomor 8) dan lain
sebagainya menjadi payung hukum yang cukup mumpuni untuk mencapai tujuan
membela kepentingan rakyat. Namun, itu juga masih dirasa kurang mengingat
indonesia pada saat itu sedang dalam masa transisi mempersiapkan diri menuju
negara yang baru saja berdaulat. Berbagai restrukturisai otorisasi dan fungsi
pengacara pun kembali digalakkan seperti hendak menemukan formula yang pas
bagaimana kepentingan pengacara dalam pengadilan terakomodasi secara penuh. Dan
itu masih terus terjadi hingga saat ini.
Di era-kekinian sebagai akibat dari gairah pembaharuan yang terus berlanjut, berbagai perangkat pembela pun mulai bertransformasi ke dalam berbagai lembaga-lembaga advokasi/ bantuan hukum masyarakat dalam berbagai bentuk. Transformasi tersebut pada prinsipnya adalah suatu bagian dari manifestasi realistis dari teori hukum pidana modern dan ini adalah jelas suatu prestasi dalam dunia penegakan hukum. Tidak hanya mendirikan suatu organisasi pengacara/advokad (semisal ; Lawfirm), bantuan hukum secara gratis (rodeo) kepada masyarakat pun terus didengungkan. Sedikit cidera adalah ketika pada tanggal 16 November 1985, pada hari kedua saat berlangsungnya musyawarah nasional Ikatan Advokad Indonesia (IKADIN) sesama pengacara menjadi ricuh dan saling tuding bahkan sampai terjadi adu fisik. Imbasnya, kejadian tersebut memunculkan berbagai organisasi tandaingan semacam Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI) bahkan sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, keseluruhan organisasi tersebut coba disatukan dibawah bendera Peradi, Perhimpunan Advokat Indonesia yang dipimpin Otto Hasibuan. Belakangan organisasi tersebut pecah lagi hingga muncul pertanyaan, apa yang sedang terjadi dengan sang pembela keadilan ?
Ironi memang. Profesi yang seharusnya konsisten dalam memberikan bantuan hukum kepada masyarakat ternyata masih sibuk mengatur organisasinya sendiri. Ini adalah salah satu tragedi dalam dunia hukum. Ternyata pembela keadilan pun tidak pernah dapat benar-benar adil. Penulis jadi ingat, pada masa perkuliahan hukum pidana yang diampu oleh DR. Eddy.O.S Hieraj (Dosen UGM Yogyakarta), beliau mengatakan bahwa tidak sedikit advokat yang tidak bekerja dengan profesional, tidak bisa membedakan mana aktivitas manusiawi dengan kegiatan profesi. Betul Sekali. Dalam teori ilmu hukum, diketahui ada tiga tipe advokad/pengacara yaitu :
- Tipe Idealis; Tipe idealis merupakan tipe pengacara/advokat yang memegang teguh dan konsisten doktrin/ilmu/paham hukum yang telah dipelajari. Tipe ini sangat konsisten dalam mengatasi masalah dengan mengaitkan dengan hukum dan sumbernya.
- Tipe Matrealis; Tipe matrealis adalah tipe pengacara/advokat yang menjalankan profesinya berdasarkan materi semata dan bukan mengedepankan aspek hukum.
- Tipe Pluralis; Tipe pluralis adalah tipe pengacara/advokat yang menjalankan profesinya berdasarkan kedua segi, materi dan idealis.
Mengenyampingkan pendekatan beracara pengacara/advokat realis-idealis atau idealis-realis, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya profesi pengacara atau advokat memiliki tanggung jawab yang sangat berat. Tidak jarang pengacara sekarang yang tidak profesional dan mengedepankan aspek materi dalam membela kepentingan Klien. Sangat sulit untuk menemukan bantuan hukum dari seorang pengacara/advokat yang idealis yang mengedepankan penyelesaian kasus hukum berdasarkan ketentuan hukum itu sendiri. Jika ingin memperbaiki sistem bantuan hukum di Indonesia semestinya harus memperbaiki aspek kualitas dan kapasitas pengacara. Ada beberapa cara yang disarankan penulis agar para pihak dapat memperbaiki keadaan tersebut, yaitu :
- Menguji peran pemerintah dan profesional hukum untuk dapat mengembalikan kembali organisasi advokat menjadi satu kesatuan seperti yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Tidak menyatakan kesemua organisasi advokad yang ada berlaku mutatis mutandis terhadap organisasi advokad bentukan Undang-Undang. Diharapkan dengan solusi ini dapat meminimalisir perspektif masyarakat yang sudah terkotak-kotak, bahwa organisasi advokat saat ini ada yang murni berdiri sebagai organisasi yang independen ada yang sebagai boneka bentukan pemerintah.
- Memperketat kualifikasi personal untuk menjadi seorang advokat, bisa dengan melalui berbagai tahapan ujian. Tidak hanya berdasarkan sertifikat yang didapat melalui pendidikan atau syarat yang disetujui oleh Menteri terkait. Ketentuan ini mestinya diatur dalam Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
- Perlunya Organisasi Pengawas Kinerja Advokat Independent (tidak dalam satu organisasi advokat-Ps 12 UU 18/2003) yang semestinya diatur dalam undang-undang tersebut secara tersendiri, tidak seperti saat ini bahwa undang-undang menyerahkan sepenuhnya urusan advokad pada organisasi advokat.
- Jika konsisten sebagai pembela keadilan bagi rakyat, idealnya seorang advokat/pengacara tidak hanya bertugas dan berwenang dalam wilayah dan ruang lingkup kerja yang cukup luas, namun harus memperhatikan bagaimana konstelasi penegakan hukum yang terjadi pada daerah-daerah di Indonesia yang terisolir atau di kepulauan terluar. Audi at alteram partem, semua masyarakat memiliki kedudukan yang sama di mata hukum dan berhak mendapatkan bantuan hukum.
- Semestinya ada evaluasi dan penilaian kinerja advokat/pengacara dari pemerintah, organisasi advokat dan masyarakat secara sistematis, kontinuitas dan obyektif. Hal ini sangat diperlukan karena sebagai salah satu upaya untuk menumbuh kembangkan para pembela keadilan yang jujur dan obyektif namun tidak populer di masyarakat dan membina bagi yang hanya berprofesi tidak bersandar atas hukum, hanya materi semata. Mestinya ada reward/punishment konkrit terhadap advokat/pengacara terkait kinerjanya.
Catatan :
Tulisan ini hanya refleksi kekecewaan Penulis yang menerima konsultasi hukum dari masyarakat tidak mampu secara ekonomi namun kandas ketika mencoba untuk mencari bantuan hukum gratis di luar bantuan hukum yang memang disediakan oleh negara berdasarkan kriteria tertentu. Seorang Klien inisial (RH) bahkan pernah meminta bantuan hukum kepada lembaga advokasi P..Min...kum lokal yang berkoar sebagai lembaga bantuan hukum gratis namun ketika dihubungi ternyata meminta bayaran Rp. 15 Juta. Klien lainnya inisial (EN) bahkan pernah diminta oleh ..BH lokal yang slogannya 'gratis untuk rakyat' untuk cukup membayar mereka dengan sekapling tanah agar nantinya Klien akan dibantu hingga akhir proses pengadilan. Miris tapi Tragis !!! Hero Herlambang Bratayudha, SH.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar