Dilema Penegakan Hukum Adat Dalam Penyusunan Peraturan Daerah
oleh : Hero Herlambang, SH
(Perancang Pertama pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Bengkulu)
(Perancang Pertama pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Bengkulu)
Dalam banyak literatur, Hukum Adat diakui sebagai rules (peraturan) yang berasal dari custom (kebiasaan) masyarakat di Indonesia. Kebiasaan-kebiasaan masyarakat tersebut timbul sebagai akibat dari polarisasi tingkah laku atau perbuatan yang hidup dimasyarakat dan pada akhirnya terimplementasi dalam bentuk yang terparameter. Bentuk-bentuk yang lahir sebagai bentuk manifestasi kebiasaan masyarakat tersebut melahirkan berbagai macam kaedah atau norms (norma) yang bersifat mengikat dan imperatif. Mirip dengan hukum pidana yang menelurkan sanksi pidana (poenale sanctie), hukum adat juga memiliki kaedah yang harus ditaati, dipatuhi dan menelurkan sanksi bagi yang melanggar kaedah tersebut.
Hukum adat merupakan hukum asli bangsa Indonesia. Hukum adat sebagai hasil dari kesepakatan bersama kesatuan masyarakat (indigeneous community) yang diakui oleh sarjana-sarjana barat dan memiliki karakteristik khas yang istimewa yang membedakan dengan hukum barat. Contoh karakteristik tersebut, menurut Penulis adalah sebagai berikut :
- Hukum Adat bentuknya tidak tertulis. Dalam perkembangannya beberapa masyarakat adat yang memiliki tulisan huruf adat sendiri ada yang telah mengkodifikasikan dalam bentuk tertulis, seperti hukum adat minangkabau dan hukum adat jawa. Namun, dalam hukum positif Indonesia, hukum adat tetap diakui sebagai hukum tidak tertulis.
- Hukum Adat cenderung bersifat statis (konservatif) yang senantiasa cenderung dipertahankan eksistensi nilai atau kaedahnya oleh masyarakat adat. Bagi sebagian hukum adat di beberapa teritorial, banyak kaedah yang terus dan masih dipertahankan oleh pihak adat dan tidak terpengaruh dengan perkembangan zaman (asli). Hukum adat tersebut pada dasarnya sedikit introvert bagi keberadaan hukum atau kaedah adat lainnya.
- Hukum Adat memiliki sistem penegakan hukum berdasarkan sanksi. sanksi tindakan, sanksi moral, sanksi administratif (termasuk denda) adalah beberapa diantaranya. Sebagian entitas hukum adat menerapkan sanksi balas badan, seperti apabila seorang yang melakukan pembunuhan maka pelakunya juga dapat dihukum setimpal. Sanksi ini mirip dengan hukum "Qisas" dalam hukum Islam.
- Hukum Adat bersifat pluralistik. Dalam suatu daerah, tidak jarang terdapat berbagai hukum adat yang berbeda-beda kaedahnya.
- Keputusan adat bersifat final. Jarang sekali hukum adat yang menoleransi perbuatan-perbuatan yang melanggar adat. Kecuali ada ketentuan lain yang diatur dalam kaedah adatmya.
Selain sebagaimana yang telah disebutkan, Hukum Adat (Adat Recht) juga memiliki sifat-sifat umum dan khusus yaitu :
- Tradisional; Praktek hukum adat bersumber pada tradisi yang melekat pada suatu kesatuan masyarakat hukum adat.
- Religius-Magis; Hukum adat umumnya dipengaruhi oleh unsur-unsur yang berasal dari agama atau kepercayaan tertentu.
- Konkrit; Perbuatan dalam hukum adat bersifat nyata dan terang. Jarang hukum sekali ditemukan adat di Indonesia yang melaksanakan kaedah adat dalam bentuk abstrak semisal mengganti denda dengan janji atau ucapan. Denda dapat diganti dengan tindakan pengusiran atau lainnya.
- Komunal; Hukum Adat hidup dan bertumbuh kembang dalam suatu komunitas atau sekumpulan masyarakat yang utuh dan merasa terikat satu sama lain. Realisasinya, hukum adat
- Kekeluargaan. Sistem kekeluargaan dan kekerabatan dalam hukum adat cenderung rapat. Dengan sentrispola yang berbagai bentuk baik matrilineal, patrilineal, parental, masyarakat menjunjung tinggi nilai kekeluargaan dan kekerabatan dalam masyarakat.
Mendiskusikan bagaimana proses penegakan hukum adat di Indonesia tidak bisa diepaskan kaitannya dengan hukum positif Indonesia itu sendiri. Hukum positif sebagai hukum yang berlaku dan dianut masyarakat luas di Indonesia tentu memiliki fragmen yuridiksi yang jelas. Konstruksi hukum dalam hukum positif juga perlu untuk diketahui dan tentu berbicara mengenai keabsahan suatu norma harus dikaitkan dengan hukum dasar (konstitutif) Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945).
Pasal 18 huruf B angka (1)
‘Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang’
Pasal 18 huruf B angka (2)
‘Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang’
Pembukaan Undang-Undang
Negara Republik Indonesia (UUD NRI ) Tahun 1945
‘yang terbentuk
dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab,
Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia…’
Pasal-pasal tersebut secara eksplisit telah menyatakan dengan tegas bahwa hukum adat serta hak-hak tradisional yang ada di dalamnya sepanjang masih ada dan dapat dibuktikan keberadaannya diakui dan dihormati oleh negara. Penyataan tersebut memberikan pengecualian terhadap hukum adat yang tumbuh kembangnya masih sulit dideteksi keberadaannya. Begitu juga dalam preambule UUD NRI Tahun 1945, nuansa hukum adat juga tampak berserakan. Bisa diceramti dalam kehendak bebas bangsa Indonesia dari penjajahan dan imprealisme asing.
Hukum adat pada prinsipnya telah diakui dalam level Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang. Tidak sedikit hukum positif di Indonesia yang dijiwai oleh semangat dan nilai-nilai hukum adat. Undang-Undang Nomor 05 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia contohnya. Dalam Undang-Undang Agraria, jelas bahwa landasan filosofis pada muatan materi peraturan perundang-undangan tersebut bersumber pada kaedah hukum adat. Tanah yang memiliki fungsi sosial, hak milik atas tanah yang meliputi tanah dan bangunan merupakan beberapa bahan adopsi dari sejumlah ketentuan yang ada di dalam hukum adat. Begitu juga dengan Undang-Undang Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia. Hak-hak untuk hidup, bertumbuh kembang, bertempat tinggal, mendapatkan pelayanan kesehatan, hak untuk saling menghormati dan menghargai orang atau komunitas lain juga merupakan bagian dari adopsi nilai-nilai hukum adat. Tidak menutup kemungkinan dengan sejumlah undang-undang lain yang boleh jadi pembentuk peratuannya mengambil kaedah yang bersumber pada kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh kembang di masyarakat. Lalu bagaimana dengan penegakan hukum adat di daerah ?
Permasalahan penegakan hukum adat di Indonesia perlu dikaitkan dengan aspek penegakan hukum konkrit yang menjiwai setiap sendi hukum positif di Indonesia. Artinya hal ini diperlukan untuk mengetahui sejauh mana hukum adat di Indonesia berlaku dan dijadikan salah satu dasar penegakan hukum.Selain telah diakui dan dikonstruksi dalam konstitusi negara dan undang-undang, penegakan hukum adat berdasarkan hukum positif juga harus memperhatikan produk hukum di daerah. Pengacuan terhadap hukum positif ini bermanfaat untuk mengetahui sejauh mana kaedah hukum adat dapat dikaedah normatifkan.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana telah direvisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan menyelenggarakan pemeritahan di daerah. Salah satu bentuk yang merupakan otortitas pemerintah daerah adalah menetapkan sejumlah peraturan daerah. Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, peraturan daerah merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang diakui sebagai salah satu jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan juga menentukan bahwa muatan materi dalam peraturan daerah baik provinsi, kabupaten ataupun kota merupakan muatan materi untuk menjalankan penyelenggaraan otonomi daerah, tugas pembantuan dan menampung kondisi khusus suatu daerah. Mari kita sandingkan dengan rumusan Pasal 18 ayat (6) UUD NRI Tahun 1945.
Pasal 18 ayat (6) UUD NRI Tahun 1945
‘Pemerintah Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas-tugas pembantuan’
Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011’Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi’
Menilik dari definisi tersebut maka jelas bahwa peraturan daerah memiliki kewenangan untuk membuat dan menyusun suatu peraturan daerah dengan muatan materi yang dapat menampung kebutuhan khusus suatu daerah. Tidak dijelaskan seara rinci dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 mengenai seperti apa kriteria kondisi khusus. Dalam praktek, menurut Penulis, kondisi khusus yang ditoleransi dalam peraturan daerah tersebut merupakan kondisi permasalahan unik di suatu daerah yang diangkat menjadi suatu tema dalam peraturan daerah dan muatan materinya tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kondisi khusus suatu daerah dapat berbeda atau bahkan bisa saja sama dengan kondisi yang ada di daerah lain.
Melegalisasi hukum adat dalam suatu peraturan daerah adalah salah satu bentuk penampungan karakteristik suatu daerah. Suatu karakteristik yang membawa diferensiasi etnik dan kultur. Menilik pada Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 maka berdasarkan interprestasi analogi, ada semacam penoleransian restriktif bagi pemerintah daerah untuk membuat produk hukum daerah. Boleh, asal tetap memperhatikan kaedah-kaedah konvensional dalam peraturan perundang-undangan tertulis. Batasan tersebut secara implisit memiliki batas yang kabur, Pemerintah Daerah dapat saja mengatur permasalahan atau kondisi khusus di suatu daerah termasuk mengadopsi kaedah hukum adat namun tetap harus memperhatikan :
- Kaedah atau nilai-nilai (norma) hukum adat tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan di dalam hukum positif Indonesia, terdapat koridor hukum yang tegas dan tidak boleh dilanggar yaitu skema konstruktif mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan.
- Kaedah atau nilai-nilai (norma) hukum adat tidak boleh bertentangan dengan kaedah yang terdapat dalam ajaran agama yang diakui di Indonesia. Dikhawatirkan peraturan daerah yang memuat norma adat kontradiktif dengan beberapa ajaran agama. Tidak jarang hukum adat di suatu daerah yang mengakultrasikan kaedah agama dengan kaedah adat bahkan menciptakan aturan yang baru.
- Memperhatikan tipologi masyarakat. Masyarakat dalam lingkup daerah kecil namun memiliki penduduk yang heterogen tentu menyulitkan proses pelaksanaan penegakan hukum adat apabila diterapkan oleh salah satu suku adat dalam masyarakat tersebut.
- Kaedah Adat yang akan diadopsi secara lengkap dalam muatan materi daerah harus dapat memiliki organ dan perangkat adat yang jelas. Dapat dibuktikan keberadaan masyarakat adatnya. kelestarian nilai-nilai adatnya dan lembaga adat yang mengatur permasalahan adat.
Unsur sebagaimana yang telah disebutkan pada dasarnya dapat dijadikan indikator apabila hukum adat ingin ditransformasi dalam muatan materi peraturan daerah. Lain halnya jika nilai adat cuma diatur secara sebagian dalam muatan materi peraturan daerah, sekalipun dibolehkan tetap harus mempetimbangkan banyak faktor. Agar dalam pemberlakuannya, peraturan daerah yang memuat hukum adat dapat berlaku efektif, ditaati dan mengandung kepastian hukum bagi masyarakat. Semoga bermanfaat.
Sumber :
-Imam Sudiyat,Universitas
Islam Indonesia, Hukum Adat dan
Modernisasi Hukum, Pustaka Fajar Offset, Yogyakarta, 1998
-Soerjono
Soekanto, Hukum Adat Indonesia, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, Tahun 2002
-Rudolf Steammler dalam Roscoe Pound, Hukum Dan
Kedudukannya Dalam Masyarakat, Terj. Budiarto, Jogyakarta, RadjaGrafindo Tahun 1996.
-Abdul M. Noor Syam, penjabaran Filsafat Pancasila dalam Filsafat Hukum (Sebagai
Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), Malang: Laboratotium Pancasila IKIP Malang, Tahun 2000.
-Franz L. Neumann, The Ruke of Law, Political Theory and The Legal system in Modern
Society ;USA, Berg Puolisher, Tahun 1994.
-Theo
Huijbers, Filsafat Hukum, Kanisius Press;Cetakan V, Yogyakarta, Tahun
1997.
-Wolfang Friedman, Legal Theory, ed. Cunan, Boston., Masattchussetts, USA : Harvard University
Press, Tahun
2000.
2 komentar:
tanya pak. Kalau seperti itu apa batasan tegas perda dpt memuat norma adat? Knp tidak skalian diatur oleh undang-undang
Terimaksih. Undang-Undang memang belum mengatur secara khusus mengenai mekanisme melegislasi kaedah adat. Batasan tegas Raperda itu belum ada, namun bukan berarti raperda tidak dapat memuat norma yang berasal dari kaedah adat. Liat Pasal Pasal 14 Undang-Undang 12 Tahun 2011. Terimakasih
Posting Komentar